Pages

Pengamat

03 October, 2013

...
Engkau adalah salah satu rahasia baik di pikirannya.
Seperti halnya perbuatan baik,
 ia harus dirahasiakan agar berkali lipat baiknya.

Engkau hanya perlu ada.
Tanpa harus mengerti tentang apa segala ini.
debar yang men(y)enangkan .

permulaan

01 October, 2013

pict from here
Akhir-akhir ini pikiran saya sering diserang rasa bersalah. Barangkali, karena sudah jarang menulis. Sekalipun yang saya tulis kebanyakan omong kosong, ternyata benar-benar butuh waktu kosong agar saya bisa menulis sesuatu di tempat ini. Selain alasan karena laptop yang rusak tak berdaya lagi, ada kesibukan lain yang akhirnya membuat pikiran saya menjadi punya lebih banyak bifurkasi daripada biasanya.

Sibuk itu baik, dengan begitu ternyata saya bisa belajar lebih banyak hal, mengenal orang, dan lebih tahu arti tanggung jawab sebagai seorang manusia. Mungkin ini yang saya butuhkan saat ini. Berjalan seorang diri menemukan hal-hal baru yang bisa membentuk pribadi saya nantinya. Tapi, tentu saja saya tak ingin kehilangan identitas diri saya sendiri. Kebanyakan orang memang sulit mempertahankan identitas bawaannya saat berada di 'alam liar'. 
Mereka akhirnya menjadi apa yang tak pernah diharapkan oleh dirinya. Saya tak ingin seperti itu. Saya hanya berharap kesadaran saya masih lebih besar daripada tuntutan hidup yang semakin arogan.


Saya tidak mau terlalu serius menanggapi hidup, karena itu saya menulis.
Dengan menulis, sekalipun tak dibaca oleh siapa-siapa, saya merasa masih punya jeda untuk melakukan hal-hal yang bisa membebaskan pikiran saya.

Abu-abu

17 August, 2013

Mungkin kau akan mendapati hari seperti itu. Kau terbangun di sebuah tempat yang entah bagaimana kau berada di sana. Kau tak ingat jelas alasan kenapa bisa kesana. Itu adalah tempat yang tak ingin kau datangi lagi. Bukan karena tak suka. Dulu, kau sangat suka tempat itu. Kau pernah pergi berdua dengan seseorang ke sana. Selalu. Setiap ada waktu tentunya. Tapi kata dulu memang tak menyenangkan untuk ditaruh pada beberapa kalimat.

Kau memperbaiki posisi duduk. Berusaha kembali mengingat alasan kenapa tiba-tiba berada di sana. Pelan-pelan membuka lemari-lemari memori di dalam kepala. Terlalu banyak kenangan bertumpuk di sana dan beberapa tak ingin kau bangunkan kembali. Karena kalau terbangun, biarpun hari begitu terik rasanya akan seperti hujan di bulan Desember. Sepi dan terasa begitu dingin.

Berjam-jam berlalu dan langit sore mengingatkanmu tentang waktu yang akan lebih sunyi. Larong-larong terbang melintasi gedung-gedung pencakar langit. Mencari cahaya. Memburu sesuatu yang lebih terang daripada mata mereka. Tapi entah bagaimana kau tak juga ingat tentang hari ini. Segala hal terasa sangat sunyi. Luka membeku. Tak ada rasa. Tak ada prasangka terhadap perasaan-perasaan yang mengambang.

Langit yang kemerah-merahan itu kemudian membara seperti api yang perlahan melahap hutan-hutan di hatimu, melumat segala yang bernafas dan ingin bertahan hidup pada nuranimu. Tak ada lagi pagi, siang, atau malam. Kau hanya melihat sesuatu yang entah itu terang atau gelap. Dunia abu-abu. 

Seorang kemudian muncul dalam dunia abu-abu itu. Kau mengenalnya. Sangat akrab dulu. Sampai akhirnya ada yang terasa membeku. Lebih dingin daripada suhu manapun yang pernah tubuhmu dapati. Tapi ternyata suhu macam itu tak hanya merambati tubuh. Ia juga menggigilkan hatimu. Kau tak lagi mengenalnya, kau tak lagi mengenal dirimu sendiri. Hitam atau putih. Pilih saja dan habislah perkara.

Entah dunia abu-abu siapa ini. Entah kau atau aku.

Bulan yang Wajar

14 August, 2013

Apakah sebuah pantai akan selalu seperti ini? Ombak yang menggulung perlahan akan menjadi beringas ketika telah hampir sampai ke tepian, memeluk karang-karang dengan lengannya yang kokoh. Adakah karang yang tabah itu merasa sakit ketika dipeluk ombak? Apakah kepulangan seseorang menjadi tidak berarti apa-apa ketika yang terkenang hanya sakit yang menggilas?

