Pages

perempuan pertama

21 December, 2012



Ini bukan jatuh cinta pada pandangan pertama.
Sungguh, aku sudah memiliki perasaan ini jauh hari sebelum kita bertemu.
Engkau yang matanya menggugah semesta dalam air bah kesedihan.
Engkau yang di dahinya mengalir sungai-sungai tandus yang mengukir seribu macam kisah.
Engkau yang helai rambutnya berguguran bak lembaran daun yang menguning di musim kemarau.
Aku tak tahu harus melakukan apa semenjak kali pertama kita bertemu.

Aku tak sadar waktu itu, aku belum mengerti apa-apa.
Katanya, saking bahagianya bertemu denganmu, aku sampai menangis dan memelukmu begitu erat.
Orang-orang dengan seragamnya yang berbau khas sedang memperhatikan kita.
Mereka tersenyum.
Aku tak peduli dan tak mau tahu apa itu peduli.
Aku hanya tahu, semenjak hari itu aku membutuhkanmu. Bahkan, aku tak mengerti apa itu butuh.
Engkau adalah duniaku. Poros bagi segala kehidupan yang telah engkau pinjamkan atas izin-Nya.

Jangan kemana-mana, tetaplah bersama kami. Lihatlah dulu anak-anakmu ini menjadi manusia yang telah dimanusiakan oleh segala kebaikanmu.

Selamat hari ibu, untuk ibu.

pict from here

catatan perjalanan: menelusuri Rammang-rammang

19 December, 2012


Desa Rammang-rammang terletak di kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Saya tidak tahu harus menyebutnya desa atau dusun, sepertinya sama saja. Rammang-rammang adalah sebuah tempat yang hanya dihuni belasan kepala keluarga di sana. Tempat itu terpencil. Dikelilingi oleh lembah dan bukit yang biasa disebut karst. Satu-satunya jalan menuju tempat itu hanyalah lewat sungai menggunakan perahu kecil. Banyak turis asing yang biasanya ke tempat itu karena berseberangan dari tempat itu juga ada goa telapak tangan. Goa yang punya banyak telapak tangan orang-orang jaman dulu di langit-langitnya.


Tarif turis asing menggunakan perahu kecil biasanya Rp. 50.000,00 sudah pulang pergi. Maksimal dalam satu perahu memang diisi empat orang saja. Untuk turis lokal, biasanya hanya Rp. 20.000,00 saja. Bahkan bisa gratis kalau kita kenal sama daeng yang punya perahu itu. Kalau untuk kalangan mahasiswa, daeng pemilik perahu tidak menentukan tarif, katanya seikhlasnya saja. Entah apa maksudnya. Orang-orang di sana memang sangat ramah.

Saya beserta empat orang teman pergi menggunakan dua perahu. Ini pertama kalinya dalam beberapa tahun ini saya menggunakan perahu kecil seperti ini lagi. Biasanya hanya di laut saya menaiki perahu semacam ini, itupun ukurannya yang lebih besar. Sensasinya memang beda.

Sepanjang sungai saya menyaksikan pemandangan yang tidak biasa. Romansa alam yang dipadu-padankan dengan kehidupan masyarakat setempat sangat jelas terlihat. Inilah kehidupan sungai. Saya merasa takjub sendiri melihat itu semua. Beberapa kali kami berpapasan dengan orang-orang yang pulang dari kota. Di atas perahunya ada sepeda untuk anak kecil. Beberapa penduduk juga membawa karung-karung beras yang bertumpuk di perahunya. Bahkan ada beberapa perahu yang sengaja menepi karena bertemu dengan temannya. Salah satunya mengeluarkan sebungkus rokok dan menghisapnya bersama.
penduduk asli yang begitu murah senyum. hha
Tidak sampai sejam untuk sampai di dusun Rammang-rammang. Tepian batu-batu seperti karang-karang di pinggirnya adalah pertanda bahwa kami sudah mendekati tempat tujuan. Saya selalu terkesima dengan panorama alam semacam ini. Masih alami dan mengukir banyak sejarah.
ini seperti menjadi dermaga memasuki dusun Rammang-rammang
dermaga, pasang gaya bentar
Saya penasaran, kira-kira siapa orang yang pertama kali menemukan tempat ini. Saya sudah bertanya ke beberapa orang penduduk di sana tapi mereka juga tidak tahu.
Tempat itu begitu asri. Tak ada suara-suara kendaraan bermotor di sana. Hanya suara burung-burung bersama desau ilalang dan pohon-pohon yang tenang. Ada sawah dan juga empang. Sepertinya itu sudah cukup untuk membuat tempat ini makmur tanpa bantuan dari dunia luar. Ya, begitu damai dan tenang.

perjalanan ke salah satu rumah penduduk, makan dan istirahat



chank, iank, huda, aman dan someonenya.
Tempat itu telah menjadi salah satu tempat favorit saya di pulau ini. Terpencil dan jauh dari keributan kota. Kadang, kita membutuhkan suatu tempat di mana kita bisa menyelami pikiran orang lain. Dan di sanalah saya bisa menyelami pikiran-pikiran penduduknya. Walaupun tidak sepenuhnya dan secara utuh. Melihat kehidupan mereka yang serba sederhana dan sangat minim dari kesan mewah, mereka masih terlihat begitu bahagia. Mereka menjalani takdir dan memilih hidup di tempat itu. Di rumah-rumah mereka juga banyak karung-karung beras. Bahkan sampai di langit-langit ruang tamu dijadikan gudang penyimpanan beras. Saya terkesima sekali lagi.

Nb: dokumentasi oleh Iank.
Catatan Perjalanan: Popcorn's 2nd Anniversary

pohon oak itu tabah

01 December, 2012



Lelaki itu sedikit geram pada senja akhir-akhir ini. Yang benar saja, senja  selalu mengeja nama perempuan di dalam kepalanya menjadi burung gereja yang mengepak jauh. Tenggelam di kaki langit. Dia tak tahu kemana burung kecil itu akan pergi. Yang dia tahu, burung itu selalu bertengger di pohon oak di kota seberang. Itu adalah pohon yang dahannya selalu menengadahkan ranting-rantingnya ke langit. Menimang hujan sembari berdoa. Mungkin burung itu juga akan mengeram rindu di sana. Hanya butuh hitungan hari sampai akhirnya cangkang rindu itu retak dan menetas menjadi candu.

Pada awalnya lelaki itu sangat bingung. Kenapa harus nama perempuan itu yang dieja senja. Padahal semenjak nama perempuan itu ada di dalam kepalanya, ia bahkan tak ingin apa-apa lagi. Mengetahui kalau mereka ada di galaksi yang sama saja sudah hampir membuatnya lupa dengan daratan. Apalagi tahu kalau mereka berdua ada di kota yang sama. Memiliki perempuan itu sepertinya akan membuat kehidupannya menjadi utuh. Tapi dia teringat kata-kata seseorang, “perkara cinta dan memiliki itu adalah dua perkara yang berbeda, tak selamanya mereka itu satu sekutu.” lelaki itu hanya tersenyum penuh tanya.

Kadang, ketika kita menjatuhkan hati pada seseorang, saat itu juga kita belajar menilai diri sendiri. Memantaskan diri. Jujur saja, lelaki itu sudah belajar tentang hal sederhana itu pada perempuan itu. Lewat matahari pagi yang selalu terbit di mata perempuan yang pernah tinggal di dalam imajinasinya itu. Dia tidak pernah mengecilkan nilai-nilai yang ada pada dirinya sendiri. Sungguh, rasa syukur pada kehidupan selalu dilantunkannya. Dia hanya belajar untuk tidak membuat orang lain merasa terbebani ketika berada di sekitar mereka. Problematika hidup telah membawanya ke tempat yang tak pernah dikiranya sebelumnya.

“Ini bukan duniamu. Disini semuanya masih tampak samar. Kau tak akan pernah betah ada di tempatku.”

Kehidupan mengajarkan terlalu banyak hal padanya, mungkin memang selalu seperti itu. Atau mungkin lelaki itu yang tidak siap dengan perubahan. Dia yang tidak siap dengan segala kemungkinan terburuk pada kehidupan.Tapi tak apa katanya, dia sudah ada di titik itu sekarang. Dia hanya harus menarik garis yang menukik naik agar semuanya kembali baik. Semoga dia masih punya kekuatan lebih untuk itu.

“O, ya, aku punya permintaan penting padamu, Jangan kemana-mana lagi. Kau bahagia saja di sana. Di tempat di mana aku bisa memperhatikanmu, tanpa kau pernah sadar bahwa aku selalu menyimpan sebongkah semesta perasaan ini padamu.”

Kemudian lelaki itu menerbangkan nama perempuan itu kembali ke langit. Berharap senja menyembunyikannya di balik awan seperti cerita lain. Pelan-pelan angin akan membawanya pergi  menjauh ke langit abu-abu. Tak perlu menunggu musim mengganti bajunya. Perempuan itu akan menjadi hujan. Jatuh ke bumi dan ditimang pohon oak yang begitu tabah, menjatuhi lelaki yang tampak tegar itu. Setelahnya, semoga tuan waktu menjalankan tugasnya dengan baik.

"Aku tahu, waktu selalu punya caranya sendiri untuk melewatkan semua ini. Pertanyaan yang belum juga menemukan jawabannya, cita-cita masa kecil, dan ya tentu saja mimpi-mimpi yang masih menggelantung di langit-langit kamar kita."

pict from here

serdadu-serdadu kata

10 November, 2012


Beberapa cerita akan menjadi kenangan yang menggenang setelah hujan. Karena pertemuan telah membuat kita takjub pada segala kemungkinan. Lalu aku akan bercermin pada genangan itu. Menyaksikan serdadu-serdadu kata yang telah meninggal dalam perang. Yang telah kita makamkan di sebuah taman yang dihuni ribuan kupu-kupu. Lihat, bagaimana kepergian tampak indah di tempat ini. Kata-kata telah menanggalkan baju perangnya. Sunyi kemudian menyisir hujan yang berantakan hari itu.

