Pages

perempuan pertama

21 December, 2012



Ini bukan jatuh cinta pada pandangan pertama.
Sungguh, aku sudah memiliki perasaan ini jauh hari sebelum kita bertemu.
Engkau yang matanya menggugah semesta dalam air bah kesedihan.
Engkau yang di dahinya mengalir sungai-sungai tandus yang mengukir seribu macam kisah.
Engkau yang helai rambutnya berguguran bak lembaran daun yang menguning di musim kemarau.
Aku tak tahu harus melakukan apa semenjak kali pertama kita bertemu.

Aku tak sadar waktu itu, aku belum mengerti apa-apa.
Katanya, saking bahagianya bertemu denganmu, aku sampai menangis dan memelukmu begitu erat.
Orang-orang dengan seragamnya yang berbau khas sedang memperhatikan kita.
Mereka tersenyum.
Aku tak peduli dan tak mau tahu apa itu peduli.
Aku hanya tahu, semenjak hari itu aku membutuhkanmu. Bahkan, aku tak mengerti apa itu butuh.
Engkau adalah duniaku. Poros bagi segala kehidupan yang telah engkau pinjamkan atas izin-Nya.

Jangan kemana-mana, tetaplah bersama kami. Lihatlah dulu anak-anakmu ini menjadi manusia yang telah dimanusiakan oleh segala kebaikanmu.

Selamat hari ibu, untuk ibu.

pict from here

catatan perjalanan: menelusuri Rammang-rammang

19 December, 2012


Desa Rammang-rammang terletak di kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Saya tidak tahu harus menyebutnya desa atau dusun, sepertinya sama saja. Rammang-rammang adalah sebuah tempat yang hanya dihuni belasan kepala keluarga di sana. Tempat itu terpencil. Dikelilingi oleh lembah dan bukit yang biasa disebut karst. Satu-satunya jalan menuju tempat itu hanyalah lewat sungai menggunakan perahu kecil. Banyak turis asing yang biasanya ke tempat itu karena berseberangan dari tempat itu juga ada goa telapak tangan. Goa yang punya banyak telapak tangan orang-orang jaman dulu di langit-langitnya.


Tarif turis asing menggunakan perahu kecil biasanya Rp. 50.000,00 sudah pulang pergi. Maksimal dalam satu perahu memang diisi empat orang saja. Untuk turis lokal, biasanya hanya Rp. 20.000,00 saja. Bahkan bisa gratis kalau kita kenal sama daeng yang punya perahu itu. Kalau untuk kalangan mahasiswa, daeng pemilik perahu tidak menentukan tarif, katanya seikhlasnya saja. Entah apa maksudnya. Orang-orang di sana memang sangat ramah.

Saya beserta empat orang teman pergi menggunakan dua perahu. Ini pertama kalinya dalam beberapa tahun ini saya menggunakan perahu kecil seperti ini lagi. Biasanya hanya di laut saya menaiki perahu semacam ini, itupun ukurannya yang lebih besar. Sensasinya memang beda.

Sepanjang sungai saya menyaksikan pemandangan yang tidak biasa. Romansa alam yang dipadu-padankan dengan kehidupan masyarakat setempat sangat jelas terlihat. Inilah kehidupan sungai. Saya merasa takjub sendiri melihat itu semua. Beberapa kali kami berpapasan dengan orang-orang yang pulang dari kota. Di atas perahunya ada sepeda untuk anak kecil. Beberapa penduduk juga membawa karung-karung beras yang bertumpuk di perahunya. Bahkan ada beberapa perahu yang sengaja menepi karena bertemu dengan temannya. Salah satunya mengeluarkan sebungkus rokok dan menghisapnya bersama.
penduduk asli yang begitu murah senyum. hha
Tidak sampai sejam untuk sampai di dusun Rammang-rammang. Tepian batu-batu seperti karang-karang di pinggirnya adalah pertanda bahwa kami sudah mendekati tempat tujuan. Saya selalu terkesima dengan panorama alam semacam ini. Masih alami dan mengukir banyak sejarah.
ini seperti menjadi dermaga memasuki dusun Rammang-rammang
dermaga, pasang gaya bentar
Saya penasaran, kira-kira siapa orang yang pertama kali menemukan tempat ini. Saya sudah bertanya ke beberapa orang penduduk di sana tapi mereka juga tidak tahu.
Tempat itu begitu asri. Tak ada suara-suara kendaraan bermotor di sana. Hanya suara burung-burung bersama desau ilalang dan pohon-pohon yang tenang. Ada sawah dan juga empang. Sepertinya itu sudah cukup untuk membuat tempat ini makmur tanpa bantuan dari dunia luar. Ya, begitu damai dan tenang.

