Pages

burung di pohon purba

23 August, 2012


Beberapa hari ini sering kudapati dirimu di depanku, terperangkap dalam sebuah cermin maya. Entah kenapa namamu sering ada di sana, menggelantung di pohon purba dimana seekor burung biru bertengger. Ia menari-nari, membuat sarang, lalu bercerita tentang hidup orang-orang yang lalu lalang di pohon itu. Burung biru itu begitu cerewet, mungkin mengalahkanmu.

Pernah kudapati seorang perempuan memaki dan meluapkan kesalnya yang menggunung pada burung biru itu. Katanya ia punya masalah dengan suaminya dan seluruh bumi harus tahu itu. Burung biru itu jadi pelampiasannya agar ia menceritakannya pada orang-orang yang lewat bagaimana tabiat suaminya, perempuan itu sepertinya sedang kesurupan. Tak ada yang benar-benar peduli pada masalahnya, orang-orang hanya penasaran bagaimana kelanjutan konfliknya.

Tiap hari burung biru itu bercerita, orang-orang yang lewat begitu khusyuk mendengarkannya. Ada yang percaya, ada yang menganggapnya pembual, ada  juga yang berdebat kemudian bercocok benci di ladang hati. Petani seperti itu, kuharap tidak mati karena memakan hasil panennya sendiri. Ah, sudahlah. Aku tak ingin membahas persoalan pelik itu lagi.

Aku cukup senang dengan burung biru itu karena bisa mencuri dengar tentang kabarmu.

Disaat musim kemarau kau akan mengeluh dengan panasnya yang menyengat, awan juga enggan menggulung di atas kepalamu. Jalanan begitu sesak dengan asap kendaraan, sampah-sampah berserakan di pinggirnya, dan orang-orang menjadi begitu sensitif. Aku ingin sapaku menjadi payung yang meneduhkan harimu, kuharap itu bukan hanya cerita dongeng masa kecilku.

Disaat musim hujan kau ingin sekali bermain dibawah guyurannya. Meloncat di setiap genangan yang kau ibaratkan kenangan pahit, percikannya membaur dengan hujan. Kau percaya bahwa hujan juga menyembuhkan ingatan, disetiap titiknya yang jatuh di kepalamu. Ini rahasia; aku pernah bercita-cita menjadi hujan yang jatuh di kepalamu, agar aku tahu apa yang kau pikirkan tentang kita.

Disaat musim semi, datanglah lagi di pengumpul pesanku dengan titik dua dan balas kurung yang sama. Itu cukup untuk membuatku lupa bahwa gravitasi menjatuhkan apapun ke tanah dan bukannya ke langit. Lalu mungkin kita bisa menikmati ladang kenangan musim semi bersama. Hanya berbekal keyakinan dan sepiring harapan yang kita makan berdua di bawah pohon maple, warnanya ranum seperti langit senja yang kau suka.
*foto from here

Surat untuk Fitri

18 August, 2012


Fitri, aku tak tahu alasan yang pasti kenapa harus menulis surat ini untukmu. Beberapa hal dalam hidupku memang selalu kutuliskan, tak terkecuali tentangmu. Maafkan aku kalau burung hantu yang membawa surat ini tiba-tiba mematukmu, itu hanyalah caranya memastikan kalau kau adalah penerima surat yang tepat. Itu juga memastikan kalau sebenarnya kau masih terjaga, sedang tidak bermimpi.

Aku tak tahu sudah berapa lama kita tidak bertemu, dalam hal tertentu aku ini sebenarnya orang pemalas. Aku malas menghitung waktu Fitri. Itu adalah pekerjaan paling sia-sia dan memuakkan. Aku pernah sekali melakukannya dan kudapati jantungku berdegup dengan ritme yang tidak wajar. Karena dalam setiap waktuku yang kosong tanpamu, rinduku berkali lipat.

Seseorang pernah memberi tahuku tentangmu Fitri, katanya kau paling suka dengan bulan Agustus. Karena ia adalah bulan cinta pertamamu. Terlalu banyak hal yang membuatmu mencintai bulan Agustus, salah satunya adalah suasananya. Jalan-jalan yang sepi, rumah yang selalu ramai, dan tentu saja mesjid yang tiba-tiba saja sangat sesak di malam hari.

Kadang aku merasa heran dan bertanya-tanya pada bayanganku sendiri. Kemanakah orang-orang yang menyesakkan itu di bulan lain? Apakah mereka punya sebuah roket lalu pergi ke Neptunus dan hanya kembali di bulan yang kau suka ini, itu masih misteri di kepalaku. Pasti akan sangat menyenangkan merasakan sesak itu di bulan lain.