Pertanyaan-pertanyaan semacam itu selalu saja menghantui kepalaku.
Tapi ternyata, pertanyaan terkadang hanya melahirkan pertanyaan lain yang harus aku jawab sendiri.

Mungkin, seperti debur ombak yang merindukan bibir pantai, debar jantungku pun tak ingin kalah. Ia selalu ingin didengarkan olehmu, dengan hati atau hanya sekedar telinga. Lalu pelan-pelan ketika orang-orang mulai mempertanyakan kita, sama seperti biasa, debur ombak akan menyamarkan debar jantungku. Bukan karena kita merasa terasing. Hanya saja, kita lebih memilih kesunyian ini untuk dinikmati berdua.

Aku suka dengan pantai pada malam hari. Selalu bisa kulihat dengan jelas rembulan di atas laut yang seakan menjelma pintu yang sinarnya beranak menjadi anak tangga cahaya. Rasanya aku ingin melompat ke laut dengan membawamu serta. Lalu berjalan menginjak tangga cahaya menuju pintu rembulan itu. Mungkin di sana ada rumah yang bisa kita tinggali berdua. Tanpa peduli lagi dengan orang-orang yang sibuk mengatur tentang cara hidup kita.

Semua hal itu hanya membuatku bingung. Aturan, adat, kewajaran, dan semua silsilah itu seakan telah menjadi semacam dogma yang harus kita terima dengan lapang. Kita tak boleh melawan, hanya bisa menerima karena begitulah adanya. Manusia, terkadang menjadi seperti Tuhan. Boleh jadi mereka menyadarinya, atau pun tidak.

Lalu kau menyapukan tanganmu di depan mataku. Membuyarkan lamunanku yang sepertinya terlalu serius menanggapi malam yang ringkih. Kau menatapku lekat, seakan khawatir tentang apa yang kupikirkan tentang kita.

“Sedang lihat apa?”

“Bulan, memangnya apa lagi.”

“Bukannya bulannya ada di sini?”

Ujung bibirmu kemudian menarik garis yang manis setelah berkata demikian. Dengan mata yang sendu dan malu-malu kau berusaha mencuri perhatianku. Iya, aku hampir saja lupa dengan sepasang rembulan di matamu itu.

Senyum kita kemudian mengembang bersama malam yang terlihat muram. Tak peduli.

what love looks like

02 August, 2013


One day, a young guy and a young girl fell in love.

But the guy came from a poor family. The girl’s parents weren’t too happy.

So the young man decided not only to court the girl but to court her parents as well. In time, the parents saw that he was a good man and was worthy of their daughter’s hand.

But there was another problem: The man was a soldier. Soon, war broke out and he was being sent overseas for a year. The week before he left, the man knelt on his knee and asked his lady love, “Will you marry me?” She wiped a tear, said yes, and they were engaged. They agreed that when he got back in one year, they would get married.

But tragedy struck. A few days after he left, the girl had a major vehicular accident. It was a head-on collision.

When she woke up in the hospital, she saw her father and mother crying. Immediately, she knew there was something wrong.

She later found out that she suffered brain injury. The part of her brain that controlled her face muscles was damaged. Her once lovely face was now disfigured. She cried as she saw herself in the mirror. “Yesterday, I was beautiful. Today, I’m a monster.” Her body was also covered with so many ugly wounds.

Right there and then, she decided to release her fiancĂ© from their promise. She knew he wouldn’t want her anymore. She would forget about him and never see him again.

For one year, the soldier wrote many letters—but she wouldn’t answer. He phoned her many times but she wouldn’t return her calls.

But after one year, the mother walked into her room and announced, “He’s back from the war.”

The girl shouted, “No! Please don’t tell him about me. Don’t tell him I’m here!”

The mother said, “He’s getting married,” and handed her a wedding invitation.

The girl’s heart sank. She knew she still loved him—but she had to forget him now.

With great sadness, she opened the wedding invitation.

And then she saw her name on it!

Confused, she asked, “What is this?”

That was when the young man entered her room with a bouquet of flowers. He knelt beside her and asked, “Will you marry me?”

The girl covered her face with her hands and said, “I’m ugly!”

The man said, “Without your permission, your mother sent me your photos. When I saw your photos, I realized that nothing has changed. You’re still the person I fell in love. You’re still as beautiful as ever. Because I love you!”

____
speechless.
we never knew the meaning of love, until someone came into our life.
source here 

Ikan Mas di Kolam Pikiran

26 July, 2013


Aku ingin memancing ikan-ikan mas nakal di kepalamu,
yang tatkala itu sedang menyantap kenanganmu.
Ikan yang sengaja engkau beli pada pasar yang riuh
di hari berhujan yang gusar.

