Pages

berkemas

24 April, 2013

Beberapa hari yang lalu teman saya membagi ceritanya pada saya. Cerita yang cukup klise, dialami oleh kebanyakan orang di permukaan bumi. Hatinya sedang berantakan sekarang. Katanya, seseorang yang dulunya pengunjung tetap di sana, sekarang telah berkemas untuk pergi. Seharian dia bercerita. Di akhir cerita, dia hanya tersenyum dengan ragu sambil menguatkan.
Saya berterima kasih padanya untuk cerita yang baik itu.

Saya pun tak pernah keberatan jika seseorang datang dalam hidup saya hanya untuk berkunjung. Seperti tour wisata sebuah tempat yang mereka ingin kunjungi. Mungkin begitu isi hati kita untuk beberapa orang. Hanya sebatas ingin datang, lalu kemudian pergi begitu saja karena tertarik dengan tempat lain. Hati yang lain.

Sungguh, saya tak pernah keberatan jika ada yang melakukannya pada saya. Asalkan, ketika mereka pergi tak lupa juga membawa kopernya. Pengunjung seharusnya tak boleh meninggalkan apapun di sebuah tempat. Tapi terkadang, ada juga pengunjung yang tak bisa diatur. Tak mau tahu menahu kalau hati itu tak seperti tempat lain yang ada di dunia.

Adakah kalian pernah dikunjungi seperti itu?

Pada sudut pandang saya yang masih awam ini. Kebanyakan dari kita punya alasan tertentu untuk berkunjung pada suatu tempat. Bahkan, ada juga yang tersesat pada tempat tertentu yang mereka tak pernah rencanakan dan ketahui. Sebut saja itu takdir. Sesuatu yang begitu misterius diantara perencanaan-perencanaan kita yang sistematis tentang kehidupan.

Setiap orang tentu saja punya alasan untuk datang dan pergi. Setiap dari kita seharusnya mengerti itu dengan baik. Tapi hati tak pernah ingin diajak kompromi seperti itu. Dia hanya mengerti satu hal yang pasti. Bahwa dia mengerti dalam ketidak mengertiannya yang lugu. Bahwa setiap yang datang harus dibuat senyaman mungkin seperti rumah mereka sendiri. Karena terkadang, kita hanya ingin jadi tuan rumah yang baik.

Sebenarnya kita tak pernah marah pada pengunjung semacam itu. Yang datang sebentar lalu pergi karena alasan yang menurut kita tak logis. Kita hanya marah pada diri sendiri. Kita hanya kecewa pada diri sendiri. Kenapa begitu percayanya pada mereka. Kenapa sampai sebegitunya memberikan seluruh perasaan padanya. Kenapa mereka harus pergi pada saat semuanya tampak begitu cemerlang. Kenapa pertanyaan semacam itu menjadi seperti air bah yang menggilas semuanya.

Saya tahu, orang-orang yang mempercayai seseorang lebih dari dirinya sendiri adalah mereka yang lupa dengan daratan. Lupa dengan tempat tinggal di mana dia berpijak sekarang ini. Dunia, adalah tempat di mana segala kemungkinan terjadi. Ya, ini bukan salah mereka sepenuhnya. Seberapapun pintarnya kita mengakali pikiran, kita tak bisa mengakali hati. Dia bebas memilih tempatnya sendiri untuk merasa hangat.

Teman saya juga mengatakan hal yang masih menggangu pikiran saya sampai di detik saat saya menuliskan ini. Katanya, kita bisa memilih ingin menikah dengan siapa, tapi hati tak bisa memilih untuk terpaku pada siapa. Seketika saya tersenyum. Sungguh, saya tak bisa menahannya kali ini. Dibalik ceritanya yang mendung, ada hujan yang menciptakan warna-warna yang mulai kentara.

Saya hanya berharap untuk mereka yang pergi meninggalkan seseorang untuk seorang yang lain tidak akan melakukan hal yang sama pada orang yang menjadi alasannya meninggalkan orang sebelumnya. Saya selalu mendoakan mereka yang melakukan hal semacam itu bahagia dengan pilihannya. Karena kalau tidak, orang yang ditinggalkan pasti akan sangat merasa bersalah karena telah membiarkannya pergi.

Saya juga berharap untuk mereka yang telah ditinggalkan tetap melanjutkan perjalanannya yang sempat terhambat. Kehidupan terbentang luas di depan. Masih banyak kemungkinan hidup yang akan dihadapi. Bukankah hidup ini bukan melulu soal hati. Lihatlah dunia luar, masih banyak orang-orang kelaparan, pembunuhan, perang, ketidakadilan, dan segala macam penderitaan yang lebih pelik dibandingkan patah hati. Jangan merasa menjadi orang yang paling bersedih di dunia ketika banyak hal dalam hidup yang masih luput dari kesyukuran kita.

