Pages

Ikan Mas di Kolam Pikiran

26 July, 2013


Aku ingin memancing ikan-ikan mas nakal di kepalamu,
yang tatkala itu sedang menyantap kenanganmu.
Ikan yang sengaja engkau beli pada pasar yang riuh
di hari berhujan yang gusar.

Mereka tumbuh dengan keterlaluan.
Memakan segala yang ada di kolam pikirmu dengan rakus.
Peluh kenangan yang keluar dari pori-pori ikan itu meluap,
melarungkan segala getir yang berhulu dari matamu.

Lalu ada jeda dari perbincangan kita yang monoton,
tentang surat kabar yang tak ada kabar siapasiapa di sana.
Kecuali aksara-aksara yang menyuarakan sunyi dan
kota kita yang dipeluk kemarau pada musim rindu.

Akulah lelaki malang itu, yang pernah berangan-angan
menjadi penyelam yang kehabisan nafas di kolam pikirmu.
Yang membusuk dan jadi bangkai digeramus waktu. 
Menjelma racun bagi ikan-ikan mas tak tahu diri.

______________________

Saya tidak pernah menulis puisi. Karena hari ini ulang tahun Chairil Anwar dan Hari Puisi, maka saya ingin memeriahkannya dengan menulis puisi.
Dia memang akan hidup seribu tahun lagi. Hebat.

Ramadhan Terakhir

24 July, 2013

Rasanya saya tidak tahu mau mulai dari mana. Makanya saya mulai saja dengan paragraf membingungkan ini. Tentang pertanyaan yang rasanya (masih) asing terlontar dari seorang Dhe.

"Andai Ramadhan ini bulan terakhir untuk kamu, impian apa yang ingin sekali diwujudkan?"

Setelah saya membacanya. Spontan di benak saya teringat seseorang. Fotonya ada di dalam dompet saya. Agak kumal dan lusuh karena sudah lebih dari 20 tahun foto itu diambil. Itu foto Ayah Kandung saya. Fotonya tidak terlalu jelas. Hanya matanya yang sedikit kentara. Matanya memang mirip dengan mata saya.
Kata Ibu, beliau adalah seorang seniman. Pelukis tepatnya. Saya tidak ingat bagaimana raut wajah dan suara beliau. Saya tidak ingat lagu-lagu nina bobonya. Bahkan saya tak pernah melihat lukisan-lukisan beliau. Tak ada yang bisa saya ingat saat umur belum tiga tahun dan orang tua saya memutuskan untuk saling memunggungi dan hidup dengan pilihannya masing-masing. Orang dewasa memang terkadang sulit dimengerti. 

Ibu memutuskan menikah lagi. Keluar dari kota kelahiran saya dan merantau ke negeri orang bersama Suaminya yang baru. Setelahnya, saya tidak pernah lagi mendengar kabar apapun tentang Ayah Kandung saya itu.
Dulu, sewaktu kami masih di Negeri orang. Ayah Kandung saya mencari kami di rumah kami yang sebelumnya. Tapi ternyata nasib memang punya harapannya yang lain untuk cerita keluarga ini. Kami tak pernah lagi dipertemukan. Seorang tetangga menceritakannya pada Ibu, lalu diceritakannya lagi pada saya saat sudah dikira cukup mengerti tentang rumitnya hidup.

Apakah dia mencari kami untuk memperbaiki sesuatu? Entahlah.

Saya bisa mengerti dan paham betul bagaimana situasinya saat itu. Dari cerita Ibu, saya cukup tau bagaimana sosok Ayah Kandung saya itu. Di dalam hati, saya bangga punya Ayah Kandung seperti beliau. Mungkin, itulah kenapa saya kagum sekali dengan seorang pelukis atau apapun yang berhubungan dengan penggambaran visual. Bahkan sebelum saya tau kalau ternyata Ayah Kandung saya itu seorang pelukis.

Kalau Ramadhan ini bulan terakhir untuk saya, saya akan memilih menghabiskannya dengan keluarga yang utuh. Saya ingin bertemu dengan Ayah Kandung saya itu. Apakah persoalan dia masih mengingat saya atau tidak. Saya tak peduli. Saya hanya ingin dia tau, bahwa anaknya tumbuh sebagaimana manusia yang lain sampai saat ini. 

Masa lalu ini akhirnya membuat saya selalu sinis terhadap beberapa orang. Maksud saya, orang-orang yang tidak menghargai orang tuanya. Mereka yang memasukkan orang tuanya ke panti jompo atau tidak memperlakukan mereka sebagaimana layaknya "jalan surga" yang lainnya.
Saya selalu gagal paham dengan alasan mereka. Selalu dan tak pernah paham!

Saya selalu percaya, bahwa memaafkan masa lalu adalah cara lain untuk berterima kasih pada hidup.
Semoga engkau selalu dalam lindungan-Nya.

foto beliau

bus stop

16 July, 2013




Saya tahu ini bukan pertama kalinya perasaan semacam itu merasuki kita. Tapi saya merasakannya seolah semuanya baru pertama kali. Hari yang malas. Kaki yang enggan kemana-mana. Ruang tamu, cerita absurd dan rahasia-rahasia dibongkar muat dengan senang hati. Tak ada yang lebih nyaman dari menjadi dirimu sendiri.

Seolah saja matamu yang sungai itu selalu menghanyutkan segala ragu menjauh. Sejak pertama kali melihatnya, saya mulai sadar. Walau matahari membeku suatu ketika, matamu bisa hadir sebagai hangat yang lain. Hal-hal baik di dunia memang tak pernah berhenti. Tak pernah benar-benar berhenti. Walaupun penderitaan juga tak pernah. Terasa sama saja. Harusnya kita bisa menikmati keduanya dengan jalan yang sama. Tapi terkadang saya hanya terlalu kalut untuk menentukan jalan.

Kau tahu, saya merasa kita pernah ada di bus yang sama dengan jurusan yang sama. Tapi sayangnya kita berhenti di halte yang berbeda. Tiap orang sepertinya punya takdirnya untuk berhenti di mana, akan kemana dan ingin melakukan apa setelah turun dari bus. Sedang saya tak tahu ingin berhenti di mana setelah bus ini bosan mengantar. Mungkin karena saya orang yang terlalu menikmati setiap perjalanan sampai lupa menentukan tujuan. Mungkin juga karena saya merasa perjalanan seperti itu adalah tujuan saya.

O, hidup ini memang selalu penuh dengan kemungkinan-kemungkinan lain.

Saya masih berharap. Suatu hari ada seseorang yang naik di bus itu. Duduk di sebelah saya dan menemani saya melewati jalan-jalan asing. Tak perlu bercerita. Tak perlu melucu. Bahkan tak perlu kata-kata. Bukankah keberadaan lebih penting daripada perhatian yang dibuat-buat? Saya rasa, itu gunanya tuhan memberi kita bahu. Tapi kalau kau memaksa melakukan sesuatu. Tak mengapa, kau boleh tersenyum. Karena senyum juga bahagia dan getir yang digaris menjadi satu.

 pict from here

Surat Pramoedya Ananta Toer dan Goenawan Mohamad

13 July, 2013

Surat menyurat ini berisi tentang surat terbuka Goenawan Mohamad terhadap Pramoedya, dan tanggapan Pramoedya terhadap surat terbuka Goenawan Mohamad. 
Surat terbuka Goenawan Mohamad dilatarbelakangi penolakan Pramoedya terhadap permintaan maaf Presiden RI saat itu, Gus Dur, terhadap tragedi tapol/napol PKI.

Surat Terbuka untuk Pramoedya Ananta Toer
oleh Goenawan Mohamad

Seandainya ada Mandela di sini. Bung Pram, saya sering mengatakan itu, dan mungkin mulai membuat orang jemu. Tapi Mandela, di Afrika Selatan, menyelamatkan manusia dari abad ke-20. Tiap zaman punya gilanya sendiri. Abad ke-20 adalah zaman rencana besar dengan pembinasaan besar. Hitler membunuh jutaan Yahudi karena Jerman harus jadi awal Eropa yang bersih dari ras yang tak dikehendaki. Stalin dan Mao dan Pol Pot membinasakan sekian juta "kontrarevolusioner" karena sosialisme harus berdiri. Kemudian Orde Baru: rezim ini membersihkan sekian juta penduduk karena "demokrasi pancasila" tak memungkinkan adanya orang komunis (dan/atau "ekstrim" lainnya) di sudut manapun.

Rencana besar, cita-cita mutlak, dan mengalirkan darah. Manusia menjadi penakluk. Ia menaklukkan yang berbeda, yang lain, agar dirinya jadi subjek.

Mandela bertahun-tahun di penjara, orang hitam Afrika Selatan bertahun-tahun ditindas, tapi kemudian ketika ia menang, ia membuktikan bahwa abad ke-20 tak sepenuhnya benar: manusia ternyata bisa untuk tak jadi penakluk. Ia menawarkan rekonsiliasi dengan bekas musuh. Ia tak membalikkan posisi dari si objek jadi sang subjek.

Tiap korban yang mengerti rasa sakit yang sangat tak akan mengulangi sakit itu bahkan kepada musuhnya yang terganas. Ia.akan menghabisi batas antara subjek dan objek. Makna "rekonsiliasi" di Afrika Selatan punya analogi dengan impian Marx: karena proletariat tertindas, kelas ini berjuang agar setelah kapitalisme ambruk, segala kelas sosial pun hilang. Proletariat tak akan mengakhiri sejarah dengan berkuasa, melainkan menghapuskan kekuasaan, pangkal lahirnya korban-korban. Sejarah adalah sejarah penebusan kemerdekaan. Utopia itu tak terlaksana, tapi tiap utopia mengandung sesuatu yang berharga. Begitu ia menang, Mandela membongkar kembali tindak sewenang-wenang para petugas rezim apartheid yang menindasnya (dan juga tindak sewenang-wenang pejuang kemerdekaan pendukung Mandela sendiri). Proses itu mirip “pengakuan dosa” di depan publik.

Kemudian: pertalian kembali. Mandela menunjukkan, bahwa pembebasan yang sebenarnya adalah pembebasan bagi semua pihak. Bung Pram, saya ragu apakah Bung akan setuju dengan asas itu. Bung menolak ide "rekonsiliasi", seperti Bung nyatakan dalam wawancara dengan Forum Keadilan 26 Maret 2000 pekan lalu. Bung menolak permintaan maaf dari Gus Dur. “Gampang amat!”, kata Bung. Saya kira, di sini Bung keliru.

Ada beberapa kenalan, yang seperti Bung, juga pernah disekap di Pulau Buru, di antaranya dalam keadaan yang lebih buruk. Mereka sedih oleh pernyataan Bung. Saya juga sedih, karena Bung telah bersuara parau ketidak-adilan. Justru ketika berbicara untuk keadilan. Bung terutama tak adil terhadap Gus Dur. Bagi seseorang dalam posisi Gus Dur, (Presiden Republik Indonesia, pemimpin NU, tokoh Islam, yang tumbuh dalam masa Orde Baru), meminta maaf kepada para korban kesewenang-wenangan 1965 berarti membongkar tiga belenggu yang gelap dan berat di pikiran banyak orang Indonesia.

Belenggu pertama adalah kebiasaan seorang pemimpin umat untuk memperlakukan umatnya sebagai kubu yang suci. Dengan meminta maaf, Gus Dur memberi isyarat bahwa klaim kesucian itu tak bisa dipertahankan, dan tak usah. Tiap klaim kesucian bisa jadi awal pembersihan dan kesewenang-wenangan. Dengan meminta maaf, diakui bahwa dalam peristiwa di tahun 1965 sejumlah besar orang NU, juga orang Islam lain - juga orang Hindu di Bali dan orang Kristen di Jawa Tengah - telah terlibat dalam sebuah kekejaman. Mengakui ini dan meminta maaf sungguh bukan perkara gampang. Bung Pram toh tahu tak setiap orang sanggup melakukan hal itu. Mungkin juga Bung sendiri tidak akan.

Dengan meminta maaf Gus Dur juga membongkar belenggu tahayul selama hampir seperempat abad: bahwa tiap orang PKI, juga tiap anak, isteri, suaminya, layak dibunuh atau disingkirkan. Gus Dur mencampakkan sebuah sikap yang tak mau bertanya lagi: adilkah yang terjadi sejak 1965 itu? Seandainya pun pimpinan PKI bersalah besar di tahun 1965, toh tetap amat lalim hukuman yang dikenakan kepada tiap orang, juga sanak keluarganya, yang terpaut biarpun tak langsung dengan partai itu. Kita ingat kekejaman purba: sebuah kota dikalahkan dan setiap warganya dibantai atau diperbudak.

Gus Dur agaknya tak menginginkan kezaliman itu. Ia, sebagai presiden, membiarkan dirinya dipotret duduk mesra dekat Iba, putri D.N. Aidit, yang hampir seumur hidupnya jadi pelarian yang tanpa paspor di Eropa. Dalam adegan itu ada gugatan: bersalahkah Iba hanya karena ia anak Ketua PKI? Jawaban Gus Dur: tidak. Tak banyak tokoh politik yang berbuat demikian, Bung Pram. Tak gampang untuk seperti itu. Gus Dur juga telah membongkar belenggu ”teori” tua ini: bahwa PKI selamanya berbahaya. Ia bukan saja minta maaf kepada para korban pembasmian massal 1965. Ia juga hendak menghapuskan larangan resmi bagi orang Indonesia untuk mempelajari Marxisme-Leninisme. Ia seperti menegaskan bahwa komunisme adalah masa lampau yang menjauh, gagal—juga di Rusia dan Cina. Memekikkan terus “bahaya komunis” adalah menyembunyikan kenyataan bahwa PKI jauh lebih mudah patah dalam perlawanannya dibandingkan dengan gerakan Darul Islam.

Siapa yang menghentikan masa lalu, akan dihentikan oleh masa lalu. Gus Dur tidak. Ia sering salah, tapi ada hal-hal pelik yang ia tempuh karena ia ingin masa lalu tak jadi sebuah liang perangkap. Ia memang bukan Mandela yang pernah dirantai. Tapi seorang korban yang memaafkan sama nilainya dengan seorang bukan-korban yang meminta maaf. Maaf bukanlah penghapusan dosa. Maaf justru penegasan adanya dosa. Dan dari tiap penegasan dosa, hidup pun berangkat lagi, dengan luka, dengan trauma, tapi juga harapan. Dendam mengandung unsur rasa keadilan, tapi ada yang membedakan dendam dari keadilan. Dalam tiap dendam menunggu giliran seorang korban yang baru.

Begitu sulitkah Bung menerima prinsip itu? Karena masa lalu seakan-akan menutup pintu ke masa depan? Sekali lagi: siapa yang menghentikan masa lalu, akan dihentikan oleh masa lalu.

Tapi mungkin juga Bung hanya bisa melihat korban sebagai perpanjangan diri sendiri. Seakan di luar sana tak mungkin ada. Dalam wawancara, Bung menyatakan setuju bila orang-orang yang tak sepaham dengan Revolusi disingkirkan (ini di masa “Demokrasi Terpimpin” 1959-1965, ketika sejumlah suratkabar dibrangus, sejumlah buku & film & musik dilarang, sejumlah orang dipenjarakan). Bung mengakui ini semua melanggar hak asasi. Dan Bung punya argumen: waktu itu “Perang Dingin” dan Indonesia dalam bahaya. Tapi kekuasaan apa yang berhak menentukan ada “bahaya” atau tidak? Dan jika adanya ”bahaya” bisa menjadi dalih penindasan, Soeharto pun menjadi benar. Ia juga dulu mengumumkan Indonesia terancam bahaya (”komunis”) di Perang Dingin, maka rezimnya pun membunuh, membuang, dan mencopot entah berapa ribu orang dari jabatan. Dan pengadilan dibungkam. Bung memang menambahkan: ingat, pelanggaran hak asasi waktu Bung Karno tak seburuk dengan yang terjadi di masa Orde Baru. Mochtar Lubis, korban Demokrasi Terpimpin, tak dikurung di Pulau Buru, tapi di Jawa. Memang ada perbedaan. Tapi adakah peringkat penderitaan? Bagaimana membandingkannya? Di mana ukurannya, bila di masa yang sama, apalagi di masa yang berbeda, ada yang ditembak mati, ada yang disiksa, ada yang di sel, ada yang di pulau?

Dalam sejarah kesewenang-wenangan, semua korban akhirnya diciptakan setara, biarpun berbeda. Suatu hari dalam kehidupan Pramudya Ananta Toer di Pulau Buru setara terkutuknya dengan suatu hari dalam kehidupan Ivan Denisovich dalam sebuah gulag Stalin. Tak bisa ada hierarki dalam korban, sebagaimana mustahil ada hierarki kesengsaraan.

Saya kira ini penting dikemukakan. Di zaman ketika sang korban dengan mudah dianggap suci, seorang yang merasa lebih ”tinggi” derajat ke-korban-annya akan mudah merasa berhak jadi maha hakim terakhir. Tapi seperti setiap klaim kesucian, di sini pun bisa datang kesewenang-wenangan. Mandela tahu itu. Gus Dur mungkin juga tahu itu. Keduanya merendahkan hati. Saya pernah mengharapkan Bung akan bersikap sama. Saya pernah harapkan ini, Bung Pram: bukan sekedar keadilan dan hukum yang adil yang harus dibangun, tapi di arus bawahnya, kebencian pun lepas, dan kemudian hilang, tenggelam. Saya tak tahu masih bisakah saya berharap.



(Tanggapan buat Goenawan Mohamad)

Saya Bukan Nelson Mandela
oleh Pramoedya Ananta Toer

Saya bukan Nelson Mandela. Dan Goenawan Mohamad keliru, Indonesia bukan Afrika Selatan. Dia berharap saya menerima permintaan maaf yang diungkapkan Presiden Abdurrahman Wahid (Tempo, 9 April 2000), seperti Mandela memaafkan rezim kulit putih yang telah menindas bangsanya, bahkan memenjarakannya. Saya sangat menghormati Mandela. Tapi saya bukan dia, dan tidak ingin menjadi dia.

Di Afrika Selatan penindasan dan diskriminasi dilakukan oleh kulit putih terhadap kulit hitam. Putih melawan hitam, seperti Belanda melawan Indonesia. Mudah. Apa yang terjadi di Indonesia tidak sesederhana itu: kulit cokelat menindas kulit cokelat. Lebih dari itu, saya menganggap permintaan maaf Gus Dur dan idenya tentang rekonsiliasi cuma basa-basi. Dan gampang amat meminta maaf setelah semua yang terjadi itu. Saya tidak memerlukan basa-basi.

Gus Dur pertama-tama harus menjelaskan dia berbicara atas nama siapa. Mengapa harus dia yang mengatakannya? Kalau dia mewakili suatu kelompok, NU misalnya, kenapa dia berbicara sebagai presiden? Dan jika dia bicara sebagai presiden, kenapa lembaga-lembaga negara dilewatinya begitu saja? Sekalipun dalam kapasitasnya sebagai presiden, Gus Dur tidak bisa meminta maaf. Negara ini mempunyai lembaga-lembaga perwakilan, dan biarkan lembaga negara seperti DPR dan MPR mengatakannya. Bukan Gus Dur yang harus mengatakan itu.

Yang saya inginkan adalah tegaknya hukum dan keadilan di Indonesia. Orang seperti saya menderita karena tiadanya hukum dan keadilan. Saya kira masalah ini urusan negara, menyangkut DPR dan MPR, tetapi mereka tidak bicara apa-apa. Itu sebabnya saya menganggapnya sebagai basa-basi.

Saya tidak mudah memaafkan orang karena sudah terlampau pahit menjadi orang Indonesia. Buku-buku saya menjadi bacaan wajib di sekolah-sekolah lanjutan di Amerika, tapi di Indonesia dilarang. Hak saya sebagai pengarang selama 43 tahun dirampas habis. Saya menghabiskan hampir separuh usia saya di Pulau Buru dengan siksaan, penghinaan, dan penganiayaan. Keluarga saya mengalami penderitaan yang luar biasa. Salah satu anak saya pernah melerai perkelahian di sekolah, tapi ketika tahu bapaknya tapol justru dikeroyok. Istri saya berjualan untuk bertahan hidup, tapi selalu direcoki setelah tahu saya tapol. Bahkan sampai ketua RT tidak mau membuatkan KTP. Rumah saya di Rawamangun Utara dirampas dan diduduki militer, sampai sekarang. Buku dan naskah karya-karya saya dibakar.

Basa-basi baik saja, tapi hanya basa-basi. Selanjutnya mau apa? Maukah negara mengganti kerugian orang-orang seperti saya? Negara mungkin harus berutang lagi untuk menebus mengganti semua yang saya miliki.

Minta maaf saja tidak cukup. Dirikan dan tegakkan hukum. Semuanya mesti lewat hukum. Jadikan itu keputusan DPR dan MPR. Tidak bisa begitu saja basa-basi minta maaf. Tidak pernah ada pengadilan terhadap saya sebelum dijebloskan ke Buru. Semua menganggap saya sebagai barang mainan. Betapa sakitnya ketika pada 1965 saya dikeroyok habis-habisan, sementara pemerintah yang berkewajiban melindungi justru menangkap saya.

Ketika dibebaskan 14 tahun lalu, saya menerima surat keterangan bahwa saya tidak terlibat G30S-PKI. Namun, setelah itu tidak ada tindakan apa-apa. Dalam buku saya Nyanyi Sunyi Seorang Bisu yang terbit pada 1990 juga terdapat daftar 40 tapol yang dibunuh Angkatan Darat. Tapi tidak pernah pula ada tindakan.

Saya sudah kehilangan kepercayaan. Saya tidak percaya Gus Dur. Dia, seperti juga Goenawan Mohamad, adalah bagian dari Orde Baru. Ikut mendirikan rezim. Saya tidak percaya dengan semua elite politik Indonesia. Tak terkecuali para intelektualnya; mereka selama ini memilih diam dan menerima fasisme. Mereka semua ikut bertanggung jawab atas penderitaan yang saya alami. Mereka ikut bertanggung jawab atas pembunuhan-pembunuhan Orde Baru.

Goenawan mungkin mengira saya pendendam dan mengalami sakit hati yang mendalam. Tidak. Saya justru sangat kasihan dengan penguasa yang sangat rendah budayanya, termasuk merampas semua yang dimiliki bangsanya sendiri.

Saya sudah memberikan semuanya kepada Indonesia. Umur, kesehatan, masa muda sampai setua ini. Sekarang saya tidak bisa menulis-baca lagi. Dalam hitungan hari, minggu, atau bulan mungkin saya akan mati, karena penyempitan pembuluh darah jantung. Basa-basi tak lagi bisa menghibur saya.
_____________

Membaca surat-menyurat dua sastrawan yang berbeda generasi dan latar belakang ini membuat saya berpikir tentang banyak hal. Apalagi tentang konsep memaafkan yang dibahas keduanya.
Sumber tulisan sini 

Pada Sebuah Pantai: Interlude dari Goenawan Mohamad

10 July, 2013

Semua ini hanya terjadi dalam sebuah sajak yang
sentimentil. Yakni ketika pasang berakhir, dan aku
menggerutu, “masih tersisa harum lehermu”; dan kau tak
menyahutku.

     Di pantai, tepi memang tinggal terumbu,
     hijau (mungkin kelabu).
     Angin amis. Dan
     di laut susut itu, aku tahu,
     tak ada lagi jejakmu.

Berarti pagi telah mengantar kau kembali, pulang dari
sebuah dongeng tentang jin yang memperkosa putri yang
semalam mungkin kubayangkan untukmu, tanpa tercatat,
meskipun pada pasir gelap.

     Bukankah matahari telah bersalin dan
     melahirkan kenyataan yang agak lain?
     Dan sebuah jadwal lain?
     Dan sebuah ranjang & ruang rutin, yang
     setia, seperti sebuah gambar keluarga
     (di mana kita, berdua, tak pernah ada)?

     Tidak aneh.
     Tidak ada janji
     pada pantai
     yang kini tawar
     tanpa ombak
     (atau cinta yang bengal).

     Aku pun ingin berkemas untuk kenyataan-kenyataan,
berberes dalam sebuah garis, dan berkata: “Mungkin tak ada
dosa, tapi ada yang percuma saja.”

     Tapi semua ini terjadi dalam sebuah sajak yang
sentimentil. Dan itulah soalnya.

     Di mana ada keluh ketika dari pohon itu
     mumbang jatuh seperti nyiur jatuh dan
     ketika kini tinggal panas & pasir yang
     bersetubuh.

     Di mana perasaan-perasaan memilih artinya sendiri,
     di mana mengentara bekas dalam hati dan kalimat-
     kalimat biasa berlarat-larat (setelah semacam
     affair singkat), dan kita menelan ludah sembari
     berkata: “Wah, apa daya.”

     Barangkali kita memang tak teramat berbakat untuk
menertibkan diri dan hal ihwal dalam soal seperti ini.

     Lagi pula dalam sebuah sajak yang sentimentil hanya ada satu
dalil: biarkan akal yang angker itu mencibir!

     Meskipun alam makin praktis dan orang-orang telah
memberi tanda DILARANG NANGIS.

     Meskipun pada suatu waktu, kau tak akan lagi datang
padaku.

     Kita memang bersandar pada apa yang mungkin kekal,
     mungkin pula tak kekal.
     Kita memang bersandar pada mungkin.
     Kita bersandar pada angin

     Dan tak pernah bertanya: untuk apa?
     Tidak semua, memang, bisa ditanya untuk apa.

     Barangkali saja kita masih mencoba memberi harga
pada sesuatu yang sia-sia. Sebab kersik pada karang, lumut
pada lokan, mungkin akan tetap juga di sana – apa pun
maknanya.

(1973, Goenawan Mohamad)