Tak usah menghardik pada jarak, ia selayaknya kita syukuri. Karena ia telah melahirkan rindu yang akhirnya harus menjadi yatim. Asalkan hidup, katanya itu cukup. Mungkin, aku juga harusnya mengambil jurusan kriptologi. Belajar tentang kode-kode rumit pada secarik kertas, manusia, dan kehidupan. Dengan begitu, aku bisa mengerti enkripsi buatan-Nya yang selalu saja abstrak. Ah, padahal aku hanya ingin mengerti jalan pikiran seorang perempuan yang menenggelamkan rembulan di matanya.

Aku sudah melakukannya terlalu sering. Berpikir terlalu rumit sampai-sampai menemukan bifurkasi di lorong pikiranku sendiri. Percabangan yang lebih berkelok dari dahan pohon. Keruwetan yang lebih membosankan dibanding menunggu seorang anak gadis yang bersolek untuk seorang pangeran. Karena itu pula aku sampai harus menyita malam dan menggelisahkan pagi. Bertanya tentang pertemuan yang singkat, tapi rindu yang menahun. Tibalah aku menjadi narapidana yang meminta keadilan pada garis tangan di pagi yang masih buta.

Aku tak pernah mengkambing hitamkan takdir, ia selayaknya memang begitu. Kebetulan hanyalah remah takdir yang kita jadikan tuan dari perbincangan kita. Pernahkah kau berpikir tentang nama kita, yang mungkin saja ada di barisan yang sama dalam buku semesta? Atau, kita memang ada di halaman yang sama tapi paragraf yang berbeda? Itu kemungkinan terburuk. Untung saja aku masih ingat kata guru kehidupan, “Perspektif kebaikan menurut manusia dan Tuhan masih abstrak, buruk dan baik hanyalah kemasan agar kita bisa dibilang manusiawi.” Aku tak ingin memikirkannya sampai matang. Aku hanya tahu, senyummu adalah letupan hangat yang selalu mengaung di tebing hati, menjatuhkan kerikil-kerikil rindu yang akhirnya membuat luka.

Biarlah tetap seperti ini saja. Kau dan aku kembali pada masa kecil yang begitu bersahaja. Bermain tebak-tebakan tentang rasa. Atau mungkin menghitung sampai sepuluh sambil menutup mata, lalu berharap salah satu diantara kita muncul begitu saja. Aku bahkan pernah menghitung hingga ribuan sampai petang. Sampai bosan. Sampai suaraku habis ditelan batin. Tapi tak pernah kudapati dirimu di depanku. Sungguh, itu keluguanku yang belum juga menjadi dewasa.

Aku teringat pada serdadu-serdadu kata yang tak berkewarganegaraan itu. Mereka dibesarkan dari bibir seorang pemuda santun. Mereka pengungsi dari bibir para pemberontak. Mereka adalah pahlawan yang tak perlu hingar bingar derajat yang menjadikannya lebih tinggi dari kata yang lain. Karena hanya mereka yang begitu berani mengepungmu dan membuat wajahmu menjadi merah merona seperti senja di kebun jeruk. Jingga yang ranum menggelisahkan kata-kata yang pekat.

Waktu adalah tersangka yang paling cerdik, disembunyikannya kebenaran yang pada akhirnya dibongkarnya sendiri pada suatu ketika yang dikehendakinya.
"Introgasi ini akan lama."

pict from here

melipat momentum

27 October, 2012


Akhirnya kau melakukannya lagi. Sungguh hebat. Kau melakukan lompatan momentum yang tak pernah kupikirkan sebelumnya. Melewati segala norma. Mendobrak segala realitas. Seperti api yang mengekalkan apapun dalam ketiadaan namun disisi lain seperti air yang merakit ulang segalanya. Kau kini ada dalam kehampaan. Tenggelam bersama keterasingan yang paling manis di tepian bumi.

Ada saat di mana jiwamu merasa telah menemukan 'sesuatu'. Bukan pikiranmu atau tubuhmu yang menginginkannya. Tapi kau menolaknya mentah-mentah. Seperti muntahan yang kau melihat jijik padanya, padahal itu cerminan dirimu yang lain. Kau takut pada dirimu sendiri? Atau, kau takut pada perasaan-perasaan yang memuakkan itu? Banyak sekali pertanyaan yang kita membutuhkan waktu lebih banyak untuk menjawabnya.

Jangan membuang dirimu sendiri. Jangan hancurkan hatimu yang keras itu dengan palu atau bor yang terbuat dari adukan asing atau pengabaian yang menahun. Sungguh, jangan bilang kau tak mengenal fitrah Tuhan yang paling manis itu. Jangan, jangan menyangkal sisi kemanusiaan kita yang lucu itu. Dunia ini memerlukannya supaya manusia tak terlalu serius menjalani ujian.
Starry Night Over The Rhône River by Vincent Van Gogh.

Tapi bukankah kehampaan itu juga perlu? Kupikir, hampa adalah awal mula dari segala sesuatu. Kalau tak ada ruang hampa maka tak ada yang bisa menempatinya. Kuperingatkan, jangan terlalu mengikuti arus di sungai purba yang telah menghanyutkan alasan-alasan. Ciptakanlah sendiri momentum itu. Buatlah sendiri arus yang membawa perahu kecilmu yang bocor menemukan dermaganya.

"Kau bisa berenang kan?"
"Tentu saja, dari kecil aku berenang di sungai yang bisa menulis dirinya sendiri."
"Lah, kupikir kau memang tintanya."

sepayung hujan

19 October, 2012


Sejak umur sepuluh tahun saya punya pertanyaan aneh. Kenapa hujan selalu datang bersama berita duka atau kematian? Ya, saya tidak tahu kebetulan macam apa itu. Ketika ada seseorang yang meninggal di sekitar saya, hujan selalu menyapu. Di pekuburan atau di rumah duka, entah dia lebat atau hanya gerimis. Bau udara lembab yang diaduk dengan tanah, daun-daun basah, denting di atas genteng. Dan saya masih pada pertanyaan yang sama setelah semua hal itu membias.

Hujan dengan suasana berkabung adalah yang paling saya benci. Kenapa Tuhan menurunkan hujan melankolis itu ketika lambaian tangan menjadi lebih pahit dari obat dokter yang berwajah masam? Saya benar-benar bingung. Apakah air mata dari yang orang-orang yang ditinggalkan memuai dan membentuk awan secepat kilat? Ataukah, hujan adalah sapu tangan langit untuk orang-orang yang kehilangan? Hujan masih terus menyapu saat tanda tanya mulai menyerbu bak serdadu di dalam kepala ini.

Sekarang, saya menjadi terbiasa dengan hujan seperti itu. Ketika langit begitu terang, awan semanis susu, dan angin begitu damai mengibas semuanya, lalu tiba-tiba saja turun hujan. Tanpa diharap, tanpa diminta atau tanpa ada yang menjemput rindunya. Saya pasti akan bergumam dalam hati, “innalilllahi, hujan berkabung.” Semuanya basah. Hati orang-orang yang tinggal dalam kenangan tak terkecuali.

Ada orang yang pernah bilang, “hujan mampu meresonansikan ingatan ataupun kenangan.” Ya, mungkin itu alasannya. Karenanya tiap hujan turun, orang yang punya kepekaan terhadap hidup akan terpanggil. Mereka tiba-tiba saja merindukan sesuatu. Ingatannya sedang diaduk dalam cawan hujan. Itu mungkin jawaban yang tepat untuk pertanyaan yang mengapung dalam pikiran saya sejak umur sepuluh tahun.

Hujan tidak datang untuk kematian, tapi ia datang untuk membunuh kerinduan orang-orang. Bedanya, ada pada apa yang hilang di dalamnya.

Hujan hanyalah alat perekam yang tak punya tombol play ataupun stop. Ia hanya punya tombol repeat untuk setiap orang yang punya kenangan tentang pertemuan, lambaian tangan, atau sekedar bahasa punggung yang tak pernah kita pelajari tapi sangat kita mengerti. Ah, iya, ternyata ini tidak serumit saat saya masih kecil dulu.

Tapi tidak, saya tidak ingin menyudutkan hujan seperti itu. Menjadikannya hal yang membuat hati orang-orang menjadi terluka karena kenangan. Sungguh, hujan tak pernah seburuk dan sejahat itu. Karenanya, masih ada orang-orang yang merindukan hujan lebih dari awan sebagai rumahnya sendiri. Petani, anak-anak kecil, pujangga tua, sepasang kekasih, dan, ah, tentu saja payung yang berkarat di belakang pintu.

Tak masalah hujan membawa sekeranjang pelangi atau tidak. Tak masalah hujan membawa segelas air bah atau tidak. Hujan tetap saja hujan. Dan payung yang tersungkur di belakang pintu tetap saja payung yang merindukan hujan lebih dari apapun. Hujan adalah alasan kenapa ia ada. Manusia, mungkin sesederhana itu juga ketika menemukan alasan kenapa dia ada.

Aku harap hujan-Mu kali ini menggenang di hati mereka yang tandus karena kemarau.

pict from here

lelaki yang tidak konsisten

11 October, 2012


Belakangan ini lelaki yang tidak konsisten itu sering sekali terbangun tengah malam. Bulan bermain di antara pukul dua dan tiga. Langit malam kemudian menjelma menjadi taman. Bintang adalah kedip lampu yang menerangi taman itu. Di sana ada Nebula yang sedang duduk di kursi perak. Matahari dan bulan bertanya-tanya tentang rindu. Lalu dia menemukan bayangan.

Suasana remang di dalam kamar menjadi pameran bayangan dari segala penjuru. Bayang lampu, bayang lemari, bayang gelas di atas meja, bayang buku-buku yang menumpuk, dan juga bayang titik-titik cahaya yang mengintip lewat ventilasi. Ini adalah galeri bayangan pribadi miliknya. Hanya miliknya seorang, tak ada yang akan akan dijual. Lagi pula, mana ada yang mau membeli bayangan. Mungkin hanya orang yang sangat kesepian yang ingin membelinya. Barangkali untuk menjadikannya teman.

