Pages

cerita malam di taman kota

25 July, 2012


Ada seorang  sedang menyisiri jalan yang remang-remang di tengah kota. Berbicara pada malam yang redup, jangkrik yang begitu berisik, dan lampu kedap-kedip yang berbaris rapi seperti semut. Ada senja yang terpelihara di matanya, wajahnya datar menggambarkan mimik lukisan monalisa berabad lalu. Mimpinya baru saja diterbangkan kupu-kupu, terselip di antara sayapnya yang bercorak. Bukan, dia tidak sedang meratapi kehidupannya. Ia hanya mencoba menjadi lilin di tengah kegelapan, tanpa korek api.

Dia hanyalah lelaki yang terlalu naif untuk mencuri cahaya dari kunang-kunang. Mungkin dipikirnya duduk di lampu sorot sebuah taman kota lebih baik dari itu. Dipikirnya tak ada yang salah dari menunggu hujan seribu cahaya di pagi yang buta.

Sampai disepertiga malam, senja di matanya sudah sangat matang. Angin malam hanya memeluk tubuhnya yang ringkih seperti selimut tebal. Ada bualan-bualan sinis dari gesek rumput yang bergoyang bak penari  latar. Tak kalah juga dengan suara burung hantu yang memecah sunyi. Baginya,.. ini hanya malam yang biasa di kota asing dengan perasaan begitu asing. Oh, ternyata dirinya sendiri juga sangat  asing di matanya yang asing.

Ada perempuan yang tetiba saja menghampirinya. Angin sempat mengabarkan kedatangannya seperti gerimis sebelum hujan disetiap sore. Mereka berdua bercerita, memberi kabar yang tak sempat dikabarkan tukang pos yang tersesat menahun. Di mata mereka, ada cahaya bulan yang terbuka perlahan. Awan gelap yang menjadi tirainya terusik angin malam yang begitu hangat.

Taman itu menjadi panggung theater yang romantis seperti dalam buku dongeng pengantar tidur, ataukah kisah roman picisan lain yang pernah kita baca di perpustakaan. Waktu, ruang, dan takdir menjadi pemeran utamanya, sedangkan mereka hanyalah kebetulan yang tercipta dari kisah itu.

**gambar dari sini

pikirkan saja bahagia kita

18 July, 2012


Apa yang kamu rasakan waktu pertama kali jatuh cinta? Pasti rasanya begitu hebat, seperti ada sebuah tank di dalam hatimu yang sedang menembakkan peluru besinya ke udara. Bumm! Bumm! Gemuruhnya sampai naik ke kepalamu. Ataukah seperti ada sebuah karnaval di dalam sana, banyak hal menyenangkan yang bisa kamu lakukan. Ah, bahagianya.

Tapi kemudian perangnya semakin besar, tankmu rusak dan berkarat. Karnaval yang tadi meriah, sekarang harus gulung tikar karena tidak ada pengunjung. Awalnya kamu sudah tahu akan terjadi hal demikian, tapi kamu masih mengira-ngira. Hatimu hancur sejadi-jadinya, pasti dunia seperti mau runtuh saat itu. Seberapa pun kamu menahan sakitnya, kamu butuh waktu untuk menambal lukanya.

Kalau kamu gampang menjahit sebuah luka dan kembali menjatuhkan hati pada seseorang. Itu bukan hatimu yang murahan, kamu hanya terlalu baik untuk melihat keburukan dari seseorang. Kamu terlalu gampang memaafkan dan sulit untuk membenci. Lakukan itu terus sampai kamu menemukan yang benar-benar pantas untukmu. Kamu pasti akan banyak belajar dari hidup.

Lalu, jangan beritahu aku sekarang bagaimana perasaanmu. Mungkin aku adalah lelaki kesekian yang menjatuhkan hati padamu. Aku yakin lelaki manapun pasti begitu mudahnya menyukaimu, atau mungkin hanya lelaki beruntung yang bisa melihat sisi lainmu yang bisa mencintaimu dengan pantas. Dan sepertinya aku sedang beruntung, menemukanmu tanpa sempat kusadari.

