Pages

melipat momentum

27 October, 2012


Akhirnya kau melakukannya lagi. Sungguh hebat. Kau melakukan lompatan momentum yang tak pernah kupikirkan sebelumnya. Melewati segala norma. Mendobrak segala realitas. Seperti api yang mengekalkan apapun dalam ketiadaan namun disisi lain seperti air yang merakit ulang segalanya. Kau kini ada dalam kehampaan. Tenggelam bersama keterasingan yang paling manis di tepian bumi.

Ada saat di mana jiwamu merasa telah menemukan 'sesuatu'. Bukan pikiranmu atau tubuhmu yang menginginkannya. Tapi kau menolaknya mentah-mentah. Seperti muntahan yang kau melihat jijik padanya, padahal itu cerminan dirimu yang lain. Kau takut pada dirimu sendiri? Atau, kau takut pada perasaan-perasaan yang memuakkan itu? Banyak sekali pertanyaan yang kita membutuhkan waktu lebih banyak untuk menjawabnya.

Jangan membuang dirimu sendiri. Jangan hancurkan hatimu yang keras itu dengan palu atau bor yang terbuat dari adukan asing atau pengabaian yang menahun. Sungguh, jangan bilang kau tak mengenal fitrah Tuhan yang paling manis itu. Jangan, jangan menyangkal sisi kemanusiaan kita yang lucu itu. Dunia ini memerlukannya supaya manusia tak terlalu serius menjalani ujian.
Starry Night Over The Rhône River by Vincent Van Gogh.

Tapi bukankah kehampaan itu juga perlu? Kupikir, hampa adalah awal mula dari segala sesuatu. Kalau tak ada ruang hampa maka tak ada yang bisa menempatinya. Kuperingatkan, jangan terlalu mengikuti arus di sungai purba yang telah menghanyutkan alasan-alasan. Ciptakanlah sendiri momentum itu. Buatlah sendiri arus yang membawa perahu kecilmu yang bocor menemukan dermaganya.

"Kau bisa berenang kan?"
"Tentu saja, dari kecil aku berenang di sungai yang bisa menulis dirinya sendiri."
"Lah, kupikir kau memang tintanya."

sepayung hujan

19 October, 2012


Sejak umur sepuluh tahun saya punya pertanyaan aneh. Kenapa hujan selalu datang bersama berita duka atau kematian? Ya, saya tidak tahu kebetulan macam apa itu. Ketika ada seseorang yang meninggal di sekitar saya, hujan selalu menyapu. Di pekuburan atau di rumah duka, entah dia lebat atau hanya gerimis. Bau udara lembab yang diaduk dengan tanah, daun-daun basah, denting di atas genteng. Dan saya masih pada pertanyaan yang sama setelah semua hal itu membias.

Hujan dengan suasana berkabung adalah yang paling saya benci. Kenapa Tuhan menurunkan hujan melankolis itu ketika lambaian tangan menjadi lebih pahit dari obat dokter yang berwajah masam? Saya benar-benar bingung. Apakah air mata dari yang orang-orang yang ditinggalkan memuai dan membentuk awan secepat kilat? Ataukah, hujan adalah sapu tangan langit untuk orang-orang yang kehilangan? Hujan masih terus menyapu saat tanda tanya mulai menyerbu bak serdadu di dalam kepala ini.

Sekarang, saya menjadi terbiasa dengan hujan seperti itu. Ketika langit begitu terang, awan semanis susu, dan angin begitu damai mengibas semuanya, lalu tiba-tiba saja turun hujan. Tanpa diharap, tanpa diminta atau tanpa ada yang menjemput rindunya. Saya pasti akan bergumam dalam hati, “innalilllahi, hujan berkabung.” Semuanya basah. Hati orang-orang yang tinggal dalam kenangan tak terkecuali.

Ada orang yang pernah bilang, “hujan mampu meresonansikan ingatan ataupun kenangan.” Ya, mungkin itu alasannya. Karenanya tiap hujan turun, orang yang punya kepekaan terhadap hidup akan terpanggil. Mereka tiba-tiba saja merindukan sesuatu. Ingatannya sedang diaduk dalam cawan hujan. Itu mungkin jawaban yang tepat untuk pertanyaan yang mengapung dalam pikiran saya sejak umur sepuluh tahun.

Hujan tidak datang untuk kematian, tapi ia datang untuk membunuh kerinduan orang-orang. Bedanya, ada pada apa yang hilang di dalamnya.