Aku sudah tidak sabar bertemu denganmu Fitri. Aku tahu, kau tidak peduli dengan penampilanku saat bertemu denganmu nanti. Apakah aku memakai sandal, baju, celana, atau peci yang serba baru, itu bukanlah hal yang terpenting. Kau hanya ingin melihat sejauh apa aku berubah dari dalam, bukan dari luar. Karena hal-hal yang terlihat dari luar tidak selalu kelihatan seperti apa yang sebenarnya ada di dalam, mata manusia memang alat kamuflase yang unik.

Kau tahu Fitri, aku hanya berharap setiap rumah mengepulkan asap dari dapurnya, setiap jiwa mengepulkan damai dari hatinya. Dan akhirnya setiap dari kita menemukan kerinduannya masing-masing. Benarlah adanya,.. kalau hidup ini terlalu singkat untuk dihabiskan dengan benci dan juga terlalu indah untuk dinikmati seorang diri. Seperti kata Gandhi, kalau mata harus dibayar dengan mata maka gelaplah dunia ini.

Aku masih belum menjadi lelaki yang baik Fitri, seperti harapanmu. Kuharap itu menjadi alasan pembenaran untuk kita bertemu lagi nanti. Terima kasih karena telah menjemput rinduku.

Dari perindumu.
____ 
Selamat hari raya Idul Fitri 1 syawal 1433 H.
Taqaballahu minna wa minkum, shiyamana wa shiyamakum, kullu amin wa antum bi khoir.
Minal 'aidin wal faizin, maaf lahir batin.

Hujan kalian

17 August, 2012

Hari itu kita melakukannya lagi, saling menunggu bersama cemas yang dari tadi terus meleleh karena matahari. Yah, memang siang itu matahari terlihat lebih nakal dari biasanya. Itu wajar, ia mungkin tersinggung karena kita yang hampir-hampir menyainginya, melupakannya, bahkan membuatnya terlihat tak ada apa-apanya dibanding semangat kita yang terus meluap siang itu.

Semangat, kata yang begitu klise untuk sebagian orang. Tapi kalian membuktikan satu hal padaku, semangat seperti itu bukanlah hal kecil yang membuat semuanya terlihat biasa-biasa saja hari itu. Kalian itu seperti pohon-pohon rindang yang menyejukkan sepanjang perjalanan, sekumpulan awan di siang hari, atau payung yang bertebaran sepanjang pantai.

Siang itu saya pertama kali bertemu dengan seseorang yang mungkin punya segunung semangat di meja makannya, katanya dia menunggu dari tadi. Entah berapa kantong semangat yang dibawanya. Kupikir cemasnya sudah meleleh sejak melihatku, setidaknya dia sudah tidak merasa sendiri lagi di sana. Tak lama kemudian satu persatu dari kalian mulai berdatangan seperti gerimis yang berbaris rapi, itu menandakan sebentar lagi akan hujan.

Hujan kalian sudah membuat pelangi siang itu, di langit yang berdoa di mata anak-anak itu. Langit yang terkadang kita lupa kalau di sana ternyata lebih indah melukis warna. Langit yang polos dan begitu lugu. Tak terlihat awan gelap yang mengepul di sana, langitnya masih begitu biru seperti lautan lepas,dan di sana tersimpan begitu banyak kemungkinan.

Terima kasih Emi, untuk sebuah kamera kaleng sederhana yang menciptakan foto menarik. Kamera lubang jarum katamu. Kau sudah menjelaskannya dengan baik. Bapak disampingku bahkan bilang itu mustahil sebelum kau menunjukkan hasil fotonya siang itu. Kau akan menjadi fotografer hebat Emi, seperti mereka yang kau kagumi itu. Kalau disuruh memilih antara fotografi dan sastra, kau akan memilih apa? Ah, jangan pisahkan mereka.

Terima kasih Kak Atun, untuk pelajaran menulis lagi hari itu. Kau memang berbakat dalam hal tulis menulis, apa lagi puisi. Apakah kau sarapan pagi bersama puisi atau menghabiskan malam bersamanya, akupun masih bingung. Tapi, kenapa kau jarang menulis lagi di blog? Sepertinya kesibukan bersama anak didikmu itu menyita waktumu. Tak apa, karena saya yakin kelak kau akan menikah dengan puisi. Kalaupun tidak, kau mungkin akan menjadikannya selingkuhan paling setia.