Kamu tahu, aku juga sepertimu. Pernah menyukai seseorang sebelum kita saling bertemu, tapi waktu membuat kita sadar bahwa jodoh memang di tangan Tuhan, bahkan mereka bisa lebih dekat dari mata kaki kita sendiri.

Tiap orang berhak punya kesempatan kedua dalam hidup, bahkan ketiga dan juga keempat selama itu bukan kesalahan yang sama. Kita tidak mungkin menghakimi hidup seseorang hanya karena dia pernah dipenjara bukan? Aku juga tidak suka menghakimi masa lalu seseorang dan menganggapnya sama dengan dirinya yang sekarang, dia yang pernah jatuh cinta berapa kali atau apapun itu. Aku tidak pernah keberatan selama aku mencintainya. Iya, Itu karena cinta selalu membuat kita melihat sisi baik di antara sisi kehidupan yang buruk.

Jadi, jangan pikirkan apapun sekarang kecuali bahagianya kita di pernikahan kita besok. Orang tua kita, teman-teman kita yang datang mendoakan, senyum-canda mereka yang tak ada habisnya. Iya, jangan pikirkan apapun lagi tentang masa lalu. Karena aku siap lari bersamamu ke masa depan dan meninggalkan kenangan-kenangan pahitnya di belakang. Kalau kamu kelelahan, aku akan memapahmu. Aku tidak akan meninggalkanmu, memikirkannya saja aku tidak berani.

Itu bukan janji yang muluk-muluk. Aku tahu kalau hidup ini banyak ditaburi garam, tapi kita (sudah) lebih dari cukup untuk membuatnya lebih manis.

Kamu adalah tulang rusukku, dan aku adalah tulang punggung keluarga kecil kita, hingga nanti kita hanya tulang belulang.

matahari, embun, dan daun

15 July, 2012

Kamu pernah mendengar kisah tentang embun dan daun? Ya, itu cerita yang sudah lama sekali, cerita yang cukup singkat dan entah siapa yang memulainya. Aku akan menceritakannya dengan kalimat sederhana sebisa mungkin.

Entah kapan terjadinya, matahari pernah merasa kesepian. Ia tak pernah benar-benar menemukan hal yang membuatnya bahagia atau membuat hatinya tenang. Sudah berabad-abad tak ada yang bisa menarik perhatiannya. Ia merasa bosan dengan rutinitasnya setiap hari, tanpa pernah ada yang membuatnya semangat untuk menunda-nunda sebuah hari.

Suatu hari, ia melihat hal yang tidak biasa. Di tanah yang gersang, ada sebuah pohon yang tumbuh dengan hanya sekuncup daun yang tersisa. Ia heran, kenapa daun itu masih bisa hidup, padahal tanah itu begitu gersang. Matahari terus memperhatikan, dan mengawasinya karena begitu penasaran.
Siang, sore, sampai senja hanya setitik di ujung garis pantaipun ia tetap memperhatikan daun itu.

Kemudian saat matahari tertidur dengan pulasnya, embun itupun datang. Ia bermain bersama daun, bercerita, dan memberinya semangat hidup. Daun begitu bahagia dan lebih hijau saat bersama embun, tak pernah ada yang bisa mengerti daun seperti si embun santun nan kemilau itu. Mereka bercerita dan tertawa seperti dua anak kecil yang baru saja bertemu. Sampai di suatu pagi, matahari mengintip di sela-sela subuh dan terpikat oleh embun.

Matahari jatuh cinta pada embun, ia ingin memilikinya. Daun tak bisa berbuat apa-apa. Dia punya hutang budi kepada matahari, ia sudah seperti sahabatnya sendiri. Lagipula, daun tak pernah mengatakan perasaannya kepada embun, mataharipun tak tahu bagaimana perasaan sekuncup daun itu pada embun. Daun tak ingin membuat matahari kecewa, bisa-bisa semesta akan menjadi buram ketika ia murung.