Mereka tumbuh dengan keterlaluan.
Memakan segala yang ada di kolam pikirmu dengan rakus.
Peluh kenangan yang keluar dari pori-pori ikan itu meluap,
melarungkan segala getir yang berhulu dari matamu.

Lalu ada jeda dari perbincangan kita yang monoton,
tentang surat kabar yang tak ada kabar siapasiapa di sana.
Kecuali aksara-aksara yang menyuarakan sunyi dan
kota kita yang dipeluk kemarau pada musim rindu.

Akulah lelaki malang itu, yang pernah berangan-angan
menjadi penyelam yang kehabisan nafas di kolam pikirmu.
Yang membusuk dan jadi bangkai digeramus waktu. 
Menjelma racun bagi ikan-ikan mas tak tahu diri.

______________________

Saya tidak pernah menulis puisi. Karena hari ini ulang tahun Chairil Anwar dan Hari Puisi, maka saya ingin memeriahkannya dengan menulis puisi.
Dia memang akan hidup seribu tahun lagi. Hebat.

Ramadhan Terakhir

24 July, 2013

Rasanya saya tidak tahu mau mulai dari mana. Makanya saya mulai saja dengan paragraf membingungkan ini. Tentang pertanyaan yang rasanya (masih) asing terlontar dari seorang Dhe.

"Andai Ramadhan ini bulan terakhir untuk kamu, impian apa yang ingin sekali diwujudkan?"

Setelah saya membacanya. Spontan di benak saya teringat seseorang. Fotonya ada di dalam dompet saya. Agak kumal dan lusuh karena sudah lebih dari 20 tahun foto itu diambil. Itu foto Ayah Kandung saya. Fotonya tidak terlalu jelas. Hanya matanya yang sedikit kentara. Matanya memang mirip dengan mata saya.
Kata Ibu, beliau adalah seorang seniman. Pelukis tepatnya. Saya tidak ingat bagaimana raut wajah dan suara beliau. Saya tidak ingat lagu-lagu nina bobonya. Bahkan saya tak pernah melihat lukisan-lukisan beliau. Tak ada yang bisa saya ingat saat umur belum tiga tahun dan orang tua saya memutuskan untuk saling memunggungi dan hidup dengan pilihannya masing-masing. Orang dewasa memang terkadang sulit dimengerti. 

Ibu memutuskan menikah lagi. Keluar dari kota kelahiran saya dan merantau ke negeri orang bersama Suaminya yang baru. Setelahnya, saya tidak pernah lagi mendengar kabar apapun tentang Ayah Kandung saya itu.
Dulu, sewaktu kami masih di Negeri orang. Ayah Kandung saya mencari kami di rumah kami yang sebelumnya. Tapi ternyata nasib memang punya harapannya yang lain untuk cerita keluarga ini. Kami tak pernah lagi dipertemukan. Seorang tetangga menceritakannya pada Ibu, lalu diceritakannya lagi pada saya saat sudah dikira cukup mengerti tentang rumitnya hidup.

Apakah dia mencari kami untuk memperbaiki sesuatu? Entahlah.

Saya bisa mengerti dan paham betul bagaimana situasinya saat itu. Dari cerita Ibu, saya cukup tau bagaimana sosok Ayah Kandung saya itu. Di dalam hati, saya bangga punya Ayah Kandung seperti beliau. Mungkin, itulah kenapa saya kagum sekali dengan seorang pelukis atau apapun yang berhubungan dengan penggambaran visual. Bahkan sebelum saya tau kalau ternyata Ayah Kandung saya itu seorang pelukis.

Kalau Ramadhan ini bulan terakhir untuk saya, saya akan memilih menghabiskannya dengan keluarga yang utuh. Saya ingin bertemu dengan Ayah Kandung saya itu. Apakah persoalan dia masih mengingat saya atau tidak. Saya tak peduli. Saya hanya ingin dia tau, bahwa anaknya tumbuh sebagaimana manusia yang lain sampai saat ini. 

Masa lalu ini akhirnya membuat saya selalu sinis terhadap beberapa orang. Maksud saya, orang-orang yang tidak menghargai orang tuanya. Mereka yang memasukkan orang tuanya ke panti jompo atau tidak memperlakukan mereka sebagaimana layaknya "jalan surga" yang lainnya.
Saya selalu gagal paham dengan alasan mereka. Selalu dan tak pernah paham!