Oh, ya, hampir saja saya lupa. Kalian yang ditinggalkan tentunya sudah tahu bagaimana rasanya ditinggalkan seorang yang kalian percaya lebih dari diri kalian sendiri, kan? Bagaimana rasanya? Kalau kalian benar-benar memahami rasanya, jangan pernah lakukan hal semacam itu pada seseorang di masa depan. Itu hanya akan membuatmu menjadi orang paling malang di dunia.

Berkemaslah, lalu berjalan lagi sebagaimana mestinya.

I always wonder why birds stay in the same place when they can fly anywhere on earth. 
Then I ask myself the same question.  Harun Yahya

collision!

21 April, 2013



Malam belum berbuah bulan saat aku menggenapi kesepianmu. Matahari baru saja tertidur pulas di kaki langit. Orang-orang lalu lalang seperti kerumunan semut. Ramai tapi tak pernah saling bertabrakan. Sesekali mungkin, iya. Tapi tak sesering saat dua orang seperti kita bertemu.

Anggap saja pertemuan kita ini selalu menghasilkan 'tabrakan'.

Duniamu dan duniaku yang saling bertabrakan dalam kealpaan. Menjadikannya seperti dua meteor yang berbenturan pada galaksi yang luas. Hancur berantakan. Kepingan-kepingan kenangan yang berserakan dalam ingatan terburai di udara. Kau dan aku kemudian mengumpulkannya satu persatu lalu memaknainya lebih daripada saat mengingatnya seorang diri.

Kau bercerita. Aku mendengarkan. Aku bercerita. Kau mendengarkan. Sesekali kita beradu pendapat. Begitulah esensi pertemuan seharusnya, saling mendengarkan. Cerita kita kemudian menceritakan dirinya sendiri. Bagaimana mereka kesepian dan akhirnya menemukan orang yang bisa dibagi ceritanya masing-masing. Sungguh, cerita kita kedengarannya gila dan sedikit konyol malam itu.

Kita kemudian mencari tempat untuk duduk. Tak tahan karena tumpuan kaki yang sudah kelelahan menentukan langkah. Aku memilih duduk di dekat tangga. Kau memesan segelas minuman yang ragu kuberi nama dan tiga burger yang kupikir itu kebanyakan. Sekali lagi, malam yang dingin menjadi terasa hangat karena perhatianmu. Aku tersenyum, menyembunyikannya sambil menatap jalanan yang dikerumuni bintang-bintang yang merah menyala.

Kau tak begitu suka dengan tangga. Orang datang dan pergi melewati kita. Mungkin kau memang orang yang seperti itu. Tak ingin terlalu mencolok di mata orang lain. Kau juga tidak terlalu suka dengan keramaian. Atau mencari perhatian orang lain dengan berdandan berlebihan. Kau, perempuan yang sederhana saja.

Beruntunglah lelaki yang bersamamu, karena dengan kesederhanaanmu—aku bahkan yang bukan siapa-siapa merasa memiliki seluruh bumi saat di dekatmu. Ah, ini kedengaran terlalu dramatis. Padahal aku tidak suka hal-hal yang berbau drama. Terlalu melankolis. Aku tak bisa menampiknya.

Aku punya rahasia kecil. Tapi sebenarnya bukan rahasia lagi. Aku selalu benci hari saat berdua denganmu. Iya, aku sangat tidak suka hari itu. Karena hari di mana kita bersama akan selalu dihabiskan oleh waktu dengan tergesa-gesa. Waktu seakan dikejar anjing gila. Tapi hanya sampai pada waktu aku membenci. Selebihnya, aku bersyukur. Malam tak mau kompromi rupanya. Kita harus pulang. Aku takut membuat orang rumahmu khawatir berlebih karena anak gadisnya pulang menghabiskan satu gelas malam.

Setengah gelas malam sudah cukup. Selalu menyenangkan bisa menyusun puzzle cerita yang berantakan denganmu. Aku merindukan kepingan-kepingan cerita yang kita susun berdua waktu itu. Aku ingin menyelesaikannya. Mungkin bersamamu, atau kalau kau tidak sempat lagi, tak apa. Aku bisa menyusunnya sendiri.

Aku akan membiarkan logika dan perasaan bertabrakan kali ini. Aku sudah tak ingin mencemaskan dua hal yang berlawanan sekaligus. Perasaan ingin itu, tapi logika menolaknya. Begitu sebaliknya dan seterusnya. Terbolak-balik. Hati menjadi terombang-ambing. Pikiran entah kemana. Bukankah hal semacam itu sangat melelahkan? Ah, tak usah diambil pusing. Bumi sudah cukup lelah dengan kesedihan yang ditampungnya sendirian, jangan menambah bebannya.

