Pages

pada waktunya

30 June, 2013

Retni,

Apa kabarmu? 
Saya harap kau selalu baik-baik saja di manapun kakimu berhenti melangkah.
Apa kabarnya dengan anak kita? Saya rasa, dia sudah mau lulus dari sekolah dasar sekarang ini. Salam sayang untuknya kalau kau tidak keberatan. Retni, tahun-tahun berlalu begitu cepat. Tapi entah kenapa rasanya waktu berlalu begitu lambat ketika mengingat kalian.

Saya juga mulai merasa bosan akhir-akhir ini. Hidup begitu saja dan tak ada yang berubah. Maksud saya, tak ada yang berubah dari pikiran-pikiran saya. Saya melihat lingkungan yang sama setiap harinya. Orang-orang yang bangun pagi dengan tujuan yang sama. Menjalani rutinitas agar tetap dibilang sebagai manusia. Walaupun ada beberapa yang hanya tinggal di dalam kamar, dan menghabiskan satu hari lagi yang sia-sia. Tetap saja, lingkungan semacam ini membuat pikiran saya menjadi seperti hampir mati.

Kau tahu, suatu hari saya ingin bebas dari semua rutinitas ini. Melakukan apa saja yang saya suka seorang diri. Tidak terbelenggu dengan tuntutan atau apapun yang membuat pikiran ini sering mengawang-awang. Saya ingin bebas, Retni. Saya ingin bebas pergi kemanapun. Tapi kalau kalian ingin ikut, saya pasti tak keberatan. Menghabiskan waktu bertiga dengan anak kita ke tempat-tempat yang belum pernah kita datangi kedengarannya menyenangkan.

Tapi, saya rasa itu hanya akan menjadi cita-cita yang tak punya ujung. Hidup terlalu datar dan semuanya terasa sama saja. Setelah menempuh pendidikan dan mendapatkan pekerjaan yang layak, kita juga masih harus membantu orang tua lepas dari rutinitasnya selama ini. Itu sudah tugas kita sebagai seorang anak.
Saya masih ingin menemani Ibu di sini.

Apa kabar dengan Ayah? Semoga kolestrolnya tidak naik lagi gara-gara tidak mau mendengarkanmu saat di meja makan. Oh, ya, saya juga punya beberapa obat-obatan untuk Ayah bersama paket surat ini. Seorang teman memberikannya padaku untuk diberikan kepada Ayah. Obatnya benar-benar manjur, katanya. Ibunya sembuh dari kolestrol gara-gara obat itu. Tentu saja, kalau tidak ditambah perhatian yang manis dari anaknya, obat itu tak ada gunanya. Tapi, saya tak perlu meragukan sedikitpun soal perhatian itu.

Kau memang punya perhatian yang baik terhadap orang-orang dekatmu. Sangat perhatian sampai-sampai selalu lupa memperhatikan diri sendiri. Dulu, kau bahkan pernah jatuh sakit karena terlalu memikirkan kesembuhanku di rumah sakit. Itulah kenapa, terkadang saya juga khawatir pada sifatmu yang itu.
Apakah engkau masih seperhatian itu?

Kau tidak kesepian di sana kan, Retni? Tentu saja tidak. Ada anak kita bersamamu. Kau bisa mendengar suara tawanya setiap hari. Melihat matanya bersinar lebih manis dari matahari pagi. Mengecup keningnya. Membelai rambutnya dan menimangnya saat tertidur pulas. Ah, menuliskannya membuat saya merasa kesepian kali ini. Saya juga ingin melakukannya. Tapi nanti, kalau waktunya sudah tiba saya harap kau yang berada di sampingku saat itu.

Kecelakaan di jalan tol tempo hari masih selalu datang dalam mimpi saya, Retni. Saya merasa bersalah kebanyakan. Saya tidak menjagamu, anak kita, dan Ayah. Saya selalu merasa kesal terhadap diri saya sendiri setiap mengingat kejadian itu. Tapi sungguh. Tak pernah seharipun dalam hidup saya tidak mendoakan kebaikan kalian di sana.

Saya tahu, kau tak ingin melihat saya merasakan perasaan bersalah ini terus menerus. Saya juga tahu, kau pasti akan kecewa jika melihatku sekarang yang begitu berantakan karena tak mendapat perhatianmu. Saya menjadi seorang suami yang kacau karena kehilangan keluarga kecilnya. Saya bahkan tak mengenali diri saya sendiri beberapa tahun terakhir.

Semua hal memang butuh waktu, tapi terkadang waktu itu kita yang membuatnya sendiri, bukan keadaan, atau siapapun. Kau tahu, saya butuh waktu 2 setengah tahun untuk menerima semua kejadian itu. Saya bahkan masuk rumah sakit jiwa. Minum obat-obatan orang gila. Tidur di bekas tempat tidur orang gila. Makan dari piring bekas orang gila. Dan sekamar dengan orang-orang gila. Bisakah kau bayangkan betapa beruntungnya saya yang sebenarnya masih waras ini tidak ikut-ikutan gila?

Saya sengaja mengubur surat ini di bawah pohon Oak kesukaan kita.Yang katamu dulu, kau ingin membuat ayunan untuk anak kita di sana. Oh, ya, sekarang saya sudah mulai mengenakan kemeja lagi. Kemeja biru langit kesukaanmu. Dalam seminggu, mungkin ada tiga kali saya memakainya. Sampai teman-teman di kantor mengira saya tak pernah mencucinya. Saya tak peduli. Mau bagaimana lagi kalau sudah cinta.

Kau akan terus hidup dalam ingatanku, Retni.
Kalian, akan selalu hidup di dalam sana.

semati-matinya mati

11 June, 2013

"Bodoh. Kau bisa mati saat itu."

"Maksudmu,.. jantung berhenti berdetak?"


"Iya. Kamu akan mati kalau kau terus-terusan membiarkan orang lain menyakitimu."

"Kau itu tidak sepintar yang aku kira."

"Maksud kamu apa?"

"Kau tidak mengerti mati yang sebenarnya."
.......


"Jadi menurutmu, kamu lebih mengerti tentang mati?"

"Ditembak dengan pistol tepat di jantung, melompat ke jurang, urat nadi dipotong, atau tubuhmu dibakar sampai diracuni. Apakah kau benar-benar mati dengan itu semua?"

..............

"Ya. Tentu saja itu semua bisa membuatmu mati. Mati seketika!"

"Bukan. Bukan hal semacam itu yang membuat seseorang mati. Kita akan mati ketika tak ada lagi yang membutuhkan keberadaan kita. Tak ada lagi yang merindukan. Tak ada lagi yang mengingat walaupun hanya sekedar nama atau diberi ucapan selamat hari raya. Kita akan mati ketika tak ada lagi dalam ingatan siapapun. Terlupakan."


"Terlupakan lebih menyedihkan daripada terabaikan."


"Jangan curhat. Menjengkelkan!"


"Hahaha. Kamu terlalu sentimentil seperti biasa! Kamu sudah pernah mati?"




"Selama kau ada, bagaimana mungkin aku bisa mati."

.
.
.
____
Sebut saja kita ini dua orang pelawak gila. Mengingat mati seperti menunggu makanan yang tiap hari kita santap di meja makan. Tak pernah benar-benar kenyang dengan jamuan itu. Selalu kelaparan dan bertanya-tanya bagaimana semua ini akan berakhir. Mungkin sampai kita benar-benar mati. Sampai tak ada lagi yang perlu dipertanyakan dan yang tersisa hanyalah jawaban yang paling jujur.