Saya selalu percaya, bahwa memaafkan masa lalu adalah cara lain untuk berterima kasih pada hidup.
Semoga engkau selalu dalam lindungan-Nya.

foto beliau

bus stop

16 July, 2013




Saya tahu ini bukan pertama kalinya perasaan semacam itu merasuki kita. Tapi saya merasakannya seolah semuanya baru pertama kali. Hari yang malas. Kaki yang enggan kemana-mana. Ruang tamu, cerita absurd dan rahasia-rahasia dibongkar muat dengan senang hati. Tak ada yang lebih nyaman dari menjadi dirimu sendiri.

Seolah saja matamu yang sungai itu selalu menghanyutkan segala ragu menjauh. Sejak pertama kali melihatnya, saya mulai sadar. Walau matahari membeku suatu ketika, matamu bisa hadir sebagai hangat yang lain. Hal-hal baik di dunia memang tak pernah berhenti. Tak pernah benar-benar berhenti. Walaupun penderitaan juga tak pernah. Terasa sama saja. Harusnya kita bisa menikmati keduanya dengan jalan yang sama. Tapi terkadang saya hanya terlalu kalut untuk menentukan jalan.

Kau tahu, saya merasa kita pernah ada di bus yang sama dengan jurusan yang sama. Tapi sayangnya kita berhenti di halte yang berbeda. Tiap orang sepertinya punya takdirnya untuk berhenti di mana, akan kemana dan ingin melakukan apa setelah turun dari bus. Sedang saya tak tahu ingin berhenti di mana setelah bus ini bosan mengantar. Mungkin karena saya orang yang terlalu menikmati setiap perjalanan sampai lupa menentukan tujuan. Mungkin juga karena saya merasa perjalanan seperti itu adalah tujuan saya.

O, hidup ini memang selalu penuh dengan kemungkinan-kemungkinan lain.

Saya masih berharap. Suatu hari ada seseorang yang naik di bus itu. Duduk di sebelah saya dan menemani saya melewati jalan-jalan asing. Tak perlu bercerita. Tak perlu melucu. Bahkan tak perlu kata-kata. Bukankah keberadaan lebih penting daripada perhatian yang dibuat-buat? Saya rasa, itu gunanya tuhan memberi kita bahu. Tapi kalau kau memaksa melakukan sesuatu. Tak mengapa, kau boleh tersenyum. Karena senyum juga bahagia dan getir yang digaris menjadi satu.

 pict from here

Surat Pramoedya Ananta Toer dan Goenawan Mohamad

13 July, 2013

Surat menyurat ini berisi tentang surat terbuka Goenawan Mohamad terhadap Pramoedya, dan tanggapan Pramoedya terhadap surat terbuka Goenawan Mohamad. 
Surat terbuka Goenawan Mohamad dilatarbelakangi penolakan Pramoedya terhadap permintaan maaf Presiden RI saat itu, Gus Dur, terhadap tragedi tapol/napol PKI.

Surat Terbuka untuk Pramoedya Ananta Toer
oleh Goenawan Mohamad

Seandainya ada Mandela di sini. Bung Pram, saya sering mengatakan itu, dan mungkin mulai membuat orang jemu. Tapi Mandela, di Afrika Selatan, menyelamatkan manusia dari abad ke-20. Tiap zaman punya gilanya sendiri. Abad ke-20 adalah zaman rencana besar dengan pembinasaan besar. Hitler membunuh jutaan Yahudi karena Jerman harus jadi awal Eropa yang bersih dari ras yang tak dikehendaki. Stalin dan Mao dan Pol Pot membinasakan sekian juta "kontrarevolusioner" karena sosialisme harus berdiri. Kemudian Orde Baru: rezim ini membersihkan sekian juta penduduk karena "demokrasi pancasila" tak memungkinkan adanya orang komunis (dan/atau "ekstrim" lainnya) di sudut manapun.

Rencana besar, cita-cita mutlak, dan mengalirkan darah. Manusia menjadi penakluk. Ia menaklukkan yang berbeda, yang lain, agar dirinya jadi subjek.

Mandela bertahun-tahun di penjara, orang hitam Afrika Selatan bertahun-tahun ditindas, tapi kemudian ketika ia menang, ia membuktikan bahwa abad ke-20 tak sepenuhnya benar: manusia ternyata bisa untuk tak jadi penakluk. Ia menawarkan rekonsiliasi dengan bekas musuh. Ia tak membalikkan posisi dari si objek jadi sang subjek.

Tiap korban yang mengerti rasa sakit yang sangat tak akan mengulangi sakit itu bahkan kepada musuhnya yang terganas. Ia.akan menghabisi batas antara subjek dan objek. Makna "rekonsiliasi" di Afrika Selatan punya analogi dengan impian Marx: karena proletariat tertindas, kelas ini berjuang agar setelah kapitalisme ambruk, segala kelas sosial pun hilang. Proletariat tak akan mengakhiri sejarah dengan berkuasa, melainkan menghapuskan kekuasaan, pangkal lahirnya korban-korban. Sejarah adalah sejarah penebusan kemerdekaan. Utopia itu tak terlaksana, tapi tiap utopia mengandung sesuatu yang berharga. Begitu ia menang, Mandela membongkar kembali tindak sewenang-wenang para petugas rezim apartheid yang menindasnya (dan juga tindak sewenang-wenang pejuang kemerdekaan pendukung Mandela sendiri). Proses itu mirip “pengakuan dosa” di depan publik.