Lelaki itu benci bangun di tengah malam. Karena di saat seperti itu pikirannya akan dipermainkan oleh hening. Entah hening akan menyembunyikannya di mana. Kadang ditemukan pikirannya berada di antara kenangan, kadang ia juga ada di antara lembaran harinya itu, bahkan pernah pikirannya tersangkut di suatu ketika yang selalu diharapkannya. Tapi pada akhirnya pikiran lelaki itu akan terbawa ombak dan tenggelam di samudera seperti sebuah kapal yang karam.

Dia memang lelaki yang tidak konsisten. Makanya dengan begitu konsistennya aku mengatakan, dia juga suka bangun di tengah malam. Apa lagi malam menghadirkan bulan sabit yang lengkungnya seperti senyum seorang perempuan yang dikenalnya. Senyum yang lebih hangat dari kata-kata puitis seorang pujangga yang dituangkan pada segelas kopi di sore hari. Senyum yang  potongan matahari pagi terselip di sana. Senyum yang akan selalu diingatnya ketika hari menjadi begitu sangat membosankan.

Lalu lelaki yang tidak konsisten itu juga suka ketika bulan begitu penuh dengan cahaya. Dia akan teringat bola mata seorang perempuan yang dikenalnya. Mata yang teduh, di mana dia begitu ingin menjadi gelap yang akan ditemukan perempuan itu dalam setiap kedip. Sungguh, kalau Tuhan membolehkan, dia ingin tinggal di dalam mata perempuan itu. Sebagai seorang narapidana yang divonis hukuman seumur hidup pun tak masalah, kurasa dia akan mengajukan banding agar hukumannya tak pernah selesai.

Tapi lagi-lagi karena dia lelaki yang tidak konsisten. Dia menggali lubang di dalam ingatannya. Mencoba mengubur semua harapan-harapannya pada perempuan itu. Dia tak pernah ingin merisaukan perempuan itu lebih dari kerisauan yang dirasakannya sekarang, pada perasaan yang mengambang dalam hatinya. Lelaki itu memang hanya jarum jam yang rusak, ia sudah berhenti tapi terus saja menunjuk ke arah perempuan itu.

image from here

hai

30 September, 2012


Hai, kamu.
Yang segaris senyumnya selalu menjelma semangkuk antik,
tentu saja bukan salah satu koleksi kesayangan ibuku.
Karena lengkung bibirmu senilai angka delapan yang terbaring.

Hai, kamu.
Yang suaranya seperti debar hujan di musim kemarau,
tentu saja bunyinya lain dengan tik tik yang jatuh di dalam parit.
Karena gema suaramu mendesau lembut ke palung hati.

Hai, kamu.
Yang kedua bola matanya adalah tempat paling teduh di dunia,
tentu saja setelah rahim dari seorang ibu.
Karena matamu adalah rumah dari segala aku.

Hai, kamu.
Yang masih menjadi rahasia manis dari semesta,
tentu saja perasaanmu bukan sebongkah gula dalam cangkirku.
Karena semesta adalah ibu yang melahirkan setiap rasa.

pict from here



capung dalam toples

05 September, 2012


Beginilah ia musim kemarau. Tak ada hujan ataupun gerimis yang berani menyapa hanya untuk sekedar basa-basi. Capung-capung bermigrasi dari tempat yang tak pernah kita ketahui. Apakah mereka datang memeluk kunang-kunang karena takut gelap di malam hari, atau mungkin juga mereka penumpang gelap di punggung kura-kura tua saat kelelahan.

Aku ingat pernah mengunjungi masa kecilmu. Dalam sebuah mimpi yang kutahu itu bukanlah bunga tidur saat aku bosan dengan dunia nyata. Rambutmu yang sebahu dikepang dua dengan ikat rambut yang terbuat dari rumput yang kau ambil dari taman. Kau memakai baju putih dengan gambar bunga matahari, celana hitammu terlihat kotor karena lumpur. Tak jauh dari taman itu ada sawah dengan padi yang menguning. Para petani memakai masker yang kita suka, senyum bahagia.

Aku menarik tanganmu yang mungil, kau pun menyambutnya dengan baik. Kita kemudian berlari mengejar capung-capung yang bergumul di pematang sawah. Itu sore yang jingga. Kita hampir tertipu dengan gradasi warna yang muncul di sawah itu. Apakah langit yang berwarna kuning kemerahan itu memantulkan warna padi, ataukah sebaliknya? Katamu, langit sore itu terlalu banyak makan buah jeruk. Kita yang begitu polos hanya tertawa saat itu.

Kemudian ada seekor capung yang terlihat berbeda dengan lainnya. Capung yang berwarna pelangi. Kepalanya berwarna merah dengan mata yang cukup besar dengan bintik-bintik biru. Sayapnya tak kalah indah dengan sayap kupu-kupu. Kau menyuruhku menangkapnya karena sangat suka dengan capung itu. Pikirmu, itu adalah capung ajaib yang selalu diceritakan ibumu sebelum tidur.

Aku mengendap-endap persis seekor singa yang sedang mengintai mangsanya. Siap menerkam. Kau terus mengikuti dari belakang.
"Ayo, cepat tangkap nanti keburu kabur." katamu begitu riang.
"Pssstt..jangan terlalu keras, kita harus sabar." kataku sedikit ketus. Kau baru saja menggangu konsentrasiku mengintai pergerakan mangsa kita.

Jarak kita dengan capung itu tinggal dua langkah lagi. Aku menjulurkan tangan dengan khidmat. Angin berhenti bertiup. Suasananya tiba-tiba menjadi sangat hening. Sejengkal lagi capung itu akan kulumat, dan,.. hap! Aku mendapatkannya. Kau meloncat kegirangan sambil menarik-narik bajuku. Aku hanya tersenyum melihat wajahmu seperti itu.

Kau mengambil toples kaca dari dalam tasmu dan memasukkan capung pelangi itu. Aku tak bisa lupa dengan wajahmu itu. Perasaan senang, bahagia, haru dan puas bergumul di sana. Tapi sayangnya beberapa menit lagi matahari akan tertidur di balik bukit. Langit jeruk kita akan habis. Kita berjalan pulang ke rumah sambil menyanyikan lagu anak-anak yang sering kita dengar di radio sepanjang jalan.

Di tengah perjalanan kau tiba-tiba saja berhenti. Menatap lekat capung pelangi di dalam toples kaca itu.
"Capungnya terlihat sedih, warnanya sepertinya luntur." katamu sedih.
"Kalau begitu lepaskan saja, sepertinya ia tidak suka toples kecil itu." kataku.

***
Tiba-tiba semua menjadi gelap kemudian disusul hujan cahaya dari jauh, aku kembali ke tubuhku yang dewasa. Duduk di sebuah kursi malas di ruang tamu sambil menatap hangat lampu yang menggantung. Aku tak tahu apa yang kau lakukan dengan capung warna-warni yang pernah kita tangkap. Apakah kau memilih memuaskan matamu atau mendamaikan hatimu itu.

Katamu, kau rindu masa kecilmu yang seperti itu. Di mana kau bisa bermain sepuasnya tanpa peduli dengan topeng-topeng dunia. Tak peduli dengan rasa kecewa, benci, duka, sedih, kesepian atau hal-hal memuakkan lainnya. Kita tak tahu dan tak mau tahu semua itu. Kita hanyalah dua orang sedang terperangkap di dalam toples kaca yang sama. Menunggu terbebas dari semua ini.

Nb: Kemarin saya lewat di taman yang pernah kita kunjungi dalam mimpi, di sana ada kuburan nenek moyang capung. Banyak capung warna-warni yang mengelilinginya.

*pict.from here

Hujan yang tak mengenal musim

01 September, 2012


Hei, kemarin aku bertemu Sunyi. Katanya ia rindu padaku, aku hanya tersenyum. Sudah lama ia tak menyapa dan menemaniku di dalam kamar, bahkan kami pernah tertawa bersama di pesta yang ramai. Sunyi, ia memang teman yang baik tapi sayangnya sahabat yang buruk. Aku pernah bertengkar dengan Sunyi tentang siapa diantara kami yang lebih mengenal Hampa.

Terang saja aku mengenal Hampa. Seingatku, kami bertemu bulan April yang lalu. Bulan di mana semua kesedihan bertiup dari barat, tapi tanpa kusadari ternyata bahagia juga jatuh dari langit. Aku baru menyadarinya belakangan.Ternyata aku terlalu intim melihat hal-hal yang ada di luar, tapi tak pernah mau melihat kedalaman sebuah kejadian. Hampa, ia ngotot menemaniku saat itu. Hari itu juga ia mengenalkanku pada Sunyi.

Tapi aku tidak ingin membahas tentang Sunyi dan Hampa. Mereka sahabat yang buruk untuk orang sepertiku. Aku sedang ingin membicarakanmu, Hujan. Tapi sebelumnya, terima kasih telah mengusir mereka.

Hujan, tahukah kau saat pertama kali kita bertemu? Hari itu sangat cerah, tak ada sedikitpun pertanda kau akan datang. Tak ada sepoi angin, awan gelap, atau hanya sekedar laporan cuaca di televisi. Semuanya serba tak terduga. Ah, tentu saja harusnya memang begitu. Karena kau Hujan yang tak mengenal musim. Hujan yang bahkan awan pun tak tahu kapan kau akan menyapaku.

Seperti itulah pertemuan kita, Hujan. Bunyi tik tik-mu menderu pelan mengikuti langkahmu. Sebuah pertemuan di mana mataku telah mengabadikanmu sebagai potret yang tak pernah bisa kucetak. Kau hanya membatin dalam sebuah gambaran dalam ingatanku. Setelahnya, kau hanya menjadi kolam kenangan yang ingin terus kuselami bersama ikan-ikan mas yang sengaja kita pelihara.