Ada saat di mana kehidupan menjadi seperti komedi yang ironis.
Di mana merindukan seseorang bahkan butuh keberanian yang lebih. 

pict from here

Lelaki yang benci Hujan

15 April, 2013



Lelaki itu mengernyitkan dahinya ketika gerimis mulai jatuh perlahan. Wajahnya yang merona merah karena sore yang keemasan di pinggir pantai itu tiba-tiba saja berubah masam. Ada kekecewaan di batinnya yang perlahan mulai mengiris. Membuatnya mengemis harapan tentang cuaca hari itu agar segera membaik.

"Awan sialan!" Serapahnya begitu ketus.

Gerimis hanyalah pemberi kabar untuk hujan. Begitulah cara kerja langit sebelum memberikan hal baik pada bumi. Ia akan memberikan hal-hal kecil sebelum memberi hal-hal yang lebih besar. Hujan. Jatuh dengan khidmat di pantai itu. Dan lelaki itu makin murka pada awan di atas sana.

Ya, dia lelaki si pembenci hujan. Tak begitu suka dengan melankoli hujan dan caranya meresonansikan kenangan manusia yang dijatuhinya. Tentu lelaki itu juga tak suka dengan petrichor dan suara air di atas genteng. Ia tak peduli bagaimana hujan telah melahirkan penyair hujan di luar sana. Ia hanya tak suka hujan dengan begitu terlalu.

Ada alasan kenapa lelaki itu begitu benci dengan hujan. Saya pernah mendengarnya dari teman masa kecilnya.
Konon, dulu ia mencintai hujan seperti mencintai ibunya sendiri. Ketika ia bermain-main di pinggir pantai dan tiba-tiba hujan menyapuia akan berlari menerjangnya. Bukannya pergi berteduh, tapi ia melibasnya dengan tubuhnya sambil tertawa kegirangan. Bahagia baru saja diciptakan. Seorang anak kecil yang begitu mencintai air yang jatuh itu berlarian sepanjang pantai menerka jatuhnya hujan.

Tapi ia juga sedih setiap hujan turun. Karena di hari itu, ibunya biasanya akan terlihat sedih. Ia menjadi merasa bersalah karena selalu bahagia setiap ibunya merasa sedih. Bahagianya menjadi tidak sempurna lagi. Ia pernah bertanya tentang hal itu pada ibunya.

"Bu, kenapa setiap hujan turun, ibu selalu kelihatan sedih dan kecewa?"
"Tidak apa nak, ibu hanya merasa kehilangan harapan setiap hujan turun."
"Maksud ibu?"
"Tak apa nak, cintailah hujan sebisamu seperti sekarang ini. Bahagiamu itu, rasakanlah sampai kelak kau bisa sedikit mengerti tentang dunia."

Begitulah sedikit cerita yang saya tahu tentang lelaki yang membenci hujan itu. Tentang keluarga yang merasa kehilangan harapan setiap hujan turun. Tentang ibunya yang meninggal setahun kemudian karena tidak punya cukup uang untuk berobat di kota. Tentang bagaimana ia melalui hidupnya dengan berjuang seorang diri dengan menjadi petani garam.

Ya, lelaki itu seorang petani garam. Sama seperti ibunya.

Ketika ia menyadari kehadiran hujan hanya membuat harapan untuk hidup menjadi lebih dramatis, ia memilih untuk menjauhi hujan. Hujan membuat butiran-butiran air laut yang membeku oleh matahari menjadi cair kembali. Hujan membuat asa nya mengalir entah kemana. Sebisa mungkin ia tak ingin mengenal hujan pada kehidupannya. Hujan yang begitu disukainya dari dulu. Hal yang membuat seorang anak kecil bahagia begitu saja. Rasanya tak lagi sama sekarang.

Ada alasan kenapa hal-hal di dunia ini berjalan tidak sesuai dengan keinginan kita. Kadang alasan itu terpampang jelas di depan kita. Kadang disembunyikan oleh waktu. Kadang, memang sulit untuk kita mengerti dan terima. Tapi itulah hidup. Tentang menerima segala kemungkinan dengan dada selapang danau yang menerima hujan dengan keikhlasannya.

Kemudian, suatu hari di dekat danau itu akan tumbuh berbagai tanaman baru. Pohon palem, perdu akasia, tanaman rambat, bunga-bunga liar, dan akhirnya akan bersemayam kehidupan lain dari dunia yang berbeda. Serangga, binatang melata, burung pipit yang bernyanyi di pagi hari, binatang-binatang malam yang mengawasi kesepian, dan kehidupan lain yang tak pernah benar-benar berhenti. Lihat, hidup selalu punya rahasianya sendiri. Begitupun kita.

"Ibu, aku mencintaimu. Seperti hujan yang rela jatuh memeluk bumi." Kata lelaki itu pada suatu mimpi.

pict from here