Lelaki itu sedikit geram pada senja akhir-akhir ini. Yang benar saja, senja selalu mengeja nama perempuan di dalam kepalanya menjadi burung gereja yang mengepak jauh. Tenggelam di kaki langit. Dia tak tahu kemana burung kecil itu akan pergi. Yang dia tahu, burung itu selalu bertengger di pohon oak di kota seberang. Itu adalah pohon yang dahannya selalu menengadahkan ranting-rantingnya ke langit. Menimang hujan sembari berdoa. Mungkin burung itu juga akan mengeram rindu di sana. Hanya butuh hitungan hari sampai akhirnya cangkang rindu itu retak dan menetas menjadi candu.
Pada awalnya lelaki itu sangat bingung. Kenapa harus nama perempuan itu yang dieja senja. Padahal semenjak nama perempuan itu ada di dalam kepalanya, ia bahkan tak ingin apa-apa lagi. Mengetahui kalau mereka ada di galaksi yang sama saja sudah hampir membuatnya lupa dengan daratan. Apalagi tahu kalau mereka berdua ada di kota yang sama. Memiliki perempuan itu sepertinya akan membuat kehidupannya menjadi utuh. Tapi dia teringat kata-kata seseorang, “perkara cinta dan memiliki itu adalah dua perkara yang berbeda, tak selamanya mereka itu satu sekutu.” lelaki itu hanya tersenyum penuh tanya.
Kadang, ketika kita menjatuhkan hati pada seseorang, saat itu juga kita belajar menilai diri sendiri. Memantaskan diri. Jujur saja, lelaki itu sudah belajar tentang hal sederhana itu pada perempuan itu. Lewat matahari pagi yang selalu terbit di mata perempuan yang pernah tinggal di dalam imajinasinya itu. Dia tidak pernah mengecilkan nilai-nilai yang ada pada dirinya sendiri. Sungguh, rasa syukur pada kehidupan selalu dilantunkannya. Dia hanya belajar untuk tidak membuat orang lain merasa terbebani ketika berada di sekitar mereka. Problematika hidup telah membawanya ke tempat yang tak pernah dikiranya sebelumnya.
“Ini bukan duniamu. Disini semuanya masih tampak samar. Kau tak akan pernah betah ada di tempatku.”
Kehidupan mengajarkan terlalu banyak hal padanya, mungkin memang selalu seperti itu. Atau mungkin lelaki itu yang tidak siap dengan perubahan. Dia yang tidak siap dengan segala kemungkinan terburuk pada kehidupan.Tapi tak apa katanya, dia sudah ada di titik itu sekarang. Dia hanya harus menarik garis yang menukik naik agar semuanya kembali baik. Semoga dia masih punya kekuatan lebih untuk itu.
“O, ya, aku punya permintaan penting padamu, Jangan kemana-mana lagi. Kau bahagia saja di sana. Di tempat di mana aku bisa memperhatikanmu, tanpa kau pernah sadar bahwa aku selalu menyimpan sebongkah semesta perasaan ini padamu.”
Kemudian lelaki itu menerbangkan nama perempuan itu kembali ke langit. Berharap senja menyembunyikannya di balik awan seperti cerita lain. Pelan-pelan angin akan membawanya pergi menjauh ke langit abu-abu. Tak perlu menunggu musim mengganti bajunya. Perempuan itu akan menjadi hujan. Jatuh ke bumi dan ditimang pohon oak yang begitu tabah, menjatuhi lelaki yang tampak tegar itu. Setelahnya, semoga tuan waktu menjalankan tugasnya dengan baik.
"Aku tahu, waktu selalu punya caranya sendiri untuk melewatkan semua ini. Pertanyaan yang belum juga menemukan jawabannya, cita-cita masa kecil, dan ya tentu saja mimpi-mimpi yang masih menggelantung di langit-langit kamar kita."
pict from here