Pages

Surat untuk Kian

12 May, 2013

Teruntuk Kian.

Ini adalah surat terakhir saya sebelum pergi lagi dari kota ini. Ya, Kian, seminggu lalu saya datang ke rumahmu. Tapi ternyata di sana sudah kosong. Kau tak lagi tinggal di sana selama dua tahun terakhir. Di situ juga saya baru sadar bahwa kita telah salah persepsi selama ini. Kalau kau bingung, saya ingin menjelaskannya pelan-pelan. Ini tidak akan panjang, karena saya juga takut ketinggalan kapal. Saya menulis surat ini di warung dekat pelabuhan sambil menenggak segelas kopi tanpa gula.

Saya diberitahu tetanggamu. Bahwa kalian sekeluarga telah pindah rumah pada bulan April dua tahun lalu. Kalian pindah ke pinggiran kota, dekat dengan pantai. Kau tahu, di bulan itu juga saya pindah kontrakan, Kian. Saya sudah menuliskan alamatnya di surat untuk balasan suratmu yang terakhir. Tapi sekarang saya tahu surat itu tak pernah sampai di tanganmu. Pantas saja tak pernah ada balasan surat lagi selama dua tahun terakhir darimu. Surat saya dan suratmu telah salah alamat.

Kian, kau masih ingat janji saya lima tahun lalu kan? Saya sudah memenuhi janji itu, Kian. Pulang padamu setelah memantaskan diri. Tapi maafkan saya karena janji itu terlewat selama setahun. Saya punya alasan. Walaupun sebenarnya alasan itu tak punya arti apa-apa. Kau tidak akan pernah percaya apa yang telah saya lalui setahun terakhir. Saya hampir mati. Iya, syukurlah kata ‘hampir’ masih ada di sana.

Tiga hari sebelum  tanggal 14 Desember tahun lalu; di mana janji kita untuk bertemu, saya sudah menaiki kapal ke tanah kelahiran kita ini, Kian. Saya begitu bahagianya. Karena Tuhan begitu berbaik hati soal rejekinya pada saya. Walaupun setahun pertama di  kota itu saya terlunta-lunta, tahun berikutnya saya mulai bisa memperbaiki semuanya. Saya juga belajar ikhlas lebih banyak di kota itu.

Saya ini takut ketinggian, makanya harus naik kapal kalau ingin ke Negara lain. Kau pasti belum lupa bagaimana dulu saya jatuh dari pohon nangka gara-gara dipanggil olehmu. Kaki saya patah, tapi untung saja waktu itu ada ayahmu yang membuatnya normal kembali. Kau menangis seharian karena merasa itu salahmu. Saya berkilah itu bukan salahmu. Padahal kalau boleh jujur, itu karena senyummu yang teramat manis di lihat dari atas pohon nangka itu. Konsentrasiku jadi buyar. Ah, itu rahasia masa kecil saya.

Kau pasti tak ingin mengingat kenangan konyol kita lagi. Kita memang tidak boleh terlalu lama melihat kebelakang. Mungkin itu alasan kenapa mobil punya spion kecil dan punya kaca depan yang besar. Kalau terlalu lama melihat kebelakang, kita tidak akan memperhatikan apa yang ada di depan. Bisa-bisa nabrak, atau malah masuk ke jurang. Duh, kenapa saya malah menulis hal semacam ini. Biarlah, saya malas mencari penghapus. Saya lanjutkan saja di paragraf berikutnya.

Pada tanggal 12 Desember setelah kapal melewati Samudera Hindia dan hampir masuk ke Laut Sulawesi, kapal saya karam. Malam itu cuacanya memang sangat buruk. Langit bergemuruh, menyala-nyala, petir dan hujan lebat membuatnya sangat dramatis. Saya terbangun gara-gara kapal terus berguncang tak karuang. Di dalam hati saya tak hentinya berdoa. Hanya itu yang bisa saya lakukan saat itu. Lalu tiba-tiba saja ada suara keras terdengar diikuti getaran yang begitu hebat. Sepertinya lambung kapal baru saja menabrak sesuatu. Sirine di setiap kabin mulai berbunyi. Orang-orang mulai berdesakan keluar berlari ke geladak utama. Saya ada di depan. Seorang nahkoda menggiring saya naik sekoci lebih dulu agar bisa membantu yang lainnya untuk naik. Tapi malang tak dapat disangka, Kian.

Kapal itu berguncang hebat karena angin dan ombak. Sebegitu kencangnya sampai tali sekoci yang saya naiki terputus. Saya terjatuh, Kian. Bersama sekoci dan harapan-harapan tentang pertemuan kita yang telah saya tunggu. Detik itu, saya mengingat semua tentang kota kita. Orang tua, sahabat, teman dan apa-apa saja yang begitu saya inginkan dalam hidup. Salah satunya membahagiakanmu. Saya pikir malam itu akan mati di tengah laut. Semuanya kemudian menjadi gelap ditelan malam.