Terima kasih kak Arya untuk konsep acara ini, kak Pipi yang sibuk bolak-balik dan mendata peserta, kak Yuni bendahara yang rajin ke atm, kak Nunu dan kak Mirna yang pesan makanan, lalu kak awa yang memastikan tempatnya, Aisyah untuk moderato/mc yang seru, Ilham untuk kultumnya yang bagus dan Haerul untuk dokumentasinya.

Yang paling penting, terima kasih untuk kalian yang hadir memeriahkan acara kita ini: kak Fadli, kak Gaffur, kak Arman, kak Latifah, Abel, kak Eppe, kak Uti, kak Adi, Wahyudin, Amel, Atifah, Amma. Jangan kapok pokoknya.

Hei, tentu saja terima kasih untuk semua warga bloofers di luar sana yang sudah menjadi donatur. Ah benar-benar terima kasih yang tak ada habisnya untuk kalian.
Thank you guys
Beliau yang di antara kami itu, orang hebat. Subhanallah.
Emi sedang memotret dengan kamera lubang jarumnya
Hasil dari foto pake kaleng sederhana.
kak atun di kelas menulis.hha


Makassar, 15 agustus 2012
*dokumentasi lebih ke sini

kota yang menampung mimpi

09 August, 2012


Kau mungkin tak akan pernah peduli bagaimana saat pertama kali kita bertemu. Seperti pagi yang tak pernah kau pikir kenapa ia terus datang padahal malam selalu tampak lebih puitis daripada puisi manapun. Ia juga lebih sunyi dalam keheningan di langit-langit kamarku. Semua orang tetiba saja melupakan dunia yang penuh dengan kesibukan, pertengkaran dan perdebatan tentang kebenaran. Apakah kau mengingatnya?

Hari itu, seekor laba-laba seperti sedang membuat jaring-jaring cahaya di antara kau dan aku. Aku terperangkap di jaring itu sambil memperhatikanmu di seberang sana. Laba-laba itu hanya diam dan memberiku pertanda bahwa aku aman, aku boleh memandangmu berlama-lama tanpa ketahuan olehmu. Aku hanya mematung di sana, membiarkan kornea mataku merekam sebuah efek visual yang membuat hatiku merasa nyaman.

Aku tak pernah berpikir sejauh ini. Bahwa kau dan aku akan menjadi teman yang saling membutuhkan, kau butuh keterampilanku yang selalu membuat bibirmu melengkung ke atas seperti mangkuk antik yang begitu disayangi ibuku, dan aku hanya membutuhkan waktumu. Rasanya tak adil ketika aku hanya menjadi sebuah lelucuon di depanmu. Tapi seperti itupun tak apa, karena aku telah dibayar mahal olehmu, bahagiamu itu. Kalaupun perhatianku selama ini hanyalah lelucuon untukmu, setidaknya kau pernah tersenyum karenanya.

Suatu hari kau datang padaku dengan wajah yang begitu murung. Katamu kau sedang punya masalah dengan seseorang dan membuat harimu dihiasi awan yang gelap dan burung gagak senang bertengger di atas kepalamu. Akupun mengambil kuas dengan cat warna-warni dan melukis pelangi yang melengkung di matamu. Kau hanya tersenyum sembari membaringkan mimpi-mimpi baru di pundakku. 

Kota ini adalah sebuah pot besar yang menampung semua mimpi orang-orang di dalamnya. Kita juga tidak ketinggalan menanam mimpi di kota ini, merawatnya dan berharap suatu hari mimpi itu terbangun dengan apa adanya dia sebagai mimpi. Kau tahu, kupikir aku sedang bermimpi bertemu denganmu dalam sebuah mimpi yang tak pernah ingin kumimpikan. Kau bersama orang lain yang tak kukenal, dia membawamu pergi menyeberangi lautan purba dan menenggelamkanmu dalam pekatnya kenangan. Kau hilang.

Pagi itu begitu sendu dan kabut pelan-pelan memudar seperti halnya ingatan senja. Anehnya aku terbangun dengan penuh keringat, itu adalah mimpi yang seburuk-buruknya mimpi seorang penjahat yang ingin menguasai dunia dan membuat perang dunia baru. Aku berusaha mengumpulkan fragment tentangmu di dalam kepalaku sendiri, senyummu yang mengais bahagiaku, matamu yang mirip gundu, suaramu yang renyah, dan juga tulisan tanganmu.
Sialnya, aku kehilangan sesuatu yang mengganjal pagi itu. Kita pernah bertemu di mana?

