Pages

dua orang yang beruntung

24 February, 2013


Ada yang aneh dengan matahari pagi ini. Ia begitu dekat, padahal jarum jam belum mendekati pukul 10. Saya ingat hari ini ada momen yang sakral. Seorang perempuan yang dulunya penenun jingga sekarang akan menenun cahaya. Dia akan menikah. Apakah matahari juga ingin melihatnya dari dekat? Ah, matahari yang tak tahu diri, pikirku.

Saya mengendarai sepeda motor dengan terburu-buru pagi itu. Takut akan melewatkan momen yang banyak orang harapkan hanya terjadi sekali seumur hidup. Di kepalaku tiba-tiba saja terjadi benturan aneh. Kalau memang ini membahagiakan, kenapa banyak orang yang berharap ini hanya terjadi sekali? Saya tertawa kecil. Menertawai pemikiran aneh barusan. Kalau pasanganku kelak membaca ini pasti saya sudah digantung di tiang bendera. Motorku sampai lebih dulu daripada isi pikiranku yang konyol.

Suasana begitu ramai. Tidak seperti biasa memang. Mesjid  sepagi ini ramai dengan anak-anak berpakaian seragam dan ibu-ibu yang memakai kebaya. Tak kalah dengan para kaum adam yang ingin terlihat lebih gentle dari biasanya dengan setelan jas hitam dan juga kemeja batik. Tapi dari sekian banyak orang yang bergumul di sana. Mataku terpaku pada seorang lelaki di tengah ruangan. Dia memakai pakaian berwarna putih dengan renda yang memanjakan mata. Lelaki yang beruntung.

Lelaki yang lebih tinggi dari saya itu sedang disidang. Suaranya lantang mengikuti apa yang dikatakan penghulu. Tak ada keraguan dari suaranya. Begitu lancar. Sungguh, lelaki ini begitu istimewa hari ini. Entah berapa banyak rapalan doa yang dikirimkannya semalam.
Saya merinding di detik itu. Saat orang-orang mengucapkan kata ‘Sah!’ secara bersamaan.
Langit dan bumi seperti sedang bergemuruh dalam bahasa sederhana, yang lebih bisa dimengerti dengan hati.

Tak lama kemudian seorang perempuan keluar dari sebuah ruangan, dijemput oleh lelaki itu. Perempuan penenun jingga itu terlihat berbeda dari biasanya. Dengan gaun berwarna putih dan make up yang sedikit tebal. Perempuan itu tersenyum sambil tersipu malu. Ribuan mata sedang melihat ke arahnya sekarang. Sepasang mata yang menggandeng tangannya tak terkecuali. Mungkin, itu yang membuat wajahnya merona jingga. Perempuan yang beruntung.

Ada kesedihan yang dikubur di taman, ada air mata yang menyuburi setiap pipi di ruangan ini. Tangis haru pecah dan kebahagiaan tumbuh di mana-mana. Harapan, doa-doa, cinta, puisi, dan impian-impian baru kemudian berserakan di lantai lalu sekelebat memuai terperangkap dalam jaring-jaring udara dan terbang ke langit. Tempat di mana segala hal memang seharusnya tertanam.

“Wajah mereka hampir mirip. Orang tua saya juga wajahnya hampir mirip. Muka jodoh memang.” Kata seorang lelaki di sebelah saya membuka obrolan. Saya hanya tersenyum sembari mengiyakan kata-katanya barusan.

Saya sempat membacakan kalian sebuah puisi hari ini. Para senior dan junior begitu kompak mengerjai saya. Entah kenapa saya terpengaruh kali ini. Dengan tergagap-gagap saya membaca puisi untuk kalian. Maaf, baru kali ini saya membaca puisi di depan banyak orang. Tapi sungguh, saya senang sekali setelah membacanya. Walaupun terasa kacau balau, saya merasa sedikit lega karena telah mewakili beberapa teman untuk memberi kalian sebuah hadiah kecil siang itu, selain doa tentunya.

Saya hanya ingin mengaminkan segala doa yang baik untuk kalian.
Ada orang yang pernah bilang pada saya, kalau hal paling menyenangkan di dunia ini adalah bisa mencintai orang yang sama tiap pagi. O, ya, tentu itu bukan hal yang mustahil untuk kalian. Aamiin ya rabbal 'alamin.

man shabara zharira.
siapa yang bersabar akan beruntung. La Tahzan

mas Syafaat dan kak Awa

Ekspresi anak kecil disamping saya, cukup menjelaskan isinya -__-"

es krim, tuan rumah paling tahu memanjakan lidah kami ( bloofers ) #destak

Ada yang Tenggelam

20 February, 2013


Aku mengenal seorang perempuan yang mencintai laut. Katanya, laut semacam arena yang sangat besar di kepalanya. Tempat di mana ribuan bahkan jutaan kehidupan diciptakan lalu dipermainkan oleh waktu. Tempat asal muasal dari banyaknya ordo di dunia. Itulah mengapa ia mencintai laut. Alasan yang sangat sederhana, kataku. Dia mencintai sesuatu yang melahirkan kehidupan. Seperti itu ia mencintai ibunya.

Namanya Retni. Dia memiliki mata yang unik—gerhana bulan penuh. Berwarna hitam legam dengan cahaya yang berpendar di bawah hujan. Senyumnya lebih mirip sebuah danau yang tenang tanpa riak. Ketika ia menangis, bibirnya menjadi tempat yang menampung air matanya. Dia lebih suka meminum air matanya sendiri daripada dibagi-bagi, bahkan untuk sebuah sapu tangan sekalipun.
Itu cerita yang sudah lama sekali.

Asin dan sedikit pekat, katanya suatu hari saat kutanyai tentang rasa dari air mata.

Retni suka sekali mendengar suara ombak setiap pukul 5 sore. Kecuali hari sedang hujan, dia akan lebih memilih mendengar suara hujan yang jatuh di atas genteng. Rumah kami terlalu jauh dari pantai untuk mendengar keduanya berduet. Katanya, debur ombak dan rintik hujan yang jatuh di atas genteng hampir mirip. Mereka sama-sama bersuara untuk kedamaian. Semacam simponi dari alam yang selalu bisa menenangkan hati yang bergejolak. Lebih ampuh dari mendengarkan Van Beethoven atau musik apapun yang ada di dunia.

Suatu hari Retni mengajakku ke pantai. Dia ingin menikmati langit senja yang terbakar cemburu karena melihat kami di bibir pantai. Berdua saja. 

Dia perempuan yang lucu, pikirku. Begitu mencintai laut tapi tak tahu caranya berenang. Apa dia tidak takut suatu hari nanti laut memanggilnya dalam mimpi? Dan saat terbangun dia sudah ada di atas perahu kayu yang berlubang di tengah samudera—jantung dari laut yang paling dalam. Di sana Retni bisa menenggelamkan dirinya kalau memang itu alasan dia tak ingin belajar berenang. Menenggelamkan seluruh tubuh dan perasaannya sampai ke dasar laut, tempat yang lebih pekat dari air matanya, tempat yang lebih gelap dari bola matanya.
Ah, khayalanku diterbangkan angin.

“Aneh, kenapa kau berani mencintai laut kalau memang tidak bisa berenang?” Pertanyaan itu tergelincir begitu saja dari lidahku, mungkin karena hampir mati dimakan penasaran.

Ia tersenyum sambil mendongak ke atas, melihat gumpalan awan yang lebih mirip bantal yang penuh dengan bulu-bulu angsa. Memperbaiki posisi duduk dan menghela nafas yang panjang. Dengus nafasnya terdengar jelas berbaur dengan suara angin dan burung-burung di sekitar pantai. Aku tak tahu jenis burung apa itu, suaranya parau seperti gagak tapi lebih enak didengar ketimbang gagak itu sendiri.

“Aku suka saja baunya, khas sekali. Seperti petrichor saat hujan. Aku suka mendengar debur ombak yang menyamarkan debar jantung saat dekat denganmu.” Katanya singkat dengan kerling matanya yang teduh.

Aku salah tingkah. Tanganku gagap tiba-tiba memegangi tangannya. 
Dia tersenyum lembut, lebih lembut dari kembang gula.

Kami lalu terdiam di bibir pantai itu. Saling menebak isi pikiran masing-masing. Padahal tanpa perlu menebak, Retni sudah tahu apa isi pikiranku. Sebuah rumah sederhana yang ramai dengan suara tawa dan tangis anak kecil. Aku bosan mendengar suara televisi atau radio untuk mengusir sunyi seperti saat lajang dulu.

"Tuhan, selalu memeluk kita mas. Terima kasih sudah begitu sabar menunggu." kata Retni yang tadinya begitu kelu.

Aku tahu caranya berenang, mungkin itu alasan Retni menerima lamaranku dulu. Agar saat ia pergi ke pantai ia tak perlu takut terbawa arus laut, aku akan ada di sana bersamanya. Walaupun kadang aku juga iri pada laut, kenapa ia harus menjadi alasan perempuan ini menikahiku.

Untung saja perempuan yang kudekap hangat di bawah rimbun pohon palem yang berjejer itu tidak tahu, bahwa orang yang pintar berenang belum tentu tidak bisa tenggelam.

Aku tenggelam pada kesederhanaan Retni, sangat dalam.

pict from here


perempuan dan bangku kosong

07 February, 2013

Perempuan itu sering sekali duduk di sana. Di tepi danau memanjakan kakinya pada rumput dan tanah basah. Untuk seukuran anak perempuan sebayanya―cukup tinggi dan masih sangat muda. Gaya khas pakaiannya adalah tren anak muda masa kini. Berjilbab, rapi, fashionable, tentu saja sangat sopan dan membuat lelaki begitu sayang untuk menundukkan kepala. Cahaya yang memantul di tepian danau membuat pemandangan itu seperti lukisan di museum yang kudatangi beberapa tahun lalu. Meneduhkan.

Saya sudah sering melihatnya di sana. Seperti biasa dengan segelas kopi di samping kanannya. Kami sudah saling mengenal pula. Dia perempuan yang mencintai kesedihan. Dia mempunyai hubungan khusus dengan murung, lambaian tangan, apalagi air mata. Bukan tanpa alasan. Mana ada seseorang yang berhubungan dengan kemuraman tanpa alasan, itu gila namanya. Tidak, dia masih waras. Masih mengingat namanya dan juga seluk beluk kehidupannya. Dia sudah bercerita banyak, mungkin cukup banyak untuk ukuran orang asing sepertiku.

Katanya, seorang pria telah membawa hatinya pergi. Seluruh isi pikirannya sudah tumpah ruah menjadi genangan air di sepanjang jalan yang dilewatinya. Genangan itu bukan kenangan. Bukan pula mesin waktu. Itu hanya genangan tentang gambaran sebuah moment yang dirindukan, disesali, lalu kadang diharapkannya.

Dia melihat ke arahku, datar. Kami terdiam beberapa saat sebelum akhirnya suaranya memecah udara di sekitar danau itu. Bangku yang kami duduki bergerak menahan beban tubuh perempuan itu, saya kemudian menyeimbangkan posisi duduk.

“Genangan itu istimewa, waktu dan panasnya matahari tidak membuatnya surut atau lenyap.”

“Ambil saja gayung atau injak-injak saja genangan itu, biar terkuras dan terburai ke udara.” Kataku dengan sedikit ketus karena bosan mendengar ceritanya tentang lelaki itu, entah siapa dia.

Raut wajahnya berubah masam. Kornea matanya berembun seperti kaca jendela kamarku di pagi hari. Kaca jendelaku tidak apa, masih kuat menahan hujan, tapi mata perempuan ini tidak. Sungguh, kecintaannya pada kesedihan telah membuatnya begitu rapuh. Angin bertiup, udara yang lembab, bunga sakura yang beterbangan dan wangi yang menyengat hidung membuat suasana itu begitu ramai.
Tangannya masih mengepal. Dinding kokoh yang membendung air bah kesedihan mulai retak di mana-mana. Sepertinya kata-kataku barusan terlalu kejam. Saya berkilah itu hanya gurauan.

“Bagaimana caranya berhenti di satu titik di mana kita tidak bisa berhenti?” Matanya tampak serius. Tak ada keraguan dalam kata-katanya, pun tak ada kesungguhan. Hanya ada hampa. Seperti pertanyaan basa-basi yang ingin segera dilupakan tapi selalu ingin diselesaikan oleh jawaban.

“Titik, bukan akhir. Kenapa harus bergantung pada titik itu. Masih ada banyak tanda baca, banyak sekali hal yang masih bisa kau lanjutkan.”

“Seperti menyukai seseorang begitu dalam, sampai lupa jalan pulang misalnya?”

“Hahaha, itu klise. Tiap orang selalu punya jalan untuk pulang. Tiap orang tanpa sadar akan menyisahkan remah-remah roti di sepanjang jalan sebagai tanda agar mereka tidak tersesat saat pulang nanti. Di perjalanan pulang, bisa saja dia menemukan orang lain lagi. Mungkin orang-orang seperti itu yang akan menuntun kepada kepulangan yang benar-benar kita mau.”

“Teori macam apa itu. Buat lebih sederhana!” Katanya begitu pasif.

“Berjalanlah lagi, hati tak punya skala, rasio, satuan, berat, atau apapun yang bisa membatasinya. Kau bebas bersama hatimu, pikiranmu hanya terlalu naif.” Saya berhenti. Tidak ingin melanjutkan lagi dan berharap dia mengerti.


Perempuan itu terdiam. Seperti ingin mencerna kata-kataku barusan dengan matang. Lahap, dia begitu lahap menelan setiap kata-kata yang kulontarkan. Itu jelas tergambar di matanya. Tapi sayang, tidak berlangsung lama. Matanya kembali menjadi danau, sedangkan danau di depanku telah lelah menampung sisa-sisa hujan di mata perempuan itu.

Sampai hari telah bosan dengan pakaian jingganya, perempuan ini tak kunjung mengeluarkan suara. Ia hanya duduk di sana. Menatap nanar segala pantulan di danau itu. Bunga sakura yang mekar tepat di musimnya tampak indah berguguran sore itu. Tapi perempuan ini tak bisa juga menikmatinya. Pikirannya terlalu keruh di permukaan air dan begitu berkabut di daratan. Lambaian tangan telah menjatuhkan hatinya pada kesedihan. Semua menjadi tampak samar.

Matahari tertidur pulas. Binatang malam memulai kehidupannya sekali lagi. Perempuan itu juga telah pergi beberapa menit yang lalu. Meninggalkan segelas kopi yang masih dingin dengan pahit yang tidak biasa―bodohnya saya karena mencobanya. Dia pergi tanpa pamit, tanpa kata-kata perpisahan yang mungkin sudah terlalu basi di antara orang asing. Saya bertengkar dengan bangku kosong di pinggir danau itu, tentang siapa di antara kami yang akan mengabadikan senyum perempuan itu nanti malam.
Pertengkaran omong kosong tanpa hasil.