Hujan hanyalah alat perekam yang tak punya tombol play ataupun stop. Ia hanya punya tombol repeat untuk setiap orang yang punya kenangan tentang pertemuan, lambaian tangan, atau sekedar bahasa punggung yang tak pernah kita pelajari tapi sangat kita mengerti. Ah, iya, ternyata ini tidak serumit saat saya masih kecil dulu.

Tapi tidak, saya tidak ingin menyudutkan hujan seperti itu. Menjadikannya hal yang membuat hati orang-orang menjadi terluka karena kenangan. Sungguh, hujan tak pernah seburuk dan sejahat itu. Karenanya, masih ada orang-orang yang merindukan hujan lebih dari awan sebagai rumahnya sendiri. Petani, anak-anak kecil, pujangga tua, sepasang kekasih, dan, ah, tentu saja payung yang berkarat di belakang pintu.

Tak masalah hujan membawa sekeranjang pelangi atau tidak. Tak masalah hujan membawa segelas air bah atau tidak. Hujan tetap saja hujan. Dan payung yang tersungkur di belakang pintu tetap saja payung yang merindukan hujan lebih dari apapun. Hujan adalah alasan kenapa ia ada. Manusia, mungkin sesederhana itu juga ketika menemukan alasan kenapa dia ada.

Aku harap hujan-Mu kali ini menggenang di hati mereka yang tandus karena kemarau.

pict from here

lelaki yang tidak konsisten

11 October, 2012


Belakangan ini lelaki yang tidak konsisten itu sering sekali terbangun tengah malam. Bulan bermain di antara pukul dua dan tiga. Langit malam kemudian menjelma menjadi taman. Bintang adalah kedip lampu yang menerangi taman itu. Di sana ada Nebula yang sedang duduk di kursi perak. Matahari dan bulan bertanya-tanya tentang rindu. Lalu dia menemukan bayangan.

Suasana remang di dalam kamar menjadi pameran bayangan dari segala penjuru. Bayang lampu, bayang lemari, bayang gelas di atas meja, bayang buku-buku yang menumpuk, dan juga bayang titik-titik cahaya yang mengintip lewat ventilasi. Ini adalah galeri bayangan pribadi miliknya. Hanya miliknya seorang, tak ada yang akan akan dijual. Lagi pula, mana ada yang mau membeli bayangan. Mungkin hanya orang yang sangat kesepian yang ingin membelinya. Barangkali untuk menjadikannya teman.

Lelaki itu benci bangun di tengah malam. Karena di saat seperti itu pikirannya akan dipermainkan oleh hening. Entah hening akan menyembunyikannya di mana. Kadang ditemukan pikirannya berada di antara kenangan, kadang ia juga ada di antara lembaran harinya itu, bahkan pernah pikirannya tersangkut di suatu ketika yang selalu diharapkannya. Tapi pada akhirnya pikiran lelaki itu akan terbawa ombak dan tenggelam di samudera seperti sebuah kapal yang karam.

Dia memang lelaki yang tidak konsisten. Makanya dengan begitu konsistennya aku mengatakan, dia juga suka bangun di tengah malam. Apa lagi malam menghadirkan bulan sabit yang lengkungnya seperti senyum seorang perempuan yang dikenalnya. Senyum yang lebih hangat dari kata-kata puitis seorang pujangga yang dituangkan pada segelas kopi di sore hari. Senyum yang  potongan matahari pagi terselip di sana. Senyum yang akan selalu diingatnya ketika hari menjadi begitu sangat membosankan.

Lalu lelaki yang tidak konsisten itu juga suka ketika bulan begitu penuh dengan cahaya. Dia akan teringat bola mata seorang perempuan yang dikenalnya. Mata yang teduh, di mana dia begitu ingin menjadi gelap yang akan ditemukan perempuan itu dalam setiap kedip. Sungguh, kalau Tuhan membolehkan, dia ingin tinggal di dalam mata perempuan itu. Sebagai seorang narapidana yang divonis hukuman seumur hidup pun tak masalah, kurasa dia akan mengajukan banding agar hukumannya tak pernah selesai.

Tapi lagi-lagi karena dia lelaki yang tidak konsisten. Dia menggali lubang di dalam ingatannya. Mencoba mengubur semua harapan-harapannya pada perempuan itu. Dia tak pernah ingin merisaukan perempuan itu lebih dari kerisauan yang dirasakannya sekarang, pada perasaan yang mengambang dalam hatinya. Lelaki itu memang hanya jarum jam yang rusak, ia sudah berhenti tapi terus saja menunjuk ke arah perempuan itu.

image from here