Sejak saat itu, aku selalu berjalan kaki di kota yang menampung mimpi ini berharap menemukanmu dalam mimpi orang-orang yang kutemui. Dari gang ke gang yang sempit di sudut kota, di perempatan jalan, di setiap lampu merah. Dan setelah lelah mencari semalaman aku selalu kembali ke rumah dan memandangi langit-langit kamar yang kosong, dengan sepi dan sunyi yang sama ditemani hening begitu larut. Ah, suara itu lagi.
"kau di mana?"

*gambar dari sini

semacam itu sajalah

07 August, 2012

Rindu adalah badut yang bermain di sebuah karnaval dengan gembira. 
Ia tak pernah tahu seberapa lucunya atau semenakutkan apa dirinya sendiri.
Bagaimana hidung bulat merahnya itu membuatmu tertawa, 
atau senyum dingin dengan garis merah yang lebar itu menyeringai: seperti joker. 
Tapi ia adalah rindu yang kita tunggu-tunggu. 
Apakah kau akan tesenyum atau murung karenanya,
akupun masih bertanya-tanya.

***


Take me where I've never been
Help me on my feet again
Show me that good things come to those who wait...

lebih lama bersamaku saja

01 August, 2012


Aku menikmati pemandangannya sore itu, di balik kaca jendela bus yang sedang beradu dengan waktu. Pohon-pohon yang bergerak seperti slide dalam presentasiku, angin yang tidak begitu ramah dan juga hujan yang ramai. Kaca jendelanya rusak, tak bisa tertutup. Untung saja aku suka hujan, walaupun kelihatannya sangat aneh berbasah-basah seperti itu di dalam bus.

Kau tahu kan, di luar sana banyak orang yang katanya sangat suka dengan hujan. Tapi saat hujan turun, mereka malah mencari payung atau berteduh di amperan toko. Aku ini suka dengan hujan, seperti menyukai musim semi. Apa lagi hujan pertama setelah berbulan-bulan, pasti aku akan sengaja keluar membeli sesuatu dengan motor dan menyembunyikan mantel di kolong tempat tidur.

Aku bahkan mengendarai motor di jalan raya tanpa helm, tak peduli lagi dengan aturan yang ada. Yah, mungkin di titik itu aku tidak menyukai hujan, tapi lebih dari itu. Seperti inilah orang yang sedang kasmaran, tak peduli dengan apapun. Bahkan dengan logika orang lain yang mengatakan aku ini gila, itu sudah konsekuensi.

Tapi tenang saja, perasaanku pada hujan tidak sama padamu. Tak pernah sama, aku bahkan tidak bisa membandingkannya denganmu, kalian benar-benar berbeda. Kau, bukan hal yang hanya datang pada musim tertentu ataukah hari-hari yang kau ingini saja. Di musim apapun, kau selalu bersamaku. Keadaan seperti apapun kau selalu bisa diandalkan.

Bisa dibilang, tanpamu hidupku menjadi sedikit rumit. Kau sangat dekat dengan keluargaku, kau bahkan membuatku punya teman baik dan memperbaiki hubunganku dengan kawan lama. Lihatkan, bagaimana hari-hariku menjadi lebih baik saat bersamamu. Jadi jangan pernah pergi meninggalkanku lagi seperti mereka yang sebelumnya.

Aku juga masih ingat pertemuan awal kita, hari yang sangat cerah. Bersama dua orang kawan, aku menyusuri pertokoan di lantai tiga. Kebetulan aku melihatmu, kau begitu manis dan sederhana. Sebenarnya sudah lama aku memperhatikanmu, tapi tidak pernah berani menanyakan tentangmu kepada si bapak yang berkumis itu. Karena hatiku sudah memilihmu, maka kita bisa saling memiliki. Kau memiliki waktuku, sedang aku memilikimu seutuhnya.

Kau tak perlu khawatir saat bersamaku, aku akan selalu membantumu saat terjatuh. Merawatmu dan memberimu hal yang kau butuhkan setiap waktu. Sejak pertama kali kita bertemu, aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk lebih menghargaimu daripada mereka yang sebelumnya.

Jadi bertahanlah lebih lama bersamaku, simpan saja semua kenangan kita di dalam sana. Foto, sms, video, dan juga note-note yang tidak begitu penting itu. Aku tidak akan pernah memaksamu untuk menghapusnya. Terima kasih karena kau sudah menemaniku sejauh ini.

Untuk sekarang,.. berteduh dulu di dalam sana. Di saku celanaku.