Siang itu saya terbangun karena disengat matahari. Sekoci saya terombang-ambing di tengah lautan, Kian. Tak ada apa-apa di sana kecuali saya, sekoci, dan hamparan laut sampai di kaki langit. Saya tak henti-hentinya bersyukur campur haru mengingat malam yang begitu kelam itu. Dua minggu lebih saya berada di atas sekoci dengan persediaan makanan seadanya. Untung saja sekoci itu punya persediaan makanan untuk seminggu. Minum air hujan adalah hal yang paling saya suka.

Setelah berminggu-minggu, saya menemukan sebuah pulau. Pulau yang ditumbuhi buah berbentuk aneh yang rasanya sangat manis. Di sana juga ada sebuah danau yang kecil. Airnya tawar. Saya tertawa sampai menangis, Kian. Saya tak bisa menampikkannya lagi. Air mata itu keluar begitu saja karena nikmat Tuhan yang tak henti-hentinya.

Kian, di pulau itu saya menghabiskan waktu berbulan-bulan menunggu pertolongan. Berharap ada kapal yang lewat seperti berharap hujan di gurun sahara. Saya putus asa. Saya bisa hidup di pulau itu, Kian. Di sana begitu banyak makanan. Tapi saya tak ingin tinggal di sana. Saya teringat keluarga dan dirimu. Saya takut membuatmu menunggu terlalu lama. Saya tak ingin kau risau seperti perasaan risau yang saya rasakan saat itu.

Setelah berbulan-bulan berteman dengan sepi, saya mulai bosan. Tekad mulai menumpuk untuk pergi dari pulau itu. Persediaan makanan untuk sebulan sudah siap. Saya tak tahu akan kemana sekoci itu pergi. Saya menyerahkan sepenuhnya pada takdir. Saya tak mau menjadi tua di pulau itu. Saya ingin pulang. Kemana saja asal tidak sendirian di pulau itu.

Takdir ini seperti komedi, Kian.

Seminggu setelah meninggalkan pulau itu. Saya menemukan kapal. Kapal nelayan dari Indonesia. Mereka menolong saya. Mereka sangat kaget mendengar cerita saya tentang kapal yang hancur dan bagaimana saya telah terdampar di sebuah pulau selama berbulan-bulan. Mereka pikir saya ini manusia ajaib. Nelayan-nelayan yang baik itu kemudian membawa saya ke pelabuhan kota kita. Saya mencium tanahnya dan sedikit membayangkan wajahmu di sana.

Saya dibawa ke rumah sakit. Ibu datang dan memeluk saya begitu erat. Air matanya tumpah tak terkira lagi. Saya bahagia masih bisa bertemu dengannya.  Kian, tiba-tiba saja saya menjadi anak yang manja. Meminta masakan ibu dari pagi sampai malam. Hampir seminggu saya berada di sana. Lewat jendela rumah sakit, saya melihat penjual terompet di pinggir jalan. Penjual terompet kebanyakan hanya ramai di bulan Desember. Saya kemudian kaget melihat kalender. Hari itu tanggal 13 Desember. Saya meminta izin pada dokter untuk pulang.

Begitulah, akhirnya saya sampai di rumahmu tapi malah bertemu dengan orang lain. Mereka penghuni baru. Saya bersyukur di sana masih ada pohon nangka yang sering kita manjat sewaktu masih kecil. Walaupun sekarang sudah tidak berbuah lagi. Saya mendapat alamat rumahmu dari Mak Alin tetangga yang sering kita ganggu dulu. Saya lalu buru-buru menuju rumahmu dengan bus. Lalu berjalan dan bertanya-tanya pada orang-orang sepanjang jalan.

Hari itu saya sampai di rumahmu, Kian. Saya berdiri di depan pagar kayu berwarna cokelat tua itu dengan gugup. Saya takut menumpahkan semua kerinduan ini sekaligus. Saya menarik nafas dan menghembuskannya seperti sedang meditasi. Itu cukup bisa menenangkan. Tapi debar jantung tetap saja masih bergemuruh, ribut di dalam sana masih lebih daripada saat malam yang kelam itu. Baru selangkah kakiku beranjak dari tanah tapi tiba-tiba saja kau keluar dari dalam rumah, Kian.
Bahagia baru saja diciptakan.

Saya tersenyum dengan hujan yang tiba-tiba saja jatuh dari langit mata ini. Kau duduk di teras rumah sambil menenteng secangkir teh. Dengan sedikit susah payah memperbaiki posisi duduk. Terang saja, perutmu yang besar itu membuatmu sedikit kerepotan. Kehamilanmu sepertinya sudah dipenghujung bulan. Kau mengusap perutmu lalu menarik nafas panjang, kemudian senyum itu tiba-tiba merekah. Manis sekali.