Kemudian: pertalian kembali. Mandela menunjukkan, bahwa pembebasan yang sebenarnya adalah pembebasan bagi semua pihak. Bung Pram, saya ragu apakah Bung akan setuju dengan asas itu. Bung menolak ide "rekonsiliasi", seperti Bung nyatakan dalam wawancara dengan Forum Keadilan 26 Maret 2000 pekan lalu. Bung menolak permintaan maaf dari Gus Dur. “Gampang amat!”, kata Bung. Saya kira, di sini Bung keliru.

Ada beberapa kenalan, yang seperti Bung, juga pernah disekap di Pulau Buru, di antaranya dalam keadaan yang lebih buruk. Mereka sedih oleh pernyataan Bung. Saya juga sedih, karena Bung telah bersuara parau ketidak-adilan. Justru ketika berbicara untuk keadilan. Bung terutama tak adil terhadap Gus Dur. Bagi seseorang dalam posisi Gus Dur, (Presiden Republik Indonesia, pemimpin NU, tokoh Islam, yang tumbuh dalam masa Orde Baru), meminta maaf kepada para korban kesewenang-wenangan 1965 berarti membongkar tiga belenggu yang gelap dan berat di pikiran banyak orang Indonesia.

Belenggu pertama adalah kebiasaan seorang pemimpin umat untuk memperlakukan umatnya sebagai kubu yang suci. Dengan meminta maaf, Gus Dur memberi isyarat bahwa klaim kesucian itu tak bisa dipertahankan, dan tak usah. Tiap klaim kesucian bisa jadi awal pembersihan dan kesewenang-wenangan. Dengan meminta maaf, diakui bahwa dalam peristiwa di tahun 1965 sejumlah besar orang NU, juga orang Islam lain - juga orang Hindu di Bali dan orang Kristen di Jawa Tengah - telah terlibat dalam sebuah kekejaman. Mengakui ini dan meminta maaf sungguh bukan perkara gampang. Bung Pram toh tahu tak setiap orang sanggup melakukan hal itu. Mungkin juga Bung sendiri tidak akan.

Dengan meminta maaf Gus Dur juga membongkar belenggu tahayul selama hampir seperempat abad: bahwa tiap orang PKI, juga tiap anak, isteri, suaminya, layak dibunuh atau disingkirkan. Gus Dur mencampakkan sebuah sikap yang tak mau bertanya lagi: adilkah yang terjadi sejak 1965 itu? Seandainya pun pimpinan PKI bersalah besar di tahun 1965, toh tetap amat lalim hukuman yang dikenakan kepada tiap orang, juga sanak keluarganya, yang terpaut biarpun tak langsung dengan partai itu. Kita ingat kekejaman purba: sebuah kota dikalahkan dan setiap warganya dibantai atau diperbudak.

Gus Dur agaknya tak menginginkan kezaliman itu. Ia, sebagai presiden, membiarkan dirinya dipotret duduk mesra dekat Iba, putri D.N. Aidit, yang hampir seumur hidupnya jadi pelarian yang tanpa paspor di Eropa. Dalam adegan itu ada gugatan: bersalahkah Iba hanya karena ia anak Ketua PKI? Jawaban Gus Dur: tidak. Tak banyak tokoh politik yang berbuat demikian, Bung Pram. Tak gampang untuk seperti itu. Gus Dur juga telah membongkar belenggu ”teori” tua ini: bahwa PKI selamanya berbahaya. Ia bukan saja minta maaf kepada para korban pembasmian massal 1965. Ia juga hendak menghapuskan larangan resmi bagi orang Indonesia untuk mempelajari Marxisme-Leninisme. Ia seperti menegaskan bahwa komunisme adalah masa lampau yang menjauh, gagal—juga di Rusia dan Cina. Memekikkan terus “bahaya komunis” adalah menyembunyikan kenyataan bahwa PKI jauh lebih mudah patah dalam perlawanannya dibandingkan dengan gerakan Darul Islam.

Siapa yang menghentikan masa lalu, akan dihentikan oleh masa lalu. Gus Dur tidak. Ia sering salah, tapi ada hal-hal pelik yang ia tempuh karena ia ingin masa lalu tak jadi sebuah liang perangkap. Ia memang bukan Mandela yang pernah dirantai. Tapi seorang korban yang memaafkan sama nilainya dengan seorang bukan-korban yang meminta maaf. Maaf bukanlah penghapusan dosa. Maaf justru penegasan adanya dosa. Dan dari tiap penegasan dosa, hidup pun berangkat lagi, dengan luka, dengan trauma, tapi juga harapan. Dendam mengandung unsur rasa keadilan, tapi ada yang membedakan dendam dari keadilan. Dalam tiap dendam menunggu giliran seorang korban yang baru.

Begitu sulitkah Bung menerima prinsip itu? Karena masa lalu seakan-akan menutup pintu ke masa depan? Sekali lagi: siapa yang menghentikan masa lalu, akan dihentikan oleh masa lalu.

Tapi mungkin juga Bung hanya bisa melihat korban sebagai perpanjangan diri sendiri. Seakan di luar sana tak mungkin ada. Dalam wawancara, Bung menyatakan setuju bila orang-orang yang tak sepaham dengan Revolusi disingkirkan (ini di masa “Demokrasi Terpimpin” 1959-1965, ketika sejumlah suratkabar dibrangus, sejumlah buku & film & musik dilarang, sejumlah orang dipenjarakan). Bung mengakui ini semua melanggar hak asasi. Dan Bung punya argumen: waktu itu “Perang Dingin” dan Indonesia dalam bahaya. Tapi kekuasaan apa yang berhak menentukan ada “bahaya” atau tidak? Dan jika adanya ”bahaya” bisa menjadi dalih penindasan, Soeharto pun menjadi benar. Ia juga dulu mengumumkan Indonesia terancam bahaya (”komunis”) di Perang Dingin, maka rezimnya pun membunuh, membuang, dan mencopot entah berapa ribu orang dari jabatan. Dan pengadilan dibungkam. Bung memang menambahkan: ingat, pelanggaran hak asasi waktu Bung Karno tak seburuk dengan yang terjadi di masa Orde Baru. Mochtar Lubis, korban Demokrasi Terpimpin, tak dikurung di Pulau Buru, tapi di Jawa. Memang ada perbedaan. Tapi adakah peringkat penderitaan? Bagaimana membandingkannya? Di mana ukurannya, bila di masa yang sama, apalagi di masa yang berbeda, ada yang ditembak mati, ada yang disiksa, ada yang di sel, ada yang di pulau?

Dalam sejarah kesewenang-wenangan, semua korban akhirnya diciptakan setara, biarpun berbeda. Suatu hari dalam kehidupan Pramudya Ananta Toer di Pulau Buru setara terkutuknya dengan suatu hari dalam kehidupan Ivan Denisovich dalam sebuah gulag Stalin. Tak bisa ada hierarki dalam korban, sebagaimana mustahil ada hierarki kesengsaraan.

Saya kira ini penting dikemukakan. Di zaman ketika sang korban dengan mudah dianggap suci, seorang yang merasa lebih ”tinggi” derajat ke-korban-annya akan mudah merasa berhak jadi maha hakim terakhir. Tapi seperti setiap klaim kesucian, di sini pun bisa datang kesewenang-wenangan. Mandela tahu itu. Gus Dur mungkin juga tahu itu. Keduanya merendahkan hati. Saya pernah mengharapkan Bung akan bersikap sama. Saya pernah harapkan ini, Bung Pram: bukan sekedar keadilan dan hukum yang adil yang harus dibangun, tapi di arus bawahnya, kebencian pun lepas, dan kemudian hilang, tenggelam. Saya tak tahu masih bisakah saya berharap.



(Tanggapan buat Goenawan Mohamad)

Saya Bukan Nelson Mandela
oleh Pramoedya Ananta Toer

Saya bukan Nelson Mandela. Dan Goenawan Mohamad keliru, Indonesia bukan Afrika Selatan. Dia berharap saya menerima permintaan maaf yang diungkapkan Presiden Abdurrahman Wahid (Tempo, 9 April 2000), seperti Mandela memaafkan rezim kulit putih yang telah menindas bangsanya, bahkan memenjarakannya. Saya sangat menghormati Mandela. Tapi saya bukan dia, dan tidak ingin menjadi dia.

Di Afrika Selatan penindasan dan diskriminasi dilakukan oleh kulit putih terhadap kulit hitam. Putih melawan hitam, seperti Belanda melawan Indonesia. Mudah. Apa yang terjadi di Indonesia tidak sesederhana itu: kulit cokelat menindas kulit cokelat. Lebih dari itu, saya menganggap permintaan maaf Gus Dur dan idenya tentang rekonsiliasi cuma basa-basi. Dan gampang amat meminta maaf setelah semua yang terjadi itu. Saya tidak memerlukan basa-basi.

Gus Dur pertama-tama harus menjelaskan dia berbicara atas nama siapa. Mengapa harus dia yang mengatakannya? Kalau dia mewakili suatu kelompok, NU misalnya, kenapa dia berbicara sebagai presiden? Dan jika dia bicara sebagai presiden, kenapa lembaga-lembaga negara dilewatinya begitu saja? Sekalipun dalam kapasitasnya sebagai presiden, Gus Dur tidak bisa meminta maaf. Negara ini mempunyai lembaga-lembaga perwakilan, dan biarkan lembaga negara seperti DPR dan MPR mengatakannya. Bukan Gus Dur yang harus mengatakan itu.

Yang saya inginkan adalah tegaknya hukum dan keadilan di Indonesia. Orang seperti saya menderita karena tiadanya hukum dan keadilan. Saya kira masalah ini urusan negara, menyangkut DPR dan MPR, tetapi mereka tidak bicara apa-apa. Itu sebabnya saya menganggapnya sebagai basa-basi.

Saya tidak mudah memaafkan orang karena sudah terlampau pahit menjadi orang Indonesia. Buku-buku saya menjadi bacaan wajib di sekolah-sekolah lanjutan di Amerika, tapi di Indonesia dilarang. Hak saya sebagai pengarang selama 43 tahun dirampas habis. Saya menghabiskan hampir separuh usia saya di Pulau Buru dengan siksaan, penghinaan, dan penganiayaan. Keluarga saya mengalami penderitaan yang luar biasa. Salah satu anak saya pernah melerai perkelahian di sekolah, tapi ketika tahu bapaknya tapol justru dikeroyok. Istri saya berjualan untuk bertahan hidup, tapi selalu direcoki setelah tahu saya tapol. Bahkan sampai ketua RT tidak mau membuatkan KTP. Rumah saya di Rawamangun Utara dirampas dan diduduki militer, sampai sekarang. Buku dan naskah karya-karya saya dibakar.

Basa-basi baik saja, tapi hanya basa-basi. Selanjutnya mau apa? Maukah negara mengganti kerugian orang-orang seperti saya? Negara mungkin harus berutang lagi untuk menebus mengganti semua yang saya miliki.

Minta maaf saja tidak cukup. Dirikan dan tegakkan hukum. Semuanya mesti lewat hukum. Jadikan itu keputusan DPR dan MPR. Tidak bisa begitu saja basa-basi minta maaf. Tidak pernah ada pengadilan terhadap saya sebelum dijebloskan ke Buru. Semua menganggap saya sebagai barang mainan. Betapa sakitnya ketika pada 1965 saya dikeroyok habis-habisan, sementara pemerintah yang berkewajiban melindungi justru menangkap saya.

Ketika dibebaskan 14 tahun lalu, saya menerima surat keterangan bahwa saya tidak terlibat G30S-PKI. Namun, setelah itu tidak ada tindakan apa-apa. Dalam buku saya Nyanyi Sunyi Seorang Bisu yang terbit pada 1990 juga terdapat daftar 40 tapol yang dibunuh Angkatan Darat. Tapi tidak pernah pula ada tindakan.

Saya sudah kehilangan kepercayaan. Saya tidak percaya Gus Dur. Dia, seperti juga Goenawan Mohamad, adalah bagian dari Orde Baru. Ikut mendirikan rezim. Saya tidak percaya dengan semua elite politik Indonesia. Tak terkecuali para intelektualnya; mereka selama ini memilih diam dan menerima fasisme. Mereka semua ikut bertanggung jawab atas penderitaan yang saya alami. Mereka ikut bertanggung jawab atas pembunuhan-pembunuhan Orde Baru.

Goenawan mungkin mengira saya pendendam dan mengalami sakit hati yang mendalam. Tidak. Saya justru sangat kasihan dengan penguasa yang sangat rendah budayanya, termasuk merampas semua yang dimiliki bangsanya sendiri.

Saya sudah memberikan semuanya kepada Indonesia. Umur, kesehatan, masa muda sampai setua ini. Sekarang saya tidak bisa menulis-baca lagi. Dalam hitungan hari, minggu, atau bulan mungkin saya akan mati, karena penyempitan pembuluh darah jantung. Basa-basi tak lagi bisa menghibur saya.
_____________

Membaca surat-menyurat dua sastrawan yang berbeda generasi dan latar belakang ini membuat saya berpikir tentang banyak hal. Apalagi tentang konsep memaafkan yang dibahas keduanya.
Sumber tulisan sini 

Pada Sebuah Pantai: Interlude dari Goenawan Mohamad

10 July, 2013

Semua ini hanya terjadi dalam sebuah sajak yang
sentimentil. Yakni ketika pasang berakhir, dan aku
menggerutu, “masih tersisa harum lehermu”; dan kau tak
menyahutku.

     Di pantai, tepi memang tinggal terumbu,
     hijau (mungkin kelabu).
     Angin amis. Dan
     di laut susut itu, aku tahu,
     tak ada lagi jejakmu.

Berarti pagi telah mengantar kau kembali, pulang dari
sebuah dongeng tentang jin yang memperkosa putri yang
semalam mungkin kubayangkan untukmu, tanpa tercatat,
meskipun pada pasir gelap.

     Bukankah matahari telah bersalin dan
     melahirkan kenyataan yang agak lain?
     Dan sebuah jadwal lain?
     Dan sebuah ranjang & ruang rutin, yang
     setia, seperti sebuah gambar keluarga
     (di mana kita, berdua, tak pernah ada)?

     Tidak aneh.
     Tidak ada janji
     pada pantai
     yang kini tawar
     tanpa ombak
     (atau cinta yang bengal).

     Aku pun ingin berkemas untuk kenyataan-kenyataan,
berberes dalam sebuah garis, dan berkata: “Mungkin tak ada
dosa, tapi ada yang percuma saja.”

     Tapi semua ini terjadi dalam sebuah sajak yang
sentimentil. Dan itulah soalnya.

     Di mana ada keluh ketika dari pohon itu
     mumbang jatuh seperti nyiur jatuh dan
     ketika kini tinggal panas & pasir yang
     bersetubuh.

     Di mana perasaan-perasaan memilih artinya sendiri,
     di mana mengentara bekas dalam hati dan kalimat-
     kalimat biasa berlarat-larat (setelah semacam
     affair singkat), dan kita menelan ludah sembari
     berkata: “Wah, apa daya.”

     Barangkali kita memang tak teramat berbakat untuk
menertibkan diri dan hal ihwal dalam soal seperti ini.

     Lagi pula dalam sebuah sajak yang sentimentil hanya ada satu
dalil: biarkan akal yang angker itu mencibir!

     Meskipun alam makin praktis dan orang-orang telah
memberi tanda DILARANG NANGIS.

     Meskipun pada suatu waktu, kau tak akan lagi datang
padaku.

     Kita memang bersandar pada apa yang mungkin kekal,
     mungkin pula tak kekal.
     Kita memang bersandar pada mungkin.
     Kita bersandar pada angin

     Dan tak pernah bertanya: untuk apa?
     Tidak semua, memang, bisa ditanya untuk apa.

     Barangkali saja kita masih mencoba memberi harga
pada sesuatu yang sia-sia. Sebab kersik pada karang, lumut
pada lokan, mungkin akan tetap juga di sana – apa pun
maknanya.

(1973, Goenawan Mohamad)

pada waktunya

30 June, 2013

Retni,

Apa kabarmu? 
Saya harap kau selalu baik-baik saja di manapun kakimu berhenti melangkah.
Apa kabarnya dengan anak kita? Saya rasa, dia sudah mau lulus dari sekolah dasar sekarang ini. Salam sayang untuknya kalau kau tidak keberatan. Retni, tahun-tahun berlalu begitu cepat. Tapi entah kenapa rasanya waktu berlalu begitu lambat ketika mengingat kalian.

Saya juga mulai merasa bosan akhir-akhir ini. Hidup begitu saja dan tak ada yang berubah. Maksud saya, tak ada yang berubah dari pikiran-pikiran saya. Saya melihat lingkungan yang sama setiap harinya. Orang-orang yang bangun pagi dengan tujuan yang sama. Menjalani rutinitas agar tetap dibilang sebagai manusia. Walaupun ada beberapa yang hanya tinggal di dalam kamar, dan menghabiskan satu hari lagi yang sia-sia. Tetap saja, lingkungan semacam ini membuat pikiran saya menjadi seperti hampir mati.

Kau tahu, suatu hari saya ingin bebas dari semua rutinitas ini. Melakukan apa saja yang saya suka seorang diri. Tidak terbelenggu dengan tuntutan atau apapun yang membuat pikiran ini sering mengawang-awang. Saya ingin bebas, Retni. Saya ingin bebas pergi kemanapun. Tapi kalau kalian ingin ikut, saya pasti tak keberatan. Menghabiskan waktu bertiga dengan anak kita ke tempat-tempat yang belum pernah kita datangi kedengarannya menyenangkan.

Tapi, saya rasa itu hanya akan menjadi cita-cita yang tak punya ujung. Hidup terlalu datar dan semuanya terasa sama saja. Setelah menempuh pendidikan dan mendapatkan pekerjaan yang layak, kita juga masih harus membantu orang tua lepas dari rutinitasnya selama ini. Itu sudah tugas kