Pages

serdadu-serdadu kata

10 November, 2012


Beberapa cerita akan menjadi kenangan yang menggenang setelah hujan. Karena pertemuan telah membuat kita takjub pada segala kemungkinan. Lalu aku akan bercermin pada genangan itu. Menyaksikan serdadu-serdadu kata yang telah meninggal dalam perang. Yang telah kita makamkan di sebuah taman yang dihuni ribuan kupu-kupu. Lihat, bagaimana kepergian tampak indah di tempat ini. Kata-kata telah menanggalkan baju perangnya. Sunyi kemudian menyisir hujan yang berantakan hari itu.

Tak usah menghardik pada jarak, ia selayaknya kita syukuri. Karena ia telah melahirkan rindu yang akhirnya harus menjadi yatim. Asalkan hidup, katanya itu cukup. Mungkin, aku juga harusnya mengambil jurusan kriptologi. Belajar tentang kode-kode rumit pada secarik kertas, manusia, dan kehidupan. Dengan begitu, aku bisa mengerti enkripsi buatan-Nya yang selalu saja abstrak. Ah, padahal aku hanya ingin mengerti jalan pikiran seorang perempuan yang menenggelamkan rembulan di matanya.

Aku sudah melakukannya terlalu sering. Berpikir terlalu rumit sampai-sampai menemukan bifurkasi di lorong pikiranku sendiri. Percabangan yang lebih berkelok dari dahan pohon. Keruwetan yang lebih membosankan dibanding menunggu seorang anak gadis yang bersolek untuk seorang pangeran. Karena itu pula aku sampai harus menyita malam dan menggelisahkan pagi. Bertanya tentang pertemuan yang singkat, tapi rindu yang menahun. Tibalah aku menjadi narapidana yang meminta keadilan pada garis tangan di pagi yang masih buta.

Aku tak pernah mengkambing hitamkan takdir, ia selayaknya memang begitu. Kebetulan hanyalah remah takdir yang kita jadikan tuan dari perbincangan kita. Pernahkah kau berpikir tentang nama kita, yang mungkin saja ada di barisan yang sama dalam buku semesta? Atau, kita memang ada di halaman yang sama tapi paragraf yang berbeda? Itu kemungkinan terburuk. Untung saja aku masih ingat kata guru kehidupan, “Perspektif kebaikan menurut manusia dan Tuhan masih abstrak, buruk dan baik hanyalah kemasan agar kita bisa dibilang manusiawi.” Aku tak ingin memikirkannya sampai matang. Aku hanya tahu, senyummu adalah letupan hangat yang selalu mengaung di tebing hati, menjatuhkan kerikil-kerikil rindu yang akhirnya membuat luka.

Biarlah tetap seperti ini saja. Kau dan aku kembali pada masa kecil yang begitu bersahaja. Bermain tebak-tebakan tentang rasa. Atau mungkin menghitung sampai sepuluh sambil menutup mata, lalu berharap salah satu diantara kita muncul begitu saja. Aku bahkan pernah menghitung hingga ribuan sampai petang. Sampai bosan. Sampai suaraku habis ditelan batin. Tapi tak pernah kudapati dirimu di depanku. Sungguh, itu keluguanku yang belum juga menjadi dewasa.

Aku teringat pada serdadu-serdadu kata yang tak berkewarganegaraan itu. Mereka dibesarkan dari bibir seorang pemuda santun. Mereka pengungsi dari bibir para pemberontak. Mereka adalah pahlawan yang tak perlu hingar bingar derajat yang menjadikannya lebih tinggi dari kata yang lain. Karena hanya mereka yang begitu berani mengepungmu dan membuat wajahmu menjadi merah merona seperti senja di kebun jeruk. Jingga yang ranum menggelisahkan kata-kata yang pekat.

Waktu adalah tersangka yang paling cerdik, disembunyikannya kebenaran yang pada akhirnya dibongkarnya sendiri pada suatu ketika yang dikehendakinya.
"Introgasi ini akan lama."

pict from here