Pram?

Gerak bibirmu jelas sekali menyebut namaku. Kau beranjak dari tempatmu hanya untuk memastikan agar tidak salah menangkap sosokku. Ah, rasanya tak sanggup bertemu denganmu di detik itu. Maka dari itu saya pun beranjak secepat kilat dari tempat itu.
Kau tak perlu menjelaskan apapun lagi, Kian. Penglihatan manusia lebih cepat daripada kata-kata menyampaikan sesuatu. Dan aku bisa mengerti semua pemandangan sore itu dengan baik.

Tidak apa, Kian. Siapalah saya ini yang bisa menentang sesuatu yang telah ditentukan oleh Sang Pencipta. Saya memang bodoh. Berpikir bahwa kau akan menunggu saya selama  beberapa tahun setelah tak berkabar. Kalau hari itu kau memanggil namaku untuk meminta maaf, saya sudah memaafkanmu sebelum kau menyebut namaku. Saya juga ingin meminta maaf karena telah membuatmu menunggu terlalu lama.
Saya tak marah. Sungguh. Saya bahkan tidak pantas marah padamu.

Kiana yang manis, dan selalu akan lebih manis ketika tersenyum. Jangan sesalkan apapun yang sudah terjadi dalam hidup ini. Biarlah, biarkan saja semuanya mengalir mengikuti arus waktu yang tak pernah kita mengerti. Seperti yang pernah saya katakan padamu, Kian. Saya mencintaimu dengan segala konsekuensi hidup yang melibatkanmu di dalamnya.

Kian, setelah kau menerima surat ini dari Mak Alin, itu artinya saya sudah berada di atas kapal. Kau harus tahu bahwa kota ini terlalu sempit untuk menampung kerinduan ini. Saya takut menumpahkannya secara tidak sengaja dan membuat hidupmu menjadi berantakan. Tidak, saya tidak ingin mengusik kehidupanmu lagi lebih daripada surat ini. Saya hanya berharap di pulau seberang ada seseorang yang bisa menguras perasaan ini sampai habis tak bersisa. Berat juga harus membawanya kemana-mana seorang diri.

Semoga langit selalu cerah di atas kepalamu, Kiana Larasvati.

Salam penuh rindu,
Pram Alswesta

Hei, smile.

06 May, 2013



Kita tentu saja sudah sering melihat orang-orang tersenyum. Kebanyakan dari mereka selalu berhasil membuat kita membalas senyumnya. Seperti terkena sihir. Kita pun tiba-tiba saja tersenyum. Tanpa alasan yang jelas. Tanpa tahu kenapa melakukan itu. Bahkan tak jarang juga kita melakukannya pada orang yang tak dikenal. Lalu saya kemudian berpikir, bahwa kalau ada hal sederhana yang bisa mendekatkan semua orang di dunia ini, mungkin itu senyuman.

Saya tak peduli apakah itu senyum yang dibuat-buat atau tidak. Saya juga tak ingin ambil pusing tentang adanya senyum yang berlabel made in china. Saya masih terlalu muda untuk berpikir hal rumit semacam itu. Anggap saja saya ini orang yang naif. Menganggap bahwa senyuman itu tak pernah punya tendensi  melukai, tetapi menyembuhkan. Kita bahkan tak pernah tahu dampak dari sebuah senyuman untuk orang lain.

Senyum juga refleksi dari jiwa yang tabah. Maksud saya, tiap orang pasti punya masalah. Mau besar atau kecil, tetap saja namanya masalah. Dengan mereka tersenyum dan berhenti mengeluh; saya rasa itu sudah menjadi modal yang besar untuk memberi semangat kepada diri sendiri.

Dan ternyata seseorang yang punya pribadi yang hangat pasti juga punya senyum yang hangat. Senyum yang selalu membuatmu merasa ingin berteduh di sana kala dunia menjadi terlalu dingin untuk dihadapi. Senyum yang pada akhirnya kebanyakan dirindukan daripada diingat-ingat. O, ya, saya benar-benar membedakan antara mengingat dan merindukan. Itu dua hal yang sangat berbeda. Karena mengingat saja belum tentu rindu, tapi merindukan sudah pasti mengingat, kan?


Hha. tulisan ini benar-benar mulai menjadi tidak jelas. Mungkin ini efek karena terlalu menikmati dunia nyata. Serius. Setelah mengurangi waktu untuk online. Waktu saya yang dulunya dimakan dunia maya, akhirnya bisa dimuntahkan kembali. Online memang perlu, tapi sewajarnya saja. Saya juga butuh internet untuk bertemu teman Dumay, tapi dalam takaran yang sepantasnya.

Hei, selamat bermei-tamorfosis kawan. titik dua balas kurung.

Nb : Ini catatan selingan karena sedang tidak tahu ingin menulis cerita random tentang apa. hha