Hujan, aku mencintaimu lebih daripada tanah yang menimangmu saat jatuh. Perasaanku ini lebih besar dari pada awan yang menjatuhkanmu. Tapi mengertikah kau, Hujan? Semua detail tentangmu, aku mencintainya. Aku bahkan tak peduli dengan bunyi tik tik-mu yang keras ataupun lembut. Asal kau datang, Hujan. Menemaniku mengusir hampa dan sunyi yang hampir menenggelamkanku dalam kekosongan.

Aku ingin dunia tahu tentangmu, Hujan. Bahwa aku memiliki perasaan seperti itu padamu. Bahwa kau juga menyimpan sebuah kolam kenangan tentangku dalam setiap tik tik-mu yang jatuh. Aku hanya tak ingin orang lain menengadahkan tangan dan meminum kenanganku bersamamu. Seperti itu aku cemburu, Hujan.

*pict: danbo

burung di pohon purba

23 August, 2012


Beberapa hari ini sering kudapati dirimu di depanku, terperangkap dalam sebuah cermin maya. Entah kenapa namamu sering ada di sana, menggelantung di pohon purba dimana seekor burung biru bertengger. Ia menari-nari, membuat sarang, lalu bercerita tentang hidup orang-orang yang lalu lalang di pohon itu. Burung biru itu begitu cerewet, mungkin mengalahkanmu.

Pernah kudapati seorang perempuan memaki dan meluapkan kesalnya yang menggunung pada burung biru itu. Katanya ia punya masalah dengan suaminya dan seluruh bumi harus tahu itu. Burung biru itu jadi pelampiasannya agar ia menceritakannya pada orang-orang yang lewat bagaimana tabiat suaminya, perempuan itu sepertinya sedang kesurupan. Tak ada yang benar-benar peduli pada masalahnya, orang-orang hanya penasaran bagaimana kelanjutan konfliknya.

Tiap hari burung biru itu bercerita, orang-orang yang lewat begitu khusyuk mendengarkannya. Ada yang percaya, ada yang menganggapnya pembual, ada  juga yang berdebat kemudian bercocok benci di ladang hati. Petani seperti itu, kuharap tidak mati karena memakan hasil panennya sendiri. Ah, sudahlah. Aku tak ingin membahas persoalan pelik itu lagi.

Aku cukup senang dengan burung biru itu karena bisa mencuri dengar tentang kabarmu.

Disaat musim kemarau kau akan mengeluh dengan panasnya yang menyengat, awan juga enggan menggulung di atas kepalamu. Jalanan begitu sesak dengan asap kendaraan, sampah-sampah berserakan di pinggirnya, dan orang-orang menjadi begitu sensitif. Aku ingin sapaku menjadi payung yang meneduhkan harimu, kuharap itu bukan hanya cerita dongeng masa kecilku.

Disaat musim hujan kau ingin sekali bermain dibawah guyurannya. Meloncat di setiap genangan yang kau ibaratkan kenangan pahit, percikannya membaur dengan hujan. Kau percaya bahwa hujan juga menyembuhkan ingatan, disetiap titiknya yang jatuh di kepalamu. Ini rahasia; aku pernah bercita-cita menjadi hujan yang jatuh di kepalamu, agar aku tahu apa yang kau pikirkan tentang kita.

Disaat musim semi, datanglah lagi di pengumpul pesanku dengan titik dua dan balas kurung yang sama. Itu cukup untuk membuatku lupa bahwa gravitasi menjatuhkan apapun ke tanah dan bukannya ke langit. Lalu mungkin kita bisa menikmati ladang kenangan musim semi bersama. Hanya berbekal keyakinan dan sepiring harapan yang kita makan berdua di bawah pohon maple, warnanya ranum seperti langit senja yang kau suka.
*foto from here

Surat untuk Fitri

18 August, 2012


Fitri, aku tak tahu alasan yang pasti kenapa harus menulis surat ini untukmu. Beberapa hal dalam hidupku memang selalu kutuliskan, tak terkecuali tentangmu. Maafkan aku kalau burung hantu yang membawa surat ini tiba-tiba mematukmu, itu hanyalah caranya memastikan kalau kau adalah penerima surat yang tepat. Itu juga memastikan kalau sebenarnya kau masih terjaga, sedang tidak bermimpi.

Aku tak tahu sudah berapa lama kita tidak bertemu, dalam hal tertentu aku ini sebenarnya orang pemalas. Aku malas menghitung waktu Fitri. Itu adalah pekerjaan paling sia-sia dan memuakkan. Aku pernah sekali melakukannya dan kudapati jantungku berdegup dengan ritme yang tidak wajar. Karena dalam setiap waktuku yang kosong tanpamu, rinduku berkali lipat.

Seseorang pernah memberi tahuku tentangmu Fitri, katanya kau paling suka dengan bulan Agustus. Karena ia adalah bulan cinta pertamamu. Terlalu banyak hal yang membuatmu mencintai bulan Agustus, salah satunya adalah suasananya. Jalan-jalan yang sepi, rumah yang selalu ramai, dan tentu saja mesjid yang tiba-tiba saja sangat sesak di malam hari.

Kadang aku merasa heran dan bertanya-tanya pada bayanganku sendiri. Kemanakah orang-orang yang menyesakkan itu di bulan lain? Apakah mereka punya sebuah roket lalu pergi ke Neptunus dan hanya kembali di bulan yang kau suka ini, itu masih misteri di kepalaku. Pasti akan sangat menyenangkan merasakan sesak itu di bulan lain.

Aku sudah tidak sabar bertemu denganmu Fitri. Aku tahu, kau tidak peduli dengan penampilanku saat bertemu denganmu nanti. Apakah aku memakai sandal, baju, celana, atau peci yang serba baru, itu bukanlah hal yang terpenting. Kau hanya ingin melihat sejauh apa aku berubah dari dalam, bukan dari luar. Karena hal-hal yang terlihat dari luar tidak selalu kelihatan seperti apa yang sebenarnya ada di dalam, mata manusia memang alat kamuflase yang unik.

Kau tahu Fitri, aku hanya berharap setiap rumah mengepulkan asap dari dapurnya, setiap jiwa mengepulkan damai dari hatinya. Dan akhirnya setiap dari kita menemukan kerinduannya masing-masing. Benarlah adanya,.. kalau hidup ini terlalu singkat untuk dihabiskan dengan benci dan juga terlalu indah untuk dinikmati seorang diri. Seperti kata Gandhi, kalau mata harus dibayar dengan mata maka gelaplah dunia ini.

Aku masih belum menjadi lelaki yang baik Fitri, seperti harapanmu. Kuharap itu menjadi alasan pembenaran untuk kita bertemu lagi nanti. Terima kasih karena telah menjemput rinduku.

Dari perindumu.
____ 
Selamat hari raya Idul Fitri 1 syawal 1433 H.
Taqaballahu minna wa minkum, shiyamana wa shiyamakum, kullu amin wa antum bi khoir.
Minal 'aidin wal faizin, maaf lahir batin.

Hujan kalian

17 August, 2012

Hari itu kita melakukannya lagi, saling menunggu bersama cemas yang dari tadi terus meleleh karena matahari. Yah, memang siang itu matahari terlihat lebih nakal dari biasanya. Itu wajar, ia mungkin tersinggung karena kita yang hampir-hampir menyainginya, melupakannya, bahkan membuatnya terlihat tak ada apa-apanya dibanding semangat kita yang terus meluap siang itu.

Semangat, kata yang begitu klise untuk sebagian orang. Tapi kalian membuktikan satu hal padaku, semangat seperti itu bukanlah hal kecil yang membuat semuanya terlihat biasa-biasa saja hari itu. Kalian itu seperti pohon-pohon rindang yang menyejukkan sepanjang perjalanan, sekumpulan awan di siang hari, atau payung yang bertebaran sepanjang pantai.

Siang itu saya pertama kali bertemu dengan seseorang yang mungkin punya segunung semangat di meja makannya, katanya dia menunggu dari tadi. Entah berapa kantong semangat yang dibawanya. Kupikir cemasnya sudah meleleh sejak melihatku, setidaknya dia sudah tidak merasa sendiri lagi di sana. Tak lama kemudian satu persatu dari kalian mulai berdatangan seperti gerimis yang berbaris rapi, itu menandakan sebentar lagi akan hujan.

Hujan kalian sudah membuat pelangi siang itu, di langit yang berdoa di mata anak-anak itu. Langit yang terkadang kita lupa kalau di sana ternyata lebih indah melukis warna. Langit yang polos dan begitu lugu. Tak terlihat awan gelap yang mengepul di sana, langitnya masih begitu biru seperti lautan lepas,dan di sana tersimpan begitu banyak kemungkinan.

Terima kasih Emi, untuk sebuah kamera kaleng sederhana yang menciptakan foto menarik. Kamera lubang jarum katamu. Kau sudah menjelaskannya dengan baik. Bapak disampingku bahkan bilang itu mustahil sebelum kau menunjukkan hasil fotonya siang itu. Kau akan menjadi fotografer hebat Emi, seperti mereka yang kau kagumi itu. Kalau disuruh memilih antara fotografi dan sastra, kau akan memilih apa? Ah, jangan pisahkan mereka.

Terima kasih Kak Atun, untuk pelajaran menulis lagi hari itu. Kau memang berbakat dalam hal tulis menulis, apa lagi puisi. Apakah kau sarapan pagi bersama puisi atau menghabiskan malam bersamanya, akupun masih bingung. Tapi, kenapa kau jarang menulis lagi di blog? Sepertinya kesibukan bersama anak didikmu itu menyita waktumu. Tak apa, karena saya yakin kelak kau akan menikah dengan puisi. Kalaupun tidak, kau mungkin akan menjadikannya selingkuhan paling setia.

Terima kasih kak Arya untuk konsep acara ini, kak Pipi yang sibuk bolak-balik dan mendata peserta, kak Yuni bendahara yang rajin ke atm, kak Nunu dan kak Mirna yang pesan makanan, lalu kak awa yang memastikan tempatnya, Aisyah untuk moderato/mc yang seru, Ilham untuk kultumnya yang bagus dan Haerul untuk dokumentasinya.