perjalanan ke salah satu rumah penduduk, makan dan istirahat



chank, iank, huda, aman dan someonenya.
Tempat itu telah menjadi salah satu tempat favorit saya di pulau ini. Terpencil dan jauh dari keributan kota. Kadang, kita membutuhkan suatu tempat di mana kita bisa menyelami pikiran orang lain. Dan di sanalah saya bisa menyelami pikiran-pikiran penduduknya. Walaupun tidak sepenuhnya dan secara utuh. Melihat kehidupan mereka yang serba sederhana dan sangat minim dari kesan mewah, mereka masih terlihat begitu bahagia. Mereka menjalani takdir dan memilih hidup di tempat itu. Di rumah-rumah mereka juga banyak karung-karung beras. Bahkan sampai di langit-langit ruang tamu dijadikan gudang penyimpanan beras. Saya terkesima sekali lagi.

Nb: dokumentasi oleh Iank.
Catatan Perjalanan: Popcorn's 2nd Anniversary

pohon oak itu tabah

01 December, 2012



Lelaki itu sedikit geram pada senja akhir-akhir ini. Yang benar saja, senja  selalu mengeja nama perempuan di dalam kepalanya menjadi burung gereja yang mengepak jauh. Tenggelam di kaki langit. Dia tak tahu kemana burung kecil itu akan pergi. Yang dia tahu, burung itu selalu bertengger di pohon oak di kota seberang. Itu adalah pohon yang dahannya selalu menengadahkan ranting-rantingnya ke langit. Menimang hujan sembari berdoa. Mungkin burung itu juga akan mengeram rindu di sana. Hanya butuh hitungan hari sampai akhirnya cangkang rindu itu retak dan menetas menjadi candu.

Pada awalnya lelaki itu sangat bingung. Kenapa harus nama perempuan itu yang dieja senja. Padahal semenjak nama perempuan itu ada di dalam kepalanya, ia bahkan tak ingin apa-apa lagi. Mengetahui kalau mereka ada di galaksi yang sama saja sudah hampir membuatnya lupa dengan daratan. Apalagi tahu kalau mereka berdua ada di kota yang sama. Memiliki perempuan itu sepertinya akan membuat kehidupannya menjadi utuh. Tapi dia teringat kata-kata seseorang, “perkara cinta dan memiliki itu adalah dua perkara yang berbeda, tak selamanya mereka itu satu sekutu.” lelaki itu hanya tersenyum penuh tanya.

Kadang, ketika kita menjatuhkan hati pada seseorang, saat itu juga kita belajar menilai diri sendiri. Memantaskan diri. Jujur saja, lelaki itu sudah belajar tentang hal sederhana itu pada perempuan itu. Lewat matahari pagi yang selalu terbit di mata perempuan yang pernah tinggal di dalam imajinasinya itu. Dia tidak pernah mengecilkan nilai-nilai yang ada pada dirinya sendiri. Sungguh, rasa syukur pada kehidupan selalu dilantunkannya. Dia hanya belajar untuk tidak membuat orang lain merasa terbebani ketika berada di sekitar mereka. Problematika hidup telah membawanya ke tempat yang tak pernah dikiranya sebelumnya.

“Ini bukan duniamu. Disini semuanya masih tampak samar. Kau tak akan pernah betah ada di tempatku.”

Kehidupan mengajarkan terlalu banyak hal padanya, mungkin memang selalu seperti itu. Atau mungkin lelaki itu yang tidak siap dengan perubahan. Dia yang tidak siap dengan segala kemungkinan terburuk pada kehidupan.Tapi tak apa katanya, dia sudah ada di titik itu sekarang. Dia hanya harus menarik garis yang menukik naik agar semuanya kembali baik. Semoga dia masih punya kekuatan lebih untuk itu.

“O, ya, aku punya permintaan penting padamu, Jangan kemana-mana lagi. Kau bahagia saja di sana. Di tempat di mana aku bisa memperhatikanmu, tanpa kau pernah sadar bahwa aku selalu menyimpan sebongkah semesta perasaan ini padamu.”

Kemudian lelaki itu menerbangkan nama perempuan itu kembali ke langit. Berharap senja menyembunyikannya di balik awan seperti cerita lain. Pelan-pelan angin akan membawanya pergi  menjauh ke langit abu-abu. Tak perlu menunggu musim mengganti bajunya. Perempuan itu akan menjadi hujan. Jatuh ke bumi dan ditimang pohon oak yang begitu tabah, menjatuhi lelaki yang tampak tegar itu. Setelahnya, semoga tuan waktu menjalankan tugasnya dengan baik.

"Aku tahu, waktu selalu punya caranya sendiri untuk melewatkan semua ini. Pertanyaan yang belum juga menemukan jawabannya, cita-cita masa kecil, dan ya tentu saja mimpi-mimpi yang masih menggelantung di langit-langit kamar kita."

pict from here