Maka daun memberikan ruang untuk matahari.
Selang beberapa hari, matahari mendekati embun di pagi itu, ia ingin memilikinya lebih nyata. Ternyata ia pun tak bisa memiliki embun. Yah, sampai sekarangpun kita bisa melihat saat matahari mendekati embun tapi tak pernah berhasil. Embun selalu hilang di antara langit dan bumi, ia menguap dan tiada sebelum menyentuh matahari. Sedang daun hanya diam di sana memperhatikan keduanya bersama perasaan yang diharapnya akan layu.

“Aku ingin kembali ke awal pertama kali kita bertemu dan mengucapkan selamat tinggal sebelum sempat saling mengenal, bisa?” Kata daun saat embun telah hilang bersama cahaya. Suaranya hanya tertelan angin di hamparan pasir itu. Tak pernah sempat.

Itu cerita yang aneh kan?

Bagaimanapun aku selalu menunggu embun yang santun itu menyapaku di pagi hari. Entah ia ada di kaca jendela kamarku yang sepi ataukah di dedaunan yang menggelantung itu. Embun pagi itu tulus, ia tak pernah minta apa-apa pada daun. Padahal ia menyapa daun di tiap pagi. Ia hanya berbaring sebentar pada selimut daun, kemudian hilang bersama sinar matahari.

Lalu bagaimana jadinya kalau embun dan daun itu bertemu dalam situasi dan waktu yang berbeda? Mungkin hanya Tuhan yang yang punya cerita cadangannya. 

Nb: Maaf saya sedang sering bercerita konyol.haha

pengelana yang linglung

11 July, 2012



Aku ini pengelana yang tersesat di dalam hatimu, bajuku compang-camping, bauku tak karuan: rasanya sudah lama aku tidak mandi karena perjalanan membingungkan ini. Itu karena di dalam sini tak ada sungai ataupun danau yang bisa kutempati mandi. Ketika haus, aku hanya menunggu embun santun di pagi buta sebelum cahaya meminumnya pada segelas daun. Ketika lapar, aku hanya melumat rindu yang kutaburi harapan. Remahnya kusisakan untuk semut-semut hitam yang menemaniku.

Rupa-rupanya aku sudah berjalan sangat jauh, kakiku lecet, kaos kakipun sudah berbau aneh. Sol sepatuku juga mulai menganga seperti ingin bercerita tentang masa lalunya. Aku memutuskan berhenti sebentar di bawah pohon rindang, berbaring sejenak lalu membuka alas kakiku yang tak layak lagi. Sekarang, aku berjalan dengan kaki telanjang. Untung saja hamparan rumput ini begitu ramah padaku.

Waktu ternyata tak mau menungguku di dalam sini, rasanya ia terlalu terburu-buru. Seperti dikejar anjing di depan pagar tetanggaku yang galak itu. Ah, waktu keparat. Itu umpatan pertamaku dalam perjalanan ini, aneh rasanya. Kenapa bukan dari dulu saja aku mengumpat waktu dan menyalahkannya. Aku ingin mengurungnya dalam toples kaca seperti kunang-kunang yang pernah kita tangkap. Lalu menggantungnya di teras rumah, kita mengagumi kedip cahayanya, lampion yang indah.

Tapi paginya kita terbangun, lampion itu sekarang menjadi kuburan kunang-kunang. Aku hanya memperhatikan bola matamu. Kaca-kaca yang indah itu sekarang berembun, bingkainya tak kuat lagi menahan isinya, sepertinya ini terlalu pagi untuk hujan. “Aku tak ingin cahaya jika harus membunuh kunang-kunang malang itu,” katamu sendu sambil mendekap lututmu erat-erat. Kamu terisak gemetar, sedang aku hanya diam tergagap menunggu gagak mengetuk kepalaku.

Aku tak ingin menangkap kunang-kunang lagi untuk kita, aku takut membuatmu menangis seperti itu lagi. Karena itu aku tidak akan mengurung waktu dalam toples kaca, itupun kalau aku bisa. Aku hanya akan duduk bersama waktu, menemaninya untuk menunggumu datang dan memecahkan tabungan rinduku. Lalu kita bisa memungutinya bersama, wajahmu akan merah merona mengumpulkan rindu yang kusimpan di sana. Kamu jadi konglomerat dalam sehari, penuh dengan rindu yang berserakan.

Tanpa peta, kompas, ataupun alat navigasi lainnya. Ya, Ini adalah perjalan paling gila yang pernah kulakukan. Sebenarnya itu bukan masalah besar, karena ini hatimu, aku hanya berputar-putar di dalamnya. Kamu dimana, dengan siapa, sudah menikah, sendirian, ataukah mencariku juga, akupun tak punya catatan untuk itu.
Aku hanya tahu, perjalanan tanpa sebuah makna adalah kesia-siaan belaka.

gambar nyomot dari sini

entah dimana dan kapan

07 July, 2012


Suatu hari entah dimana dan kapan, kamu akan menjatuhkan hati (lagi) kepada seseorang. Mungkin kalian kebetulan dipertemukan di kelas, di pinggir jalan, di kantor, atau bisa saja di tempat tak terduga lainnya. Di jantungmu seperti ada petasan yang sedang meledak-ledak, atau rasanya seperti punch bag yang dipukul seorang petinju secara beruntun. Rasanya sedikit tidak mengenakkan, tapi lucunya kamu ingin mengulang perasaan itu sepanjang hari.

Suatu hari entah dimana dan kapan, kamu akan berpisah dengan seseorang. Mungkin karena orang itu sudah mendapat tempat yang lebih baik di bagian bumi lain. Bisa juga di hati yang lain, universitas, instansi, kota, negara, atau karena Tuhan begitu sayang padanya. Jantungmu diuji lagi kali ini. Hatimu menjadi seperti puzzle yang potongan-potongannya mulai hilang, detak jarum jam juga terasa lebih keras berkali lipat. Aneh memang, tapi kamu harus yakini ini, kalian akan bertemu lagi dalam kebetulan ataupun kesengajaan.

Suatu hari entah dimana dan kapan, kamu akan jatuh karena berurusan dengan masalah. Mungkin kamu punya hutang di bank, difitnah, nilai ujian buruk, bertengkar dengan teman, atau mungkin pekerjaanmu sedang kacau. Hey, rasakan bagaimana jantungmu saat itu. Seperti ada badai di dalam sana, awannya gelap dan dinginnya begitu sinis. Tapi yang kamu harus lakukan saat terjatuh di sana adalah bangkit, kalau terjatuh, bangkit, jatuh lagi, lalu bangkit lagi lebih cepat sampai sakitnya sudah terbiasa. Jangan pernah menyerah dengan keadaan itu. Sedikit lagi, yah sedikit lagi badai itu akan terlewati.

Suatu hari entah dimana dan kapan, kamu akan kehilangan arah, tersadar kompasmu hilang. Mungkin kamu merasa tak punya siapa-siapa dan apa-apa lagi. Semuanya sudah hilang dari hidupmu, teman, sahabat, kekasih, keluarga atau apapun hal yang membuatmu bahagia. Kamu akan mendengar suara itu secara perlahan. Dari jauh, kemudian mendekat dan membisikkan hatimu "ketika kamu merasa sendiri dan tak ada siapa-siapa lagi kecuali Allah, maka Allah sudah lebih daripada cukup."

Suatu hari entah dimana dan kapan, kamu akan berbahagia dengan hidupmu. Mungkin karena cintamu sudah halal, keluargamu damai, orang tuamu menikmati sisa umurnya atau mungkin saja karena kamu sangat pandai mensyukuri hidup. Jantungmu sudah terlatih untuk mengatur ritme, kadang dia bising seperti air terjun di tengah hutan, tapi juga menjadi gerimis di atap rumah, begitu tenang.

Ya, ini hanya tentang suatu hari yang entah dimana dan kapan. And then, this moment will be just another story someday ...

Kita ada di pelabuhan

03 July, 2012


Kamu pernah meninggalkan ibumu sendiri karena punya alasan yang tepat? Aku pernah melakukannya, meninggalkan ibuku sendirian di tempat asing. Bukannya untuk sementara, sehari ataupun menahun, tapi selama-lamanya. Aku pernah protes ke Tuhan karena hal ini. Kenapa takdir begitu pelit pada kami? Kenapa Tuhan merencakan semua perpisahan ini begitu rapi?

Kalau boleh aku ingin membenci saudara-saudaraku, mereka lebih dulu meninggalkan ibu. Padahal ibu sudah merawat mereka dengan baik. Tapi mereka malah pergi tanpa memikirkan perasaannya, mungkin aku terlalu sensitif di bagian itu. Ibu begitu baik pada kami; bahkan terlalu baik, penyayang dan sering membuatku tertawa. Ibu sama halnya seperti malaikat yang punya tempat khusus di dalam hatiku, menghangatkan.

Kata ibu, dia menyayangiku dan bahagia punya anak sepertiku yang begitu keras kepala. Tapi dia juga masih tetap menyayangi saudara-saudaraku yang lain, yah walaupun mereka sudah pergi lebih dulu. Terkadang aku juga merindukan mereka. Aku merasa Tuhan tidak adil pada kami, andai saja Tuhan membiarkanku tetap bersamanya. Aku pasti sangat bahagia. Ibu sudah lebih dari cukup untuk kebahagianku di dunia yang terlalu dingin ini.

“Tuhan melihat kita nak, Dia punya rencananya sendiri untuk semua ini.” Ibu selalu mengatakan itu, selalu saja punya jawaban yang baik untuk kudengarkan. Dan ibu juga tak pernah marah pada Tuhan, ibu selalu berbaik sangka.

“Aku tidak akan meninggalkanmu ibu, tidak pernah ingin!” Ketusku padanya malam itu sampai tertidur lelap dipelukannya.

***
Sekarang, aku sudah ada di tempat terasing. Angin sudah membawaku pergi malam itu, ibu pun tak bisa menjagaku lebih lama lagi dipelukannya. Aku juga sudah tahu alasan saudaraku yang lain pergi, mereka mengisi takdirnya masing-masing. Di tebing yang curam, di taman kota, ataupun di sela-sela lubang kecil di pinggir jalan.

Dan di tempat inilah takdirku. Tinggal di tiang peyangga kapal di pelabuhan besar kota ini, bersama kerang dan kepiting merah kecil.

Di sini aku bisa melihat orang-orang datang dan pergi. Aku sudah sering melihat tangis yang tumpah dan juga kebahagiaan yang  menyeruak di tempat ini. Yah, ini adalah tempat dimana Tuhan mengajariku tentang pertemuan dan perpisahan. Ada yang pergi dan kembali lagi, tapi ada juga yang pergi tapi tak pernah kembali. Bukannya tidak ingin, tapi mereka hanya tidak bisa.

Orang-orang memujiku sebagai hal yang bisa hidup dimanapun, tapi mereka tak pernah memikirkan bagaimana rasanya hidup seperti ini, hanya terbawa angin dan mengikuti takdir.
Tuhan mungkin menciptakanku untuk ini, agar manusia lebih menghargai pertemuan dan selalu siap dengan perpisahan. Dari dandelion malang sepertiku, yang tak pernah bisa kembali pulang.

Kamu, bukan dandelion kan? Masih bisa melawan angin...
*gambar dari sini