Yang paling penting, terima kasih untuk kalian yang hadir memeriahkan acara kita ini: kak Fadli, kak Gaffur, kak Arman, kak Latifah, Abel, kak Eppe, kak Uti, kak Adi, Wahyudin, Amel, Atifah, Amma. Jangan kapok pokoknya.

Hei, tentu saja terima kasih untuk semua warga bloofers di luar sana yang sudah menjadi donatur. Ah benar-benar terima kasih yang tak ada habisnya untuk kalian.
Thank you guys
Beliau yang di antara kami itu, orang hebat. Subhanallah.
Emi sedang memotret dengan kamera lubang jarumnya
Hasil dari foto pake kaleng sederhana.
kak atun di kelas menulis.hha


Makassar, 15 agustus 2012
*dokumentasi lebih ke sini

kota yang menampung mimpi

09 August, 2012


Kau mungkin tak akan pernah peduli bagaimana saat pertama kali kita bertemu. Seperti pagi yang tak pernah kau pikir kenapa ia terus datang padahal malam selalu tampak lebih puitis daripada puisi manapun. Ia juga lebih sunyi dalam keheningan di langit-langit kamarku. Semua orang tetiba saja melupakan dunia yang penuh dengan kesibukan, pertengkaran dan perdebatan tentang kebenaran. Apakah kau mengingatnya?

Hari itu, seekor laba-laba seperti sedang membuat jaring-jaring cahaya di antara kau dan aku. Aku terperangkap di jaring itu sambil memperhatikanmu di seberang sana. Laba-laba itu hanya diam dan memberiku pertanda bahwa aku aman, aku boleh memandangmu berlama-lama tanpa ketahuan olehmu. Aku hanya mematung di sana, membiarkan kornea mataku merekam sebuah efek visual yang membuat hatiku merasa nyaman.

Aku tak pernah berpikir sejauh ini. Bahwa kau dan aku akan menjadi teman yang saling membutuhkan, kau butuh keterampilanku yang selalu membuat bibirmu melengkung ke atas seperti mangkuk antik yang begitu disayangi ibuku, dan aku hanya membutuhkan waktumu. Rasanya tak adil ketika aku hanya menjadi sebuah lelucuon di depanmu. Tapi seperti itupun tak apa, karena aku telah dibayar mahal olehmu, bahagiamu itu. Kalaupun perhatianku selama ini hanyalah lelucuon untukmu, setidaknya kau pernah tersenyum karenanya.

Suatu hari kau datang padaku dengan wajah yang begitu murung. Katamu kau sedang punya masalah dengan seseorang dan membuat harimu dihiasi awan yang gelap dan burung gagak senang bertengger di atas kepalamu. Akupun mengambil kuas dengan cat warna-warni dan melukis pelangi yang melengkung di matamu. Kau hanya tersenyum sembari membaringkan mimpi-mimpi baru di pundakku. 

Kota ini adalah sebuah pot besar yang menampung semua mimpi orang-orang di dalamnya. Kita juga tidak ketinggalan menanam mimpi di kota ini, merawatnya dan berharap suatu hari mimpi itu terbangun dengan apa adanya dia sebagai mimpi. Kau tahu, kupikir aku sedang bermimpi bertemu denganmu dalam sebuah mimpi yang tak pernah ingin kumimpikan. Kau bersama orang lain yang tak kukenal, dia membawamu pergi menyeberangi lautan purba dan menenggelamkanmu dalam pekatnya kenangan. Kau hilang.

Pagi itu begitu sendu dan kabut pelan-pelan memudar seperti halnya ingatan senja. Anehnya aku terbangun dengan penuh keringat, itu adalah mimpi yang seburuk-buruknya mimpi seorang penjahat yang ingin menguasai dunia dan membuat perang dunia baru. Aku berusaha mengumpulkan fragment tentangmu di dalam kepalaku sendiri, senyummu yang mengais bahagiaku, matamu yang mirip gundu, suaramu yang renyah, dan juga tulisan tanganmu.
Sialnya, aku kehilangan sesuatu yang mengganjal pagi itu. Kita pernah bertemu di mana?

Sejak saat itu, aku selalu berjalan kaki di kota yang menampung mimpi ini berharap menemukanmu dalam mimpi orang-orang yang kutemui. Dari gang ke gang yang sempit di sudut kota, di perempatan jalan, di setiap lampu merah. Dan setelah lelah mencari semalaman aku selalu kembali ke rumah dan memandangi langit-langit kamar yang kosong, dengan sepi dan sunyi yang sama ditemani hening begitu larut. Ah, suara itu lagi.
"kau di mana?"

*gambar dari sini

semacam itu sajalah

07 August, 2012

Rindu adalah badut yang bermain di sebuah karnaval dengan gembira. 
Ia tak pernah tahu seberapa lucunya atau semenakutkan apa dirinya sendiri.
Bagaimana hidung bulat merahnya itu membuatmu tertawa, 
atau senyum dingin dengan garis merah yang lebar itu menyeringai: seperti joker. 
Tapi ia adalah rindu yang kita tunggu-tunggu. 
Apakah kau akan tesenyum atau murung karenanya,
akupun masih bertanya-tanya.

***


Take me where I've never been
Help me on my feet again
Show me that good things come to those who wait...

lebih lama bersamaku saja

01 August, 2012


Aku menikmati pemandangannya sore itu, di balik kaca jendela bus yang sedang beradu dengan waktu. Pohon-pohon yang bergerak seperti slide dalam presentasiku, angin yang tidak begitu ramah dan juga hujan yang ramai. Kaca jendelanya rusak, tak bisa tertutup. Untung saja aku suka hujan, walaupun kelihatannya sangat aneh berbasah-basah seperti itu di dalam bus.

Kau tahu kan, di luar sana banyak orang yang katanya sangat suka dengan hujan. Tapi saat hujan turun, mereka malah mencari payung atau berteduh di amperan toko. Aku ini suka dengan hujan, seperti menyukai musim semi. Apa lagi hujan pertama setelah berbulan-bulan, pasti aku akan sengaja keluar membeli sesuatu dengan motor dan menyembunyikan mantel di kolong tempat tidur.

Aku bahkan mengendarai motor di jalan raya tanpa helm, tak peduli lagi dengan aturan yang ada. Yah, mungkin di titik itu aku tidak menyukai hujan, tapi lebih dari itu. Seperti inilah orang yang sedang kasmaran, tak peduli dengan apapun. Bahkan dengan logika orang lain yang mengatakan aku ini gila, itu sudah konsekuensi.

Tapi tenang saja, perasaanku pada hujan tidak sama padamu. Tak pernah sama, aku bahkan tidak bisa membandingkannya denganmu, kalian benar-benar berbeda. Kau, bukan hal yang hanya datang pada musim tertentu ataukah hari-hari yang kau ingini saja. Di musim apapun, kau selalu bersamaku. Keadaan seperti apapun kau selalu bisa diandalkan.

Bisa dibilang, tanpamu hidupku menjadi sedikit rumit. Kau sangat dekat dengan keluargaku, kau bahkan membuatku punya teman baik dan memperbaiki hubunganku dengan kawan lama. Lihatkan, bagaimana hari-hariku menjadi lebih baik saat bersamamu. Jadi jangan pernah pergi meninggalkanku lagi seperti mereka yang sebelumnya.

Aku juga masih ingat pertemuan awal kita, hari yang sangat cerah. Bersama dua orang kawan, aku menyusuri pertokoan di lantai tiga. Kebetulan aku melihatmu, kau begitu manis dan sederhana. Sebenarnya sudah lama aku memperhatikanmu, tapi tidak pernah berani menanyakan tentangmu kepada si bapak yang berkumis itu. Karena hatiku sudah memilihmu, maka kita bisa saling memiliki. Kau memiliki waktuku, sedang aku memilikimu seutuhnya.

Kau tak perlu khawatir saat bersamaku, aku akan selalu membantumu saat terjatuh. Merawatmu dan memberimu hal yang kau butuhkan setiap waktu. Sejak pertama kali kita bertemu, aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk lebih menghargaimu daripada mereka yang sebelumnya.

Jadi bertahanlah lebih lama bersamaku, simpan saja semua kenangan kita di dalam sana. Foto, sms, video, dan juga note-note yang tidak begitu penting itu. Aku tidak akan pernah memaksamu untuk menghapusnya. Terima kasih karena kau sudah menemaniku sejauh ini.

Untuk sekarang,.. berteduh dulu di dalam sana. Di saku celanaku.

cerita malam di taman kota

25 July, 2012


Ada seorang  sedang menyisiri jalan yang remang-remang di tengah kota. Berbicara pada malam yang redup, jangkrik yang begitu berisik, dan lampu kedap-kedip yang berbaris rapi seperti semut. Ada senja yang terpelihara di matanya, wajahnya datar menggambarkan mimik lukisan monalisa berabad lalu. Mimpinya baru saja diterbangkan kupu-kupu, terselip di antara sayapnya yang bercorak. Bukan, dia tidak sedang meratapi kehidupannya. Ia hanya mencoba menjadi lilin di tengah kegelapan, tanpa korek api.

Dia hanyalah lelaki yang terlalu naif untuk mencuri cahaya dari kunang-kunang. Mungkin dipikirnya duduk di lampu sorot sebuah taman kota lebih baik dari itu. Dipikirnya tak ada yang salah dari menunggu hujan seribu cahaya di pagi yang buta.

Sampai disepertiga malam, senja di matanya sudah sangat matang. Angin malam hanya memeluk tubuhnya yang ringkih seperti selimut tebal. Ada bualan-bualan sinis dari gesek rumput yang bergoyang bak penari  latar. Tak kalah juga dengan suara burung hantu yang memecah sunyi. Baginya,.. ini hanya malam yang biasa di kota asing dengan perasaan begitu asing. Oh, ternyata dirinya sendiri juga sangat  asing di matanya yang asing.

Ada perempuan yang tetiba saja menghampirinya. Angin sempat mengabarkan kedatangannya seperti gerimis sebelum hujan disetiap sore. Mereka berdua bercerita, memberi kabar yang tak sempat dikabarkan tukang pos yang tersesat menahun. Di mata mereka, ada cahaya bulan yang terbuka perlahan. Awan gelap yang menjadi tirainya terusik angin malam yang begitu hangat.

Taman itu menjadi panggung theater yang romantis seperti dalam buku dongeng pengantar tidur, ataukah kisah roman picisan lain yang pernah kita baca di perpustakaan. Waktu, ruang, dan takdir menjadi pemeran utamanya, sedangkan mereka hanyalah kebetulan yang tercipta dari kisah itu.

**gambar dari sini

pikirkan saja bahagia kita

18 July, 2012


Apa yang kamu rasakan waktu pertama kali jatuh cinta? Pasti rasanya begitu hebat, seperti ada sebuah tank di dalam hatimu yang sedang menembakkan peluru besinya ke udara. Bumm! Bumm! Gemuruhnya sampai naik ke kepalamu. Ataukah seperti ada sebuah karnaval di dalam sana, banyak hal menyenangkan yang bisa kamu lakukan. Ah, bahagianya.

Tapi kemudian perangnya semakin besar, tankmu rusak dan berkarat. Karnaval yang tadi meriah, sekarang harus gulung tikar karena tidak ada pengunjung. Awalnya kamu sudah tahu akan terjadi hal demikian, tapi kamu masih mengira-ngira. Hatimu hancur sejadi-jadinya, pasti dunia seperti mau runtuh saat itu. Seberapa pun kamu menahan sakitnya, kamu butuh waktu untuk menambal lukanya.

Kalau kamu gampang menjahit sebuah luka dan kembali menjatuhkan hati pada seseorang. Itu bukan hatimu yang murahan, kamu hanya terlalu baik untuk melihat keburukan dari seseorang. Kamu terlalu gampang memaafkan dan sulit untuk membenci. Lakukan itu terus sampai kamu menemukan yang benar-benar pantas untukmu. Kamu pasti akan banyak belajar dari hidup.

Lalu, jangan beritahu aku sekarang bagaimana perasaanmu. Mungkin aku adalah lelaki kesekian yang menjatuhkan hati padamu. Aku yakin lelaki manapun pasti begitu mudahnya menyukaimu, atau mungkin hanya lelaki beruntung yang bisa melihat sisi lainmu yang bisa mencintaimu dengan pantas. Dan sepertinya aku sedang beruntung, menemukanmu tanpa sempat kusadari.

Kamu tahu, aku juga sepertimu. Pernah menyukai seseorang sebelum kita saling bertemu, tapi waktu membuat kita sadar bahwa jodoh memang di tangan Tuhan, bahkan mereka bisa lebih dekat dari mata kaki kita sendiri.

Tiap orang berhak punya kesempatan kedua dalam hidup, bahkan ketiga dan juga keempat selama itu bukan kesalahan yang sama. Kita tidak mungkin menghakimi hidup seseorang hanya karena dia pernah dipenjara bukan? Aku juga tidak suka menghakimi masa lalu seseorang dan menganggapnya sama dengan dirinya yang sekarang, dia yang pernah jatuh cinta berapa kali atau apapun itu. Aku tidak pernah keberatan selama aku mencintainya. Iya, Itu karena cinta selalu membuat kita melihat sisi baik di antara sisi kehidupan yang buruk.

Jadi, jangan pikirkan apapun sekarang kecuali bahagianya kita di pernikahan kita besok. Orang tua kita, teman-teman kita yang datang mendoakan, senyum-canda mereka yang tak ada habisnya. Iya, jangan pikirkan apapun lagi tentang masa lalu. Karena aku siap lari bersamamu ke masa depan dan meninggalkan kenangan-kenangan pahitnya di belakang. Kalau kamu kelelahan, aku akan memapahmu. Aku tidak akan meninggalkanmu, memikirkannya saja aku tidak berani.

Itu bukan janji yang muluk-muluk. Aku tahu kalau hidup ini banyak ditaburi garam, tapi kita (sudah) lebih dari cukup untuk membuatnya lebih manis.

Kamu adalah tulang rusukku, dan aku adalah tulang punggung keluarga kecil kita, hingga nanti kita hanya tulang belulang.

matahari, embun, dan daun

15 July, 2012

Kamu pernah mendengar kisah tentang embun dan daun? Ya, itu cerita yang sudah lama sekali, cerita yang cukup singkat dan entah siapa yang memulainya. Aku akan menceritakannya dengan kalimat sederhana sebisa mungkin.

Entah kapan terjadinya, matahari pernah merasa kesepian. Ia tak pernah benar-benar menemukan hal yang membuatnya bahagia atau membuat hatinya tenang. Sudah berabad-abad tak ada yang bisa menarik perhatiannya. Ia merasa bosan dengan rutinitasnya setiap hari, tanpa pernah ada yang membuatnya semangat untuk menunda-nunda sebuah hari.

Suatu hari, ia melihat hal yang tidak biasa. Di tanah yang gersang, ada sebuah pohon yang tumbuh dengan hanya sekuncup daun yang tersisa. Ia heran, kenapa daun itu masih bisa hidup, padahal tanah itu begitu gersang. Matahari terus memperhatikan, dan mengawasinya karena begitu penasaran.
Siang, sore, sampai senja hanya setitik di ujung garis pantaipun ia tetap memperhatikan daun itu.

Kemudian saat matahari tertidur dengan pulasnya, embun itupun datang. Ia bermain bersama daun, bercerita, dan memberinya semangat hidup. Daun begitu bahagia dan lebih hijau saat bersama embun, tak pernah ada yang bisa mengerti daun seperti si embun santun nan kemilau itu. Mereka bercerita dan tertawa seperti dua anak kecil yang baru saja bertemu. Sampai di suatu pagi, matahari mengintip di sela-sela subuh dan terpikat oleh embun.

Matahari jatuh cinta pada embun, ia ingin memilikinya. Daun tak bisa berbuat apa-apa. Dia punya hutang budi kepada matahari, ia sudah seperti sahabatnya sendiri. Lagipula, daun tak pernah mengatakan perasaannya kepada embun, mataharipun tak tahu bagaimana perasaan sekuncup daun itu pada embun. Daun tak ingin membuat matahari kecewa, bisa-bisa semesta akan menjadi buram ketika ia murung.

Maka daun memberikan ruang untuk matahari.
Selang beberapa hari, matahari mendekati embun di pagi itu, ia ingin memilikinya lebih nyata. Ternyata ia pun tak bisa memiliki embun. Yah, sampai sekarangpun kita bisa melihat saat matahari mendekati embun tapi tak pernah berhasil. Embun selalu hilang di antara langit dan bumi, ia menguap dan tiada sebelum menyentuh matahari. Sedang daun hanya diam di sana memperhatikan keduanya bersama perasaan yang diharapnya akan layu.

“Aku ingin kembali ke awal pertama kali kita bertemu dan mengucapkan selamat tinggal sebelum sempat saling mengenal, bisa?” Kata daun saat embun telah hilang bersama cahaya. Suaranya hanya tertelan angin di hamparan pasir itu. Tak pernah sempat.

Itu cerita yang aneh kan?

Bagaimanapun aku selalu menunggu embun yang santun itu menyapaku di pagi hari. Entah ia ada di kaca jendela kamarku yang sepi ataukah di dedaunan yang menggelantung itu. Embun pagi itu tulus, ia tak pernah minta apa-apa pada daun. Padahal ia menyapa daun di tiap pagi. Ia hanya berbaring sebentar pada selimut daun, kemudian hilang bersama sinar matahari.

Lalu bagaimana jadinya kalau embun dan daun itu bertemu dalam situasi dan waktu yang berbeda? Mungkin hanya Tuhan yang yang punya cerita cadangannya. 

Nb: Maaf saya sedang sering bercerita konyol.haha

pengelana yang linglung

11 July, 2012



Aku ini pengelana yang tersesat di dalam hatimu, bajuku compang-camping, bauku tak karuan: rasanya sudah lama aku tidak mandi karena perjalanan membingungkan ini. Itu karena di dalam sini tak ada sungai ataupun danau yang bisa kutempati mandi. Ketika haus, aku hanya menunggu embun santun di pagi buta sebelum cahaya meminumnya pada segelas daun. Ketika lapar, aku hanya melumat rindu yang kutaburi harapan. Remahnya kusisakan untuk semut-semut hitam yang menemaniku.

Rupa-rupanya aku sudah berjalan sangat jauh, kakiku lecet, kaos kakipun sudah berbau aneh. Sol sepatuku juga mulai menganga seperti ingin bercerita tentang masa lalunya. Aku memutuskan berhenti sebentar di bawah pohon rindang, berbaring sejenak lalu membuka alas kakiku yang tak layak lagi. Sekarang, aku berjalan dengan kaki telanjang. Untung saja hamparan rumput ini begitu ramah padaku.

Waktu ternyata tak mau menungguku di dalam sini, rasanya ia terlalu terburu-buru. Seperti dikejar anjing di depan pagar tetanggaku yang galak itu. Ah, waktu keparat. Itu umpatan pertamaku dalam perjalanan ini, aneh rasanya. Kenapa bukan dari dulu saja aku mengumpat waktu dan menyalahkannya. Aku ingin mengurungnya dalam toples kaca seperti kunang-kunang yang pernah kita tangkap. Lalu menggantungnya di teras rumah, kita mengagumi kedip cahayanya, lampion yang indah.

Tapi paginya kita terbangun, lampion itu sekarang menjadi kuburan kunang-kunang. Aku hanya memperhatikan bola matamu. Kaca-kaca yang indah itu sekarang berembun, bingkainya tak kuat lagi menahan isinya, sepertinya ini terlalu pagi untuk hujan. “Aku tak ingin cahaya jika harus membunuh kunang-kunang malang itu,” katamu sendu sambil mendekap lututmu erat-erat. Kamu terisak gemetar, sedang aku hanya diam tergagap menunggu gagak mengetuk kepalaku.

Aku tak ingin menangkap kunang-kunang lagi untuk kita, aku takut membuatmu menangis seperti itu lagi. Karena itu aku tidak akan mengurung waktu dalam toples kaca, itupun kalau aku bisa. Aku hanya akan duduk bersama waktu, menemaninya untuk menunggumu datang dan memecahkan tabungan rinduku. Lalu kita bisa memungutinya bersama, wajahmu akan merah merona mengumpulkan rindu yang kusimpan di sana. Kamu jadi konglomerat dalam sehari, penuh dengan rindu yang berserakan.

Tanpa peta, kompas, ataupun alat navigasi lainnya. Ya, Ini adalah perjalan paling gila yang pernah kulakukan. Sebenarnya itu bukan masalah besar, karena ini hatimu, aku hanya berputar-putar di dalamnya. Kamu dimana, dengan siapa, sudah menikah, sendirian, ataukah mencariku juga, akupun tak punya catatan untuk itu.
Aku hanya tahu, perjalanan tanpa sebuah makna adalah kesia-siaan belaka.

gambar nyomot dari sini

entah dimana dan kapan

07 July, 2012


Suatu hari entah dimana dan kapan, kamu akan menjatuhkan hati (lagi) kepada seseorang. Mungkin kalian kebetulan dipertemukan di kelas, di pinggir jalan, di kantor, atau bisa saja di tempat tak terduga lainnya. Di jantungmu seperti ada petasan yang sedang meledak-ledak, atau rasanya seperti punch bag yang dipukul seorang petinju secara beruntun. Rasanya sedikit tidak mengenakkan, tapi lucunya kamu ingin mengulang perasaan itu sepanjang hari.

Suatu hari entah dimana dan kapan, kamu akan berpisah dengan seseorang. Mungkin karena orang itu sudah mendapat tempat yang lebih baik di bagian bumi lain. Bisa juga di hati yang lain, universitas, instansi, kota, negara, atau karena Tuhan begitu sayang padanya. Jantungmu diuji lagi kali ini. Hatimu menjadi seperti puzzle yang potongan-potongannya mulai hilang, detak jarum jam juga terasa lebih keras berkali lipat. Aneh memang, tapi kamu harus yakini ini, kalian akan bertemu lagi dalam kebetulan ataupun kesengajaan.

Suatu hari entah dimana dan kapan, kamu akan jatuh karena berurusan dengan masalah. Mungkin kamu punya hutang di bank, difitnah, nilai ujian buruk, bertengkar dengan teman, atau mungkin pekerjaanmu sedang kacau. Hey, rasakan bagaimana jantungmu saat itu. Seperti ada badai di dalam sana, awannya gelap dan dinginnya begitu sinis. Tapi yang kamu harus lakukan saat terjatuh di sana adalah bangkit, kalau terjatuh, bangkit, jatuh lagi, lalu bangkit lagi lebih cepat sampai sakitnya sudah terbiasa. Jangan pernah menyerah dengan keadaan itu. Sedikit lagi, yah sedikit lagi badai itu akan terlewati.

Suatu hari entah dimana dan kapan, kamu akan kehilangan arah, tersadar kompasmu hilang. Mungkin kamu merasa tak punya siapa-siapa dan apa-apa lagi. Semuanya sudah hilang dari hidupmu, teman, sahabat, kekasih, keluarga atau apapun hal yang membuatmu bahagia. Kamu akan mendengar suara itu secara perlahan. Dari jauh, kemudian mendekat dan membisikkan hatimu "ketika kamu merasa sendiri dan tak ada siapa-siapa lagi kecuali Allah, maka Allah sudah lebih daripada cukup."

Suatu hari entah dimana dan kapan, kamu akan berbahagia dengan hidupmu. Mungkin karena cintamu sudah halal, keluargamu damai, orang tuamu menikmati sisa umurnya atau mungkin saja karena kamu sangat pandai mensyukuri hidup. Jantungmu sudah terlatih untuk mengatur ritme, kadang dia bising seperti air terjun di tengah hutan, tapi juga menjadi gerimis di atap rumah, begitu tenang.

Ya, ini hanya tentang suatu hari yang entah dimana dan kapan. And then, this moment will be just another story someday ...

Kita ada di pelabuhan

03 July, 2012


Kamu pernah meninggalkan ibumu sendiri karena punya alasan yang tepat? Aku pernah melakukannya, meninggalkan ibuku sendirian di tempat asing. Bukannya untuk sementara, sehari ataupun menahun, tapi selama-lamanya. Aku pernah protes ke Tuhan karena hal ini. Kenapa takdir begitu pelit pada kami? Kenapa Tuhan merencakan semua perpisahan ini begitu rapi?

Kalau boleh aku ingin membenci saudara-saudaraku, mereka lebih dulu meninggalkan ibu. Padahal ibu sudah merawat mereka dengan baik. Tapi mereka malah pergi tanpa memikirkan perasaannya, mungkin aku terlalu sensitif di bagian itu. Ibu begitu baik pada kami; bahkan terlalu baik, penyayang dan sering membuatku tertawa. Ibu sama halnya seperti malaikat yang punya tempat khusus di dalam hatiku, menghangatkan.

Kata ibu, dia menyayangiku dan bahagia punya anak sepertiku yang begitu keras kepala. Tapi dia juga masih tetap menyayangi saudara-saudaraku yang lain, yah walaupun mereka sudah pergi lebih dulu. Terkadang aku juga merindukan mereka. Aku merasa Tuhan tidak adil pada kami, andai saja Tuhan membiarkanku tetap bersamanya. Aku pasti sangat bahagia. Ibu sudah lebih dari cukup untuk kebahagianku di dunia yang terlalu dingin ini.

“Tuhan melihat kita nak, Dia punya rencananya sendiri untuk semua ini.” Ibu selalu mengatakan itu, selalu saja punya jawaban yang baik untuk kudengarkan. Dan ibu juga tak pernah marah pada Tuhan, ibu selalu berbaik sangka.

“Aku tidak akan meninggalkanmu ibu, tidak pernah ingin!” Ketusku padanya malam itu sampai tertidur lelap dipelukannya.

***
Sekarang, aku sudah ada di tempat terasing. Angin sudah membawaku pergi malam itu, ibu pun tak bisa menjagaku lebih lama lagi dipelukannya. Aku juga sudah tahu alasan saudaraku yang lain pergi, mereka mengisi takdirnya masing-masing. Di tebing yang curam, di taman kota, ataupun di sela-sela lubang kecil di pinggir jalan.

Dan di tempat inilah takdirku. Tinggal di tiang peyangga kapal di pelabuhan besar kota ini, bersama kerang dan kepiting merah kecil.

Di sini aku bisa melihat orang-orang datang dan pergi. Aku sudah sering melihat tangis yang tumpah dan juga kebahagiaan yang  menyeruak di tempat ini. Yah, ini adalah tempat dimana Tuhan mengajariku tentang pertemuan dan perpisahan. Ada yang pergi dan kembali lagi, tapi ada juga yang pergi tapi tak pernah kembali. Bukannya tidak ingin, tapi mereka hanya tidak bisa.

Orang-orang memujiku sebagai hal yang bisa hidup dimanapun, tapi mereka tak pernah memikirkan bagaimana rasanya hidup seperti ini, hanya terbawa angin dan mengikuti takdir.
Tuhan mungkin menciptakanku untuk ini, agar manusia lebih menghargai pertemuan dan selalu siap dengan perpisahan. Dari dandelion malang sepertiku, yang tak pernah bisa kembali pulang.

Kamu, bukan dandelion kan? Masih bisa melawan angin...
*gambar dari sini

Kepada hati untuk otak

29 June, 2012


Apa kabarmu di atas sana?

Aku harap, kau masih baik-baik saja di sana. Yah, walaupun memang semua tidak harus berjalan baik-baik saja, tapi aku harap kau masih bisa bangkit saat semua menjadi seperti yang tak kau harapkan. Aku percaya, kau selalu bisa melakukan itu.

Entah kenapa aku ingin menulis surat untukmu, bukan bermaksud apa-apa. Hanya saja, ini mungkin bentuk kerinduanku padamu. Yah, dalam bentuk yang lebih nyata. Kau bisa mengolah tiap katanya dan merasakan kerinduan yang kurasakan sekarang ini. Lagipula, aku ingin lebih dekat dengamu agar bisa mengerti jalan pikirmu itu.

Aku punya beberapa hal untukmu, untuk kita mungkin.

Hal pertama. Kau masih menyimpan rasa itu? Rasa yang pernah kita miliki bersama, dimana kita mencintai seseorang sampai tenggelam ke dalamnya: sayangnya tanpa pelampung. Untung saja, kau bisa mengendalikan situasinya. Kau menikmati alirannya, tapi juga menyiapkan dirimu saat hampir tenggelam terlalu dalam. Terimakasih sudah menyelamatkanku waktu itu, hampir-hampir terbawa arus.

Tapi aku sedikit kesal saat kita berdua bersitegang karena cinta itu. Katamu cinta harus memakai kacamata seorang pengamat ekonomi, agar cinta itu bisa tetap hidup. Yah lebih rasional katamu. Tapi aku masih ngotot saja mengatakannya, cinta hanya butuh rasa setiaku, perhatianku, dan juga surat izin dari Semesta. Kau hanya tertawa terbahak-bahak.

Hal kedua. Kau masih memikirkan orang-orang yang terlalu sensitif dan berpikir negatif itu? Orang yang menganggapmu palsu, pragmatis, atau apalah. Tunggu, kenapa kau selalu melakukan itu? Membuat dirimu sendiri lelah dengan itu. Jangan bilang kau lupa denganku? Aku di sana, sewaktu kau menghapus egomu, sewaktu kau mau menerima mereka, sewaktu kau menganggap dunia tidak mengerti jalanmu. Kalau kau sendiri, kau bisa terperangkap dengan jalan pikiran mereka. Aku selalu di sini, hanya untuk membantumu memaafkan mereka yang tak tahu apa-apa.

Lihat sendiri kan, kau punya teman-teman baik, bahkan ada yang kau namai saudara. Mereka menerimamu apa adanya, jalanmu dan semua hal konyol yang kau lakukan di dalamnya. Dan aku senang membantumu saat bersama mereka. Aku juga suka tertawa, menjadi gila, dan melakukan hal konyol bersamamu, bersama mereka.

Hal ketiga. Jangan lupa kesepakatan awal kita, entah kita menyepakatinya kapan. Tapi aku masih ingat, kau yang membuat peta hidup kita, dan aku yang menunjukkan jalan mana yang harus kita ambil. Tapi kupikir, semesta sedang berkonspirasi untuk membuat kita bingung. Siapa yang menjadi penunjuk jalan dan siapa yang membuat petanya. Untung saja kau selalu mengingat janji.

Hal keempat. Terima kasih karena kau (selalu) menerimaku kembali saat pulang setelah menenangkan diri, ini tahun yang cukup berat. Dan aku akan tetap bersamamu. Menemanimu kapanpun, kemanapun sampai suatu hari kita menemukan seseorang yang benar-benar bisa menerima kita. Tentu saja tanpa harus bersitegang lagi, memikirkan kerasionalannya ataukah kesetiaannya.


Ngomong-ngomong, semangat untuk final bulan depan. Jangan sampai meledak, okeh ini bercanda. Dari hati.

*picture from here

Rumitnya kita itu

24 June, 2012


Akhir-akhir ini aku terlalu banyak berpikir tentang macam-macam. Sudut kamar yang tak pernah mandi dengan cahaya pagi, bau ilalang di balik pagar tetangga, semangkuk air hujan di daun talas pekarangan rumahku dan langit yang menanam berhektar awan. Yang terakhir itu begitu manis akhir-akhir ini, apa lagi dipukul setengah enam sore. Melankolis katamu.

Aku juga sempat memikirkan cinta. Ah, lagi-lagi kau mengingatkanku tentang cinta. Lantas, apa yang harus kukatakan lagi tentangnya? Kau sudah begitu tahu luar dalamnya. Bagaimana hatimu tiba-tiba menjatuhkan diri, kemudian terluka, dan suatu hari sembuh lagi. Lalu, kenapa aku harus memikirkannya untukmu? Kenapa kau tak memikirkannya sendiri saja, agar kelak kau bisa menceritakan tentang biasnya, letupnya, dan kiranya itu hanya kabut di pagi yang gerimis.

Lagi pula, kenapa kita harus memikirkan tentang cinta melulu? Kenapa bukan cinta saja yang memikirkan kita, sesekalipun tak apa, agar dia tahu bagaimana rumitnya berpikir seperti ini. Tak berotak katamu.

Lucunya lagi, ternyata kitalah yang sering membuatnya rumit, karena mengajaknya bermain di dalam labirin. Dia menjadi terbang kemana-kemana, tenggelam, merangkak-rangkak, dan akhirnya gugur di bawah pohon cemara. Lihat kan, di sana juga ada tupai yang meloncat dari dahan ke dahan, membawa kenari yang disimpannya di lubang pohon. Katamu itu rumahnya, aku menyebutnya lubang pohon saja. Seperti halnya dengan cinta, kerap kali kita beradu argument, salah kaprah: padahal itu-itu saja.

Kau dan aku kemudian membajak langit, mengais-ngais awan yang keemasan. Kita mencari-cari apa yang tak sempat dicari yang lain. Mungkin suatu hari kita akan saling menemukan, kemudian tertawa lagi karena hal itu.

*gambar dari sini

Senja dimakan waktu

18 June, 2012


“Kamu masih suka laut?” tanyamu pelan disore yang mulai berwarna keemasan dengan garis-garis pantai yang mengabur. Aku suka duduk berdua seperti ini denganmu, menghabiskan waktu lelahku sepulang bekerja sambil melihat kearifan matahari dan bulan yang bertukar waktu.

“Tentu, kenapa aku harus membencinya?”

“Bukankah laut yang membawa keluargamu pergi? Jauh, sangat jauh sampai kamu merasa sendirian sekarang.”


“Lantas, apakah aku juga harus membenci Tuhan kita? Dia yang membuat daratan punya batasan yang kita sebut laut ini, jangan bilang kamu lupa sayang”


“   .….  ”

Kamu terdiam beberapa saat, menunduk sambil menggerakkan kakimu kedepan dan belakang. Mungkin aku terlalu serius menanggapi pertanyaanmu dan membuat obrolan kita yang lepas menjadi terlalu kaku. Aku masih terdiam beberapa lama karena ingin mendengar jawabanmu.
“Bagaimana kalau kita beli es krim di sana dan melupakan obrolan barusan.” Ujung garis bibirmu melebar kesamping dan memberi tiupan lembut di mataku. Ah, kamu selalu melakukan itu kalau ingin mengalihkan perhatianku.

Kamu menarik tanganku seperti anak kecil, tentu itu caramu agar tak terlihat konyol di depanku. Tingkahmu itu selalu membuat jantungku hampir melompat keluar karena saking bahagianya. Aku jadi ingat saat kita masih kuliah dulu. Tiap kali menjemputmu di pelataran kampusmu, kamu sering berlari kecil sesambil memegangi tas ranselmu. Kamu mungkin khawatir membuatku menunggu terlalu lama. Dasar kamu memang  yang terlalu baik. Sangat baik seperti biasa.

Kadang hidup memang seperti itu, selalu memberimu apa-apa yang tak pernah kita harapakan. Suka atau tidak, manis atau pahit, cepat ataupun lambat, kita akan mendapatinya kelak.

Setelah ini aku tak pernah lagi merasa sendirian. Karena kamu bersamaku, yang dengan setia menemaniku menikmati keriput di wajahku. Aku hanya ingin hidup bersamamu, selama mungkin. Kupikir Tuhan tidak keberatan dengan doaku yang satu itu. Sampai disuatu sore yang jingga nanti, kita berdua tertawa sambil menikmati teh hangat di bawah pohon jambu belakang rumah. Kita berdua, sepasang kakek nenek yang tertawa lepas melihat anak-anak kecil bermain ayunan dan perosotan.

Lagipula dari awal pertemuan kita, aku tidak ingin mencintaimu hanya karena hal-hal yang akan hilang dimakan waktu. Kalau karena hal-hal seperti itu, mungkin di usiamu yang ke-40 aku sudah punya wanita lain karena muak melihat keriput-keriput itu. Aku mencintaimu karena memang hatiku ingin, dia hanya jatuh padamu dan ingin terus bersamamu. Selalu seperti itu sampai waktu menghabis bersama kita.

Pict. from here

melihatmu bahagia selalu

08 June, 2012

Aku masih sibuk dengan hobiku sedari beberapa jam yang lalu, memperhatikanmu. Ah itu, aku senang melihatmu seperti itu. Matamu yang menyipit karena tersenyum sambil bercanda dengan penata busanamu, wajahmu yang sumringah dan suara tawamu yang menyengat kupingku, bahagianya. Gaunmu itu pasti pilihanmu sendiri, aku tahu motif favoritmu dan warna kesukaanmu yang masih saja itu.

Hari ini hari bahagia kita. Iya, rasanya aku ingin mengatakannya dengan lantang saat ini. Kenapa aku bisa sebahagia ini? Aku memperhatikan lagi setelan jasku sendiri, serba hitam seperti pemeran utama film Man In Black. Ah ini, aku lebih berwibawa rasanya. Tapi jantungku terasa aneh, kenapa detaknya berbeda? Tak seperti yang kubayangkan.

Keluarga besarmu juga datang, mereka pasti bahagia, bisa kulihat dari binar mata mereka. Kamu tak mendengar doa-doa yang manis itu? Yang mengharapkanmu bahagia dari lubuk hati mereka yang bahkan hanya Tuhan yang tahu dalamnya. Apa lagi dua saudara perempuanmu yang tersenyum menggelitik ke arahku, seperti itulah mereka menguatkanku.

Aku memasuki acara resepsi itu dengan hati yang berdebar-debar. Entah karena akan menyanyikan lagu favoritmu atau karena tak kuat melihat bahagiamu dengan lelakimu. Sungguh, ini benar-benar kebahagiaan yang dilematis. Andai saja bukan karena permintaanmu, andai saja bukan karena kamu menganggapku teman terbaik, andai saja kata pengandaian tidak pernah ada diantara kita. Apa aku boleh menulis andai saja aku yang menikah denganmu? Ah, aku bahkan tak tahu sedang menulis apa.

“Aku hanya ingin melihatmu bahagia.”
Aku masih ingat kata-kataku sendiri, kalimat melankolik yang dengan tegas kukatakan saat kita masih kuliah dulu. Tapi, apakah aku benar-benar bahagia melihatmu bahagia dengan lelaki lain? Ah Tuhan, Engkau pasti sedang bergurau denganku sekarang, dengan hatiku yang sangat kecil di depanMu ini.

Apakah aku menyesali perasaanku, hidupku, atau kemalanganku? Tidak, sungguh, ini tidak seperti kelihatannya atau apa yang ada dibaliknya. Aku memang bahagia melihat semua ini, walaupun dengan lelakimu yang aku sendiri tak pernah mengenalnya. Aku suka melihat senyummu, selalu saja ingin melihatnya, bahkan di hari yang paling memuakkan sekalipun.

Aku tak akan pernah menyesal, apa lagi saat pertama kali menaruh hati padamu. Kamu bahagia? Itu cukup, anggap saja begitu.
Karena aku sudah melepasmu, bisa bahagia sendiri kan? Kalau tak bahagia, aku masih disini. Rumah di dalam hatiku masih kuat, pondasinya bahkan. Entah kuncinya kamu sembunyikan dimana.

Aku mencintaimu, perempuan yang mempunyai prinsipnya sendiri. Selalu.
Selamat berbahagia yah teman baik...

*Menulis random ternyata aneh tapi menarik.hha *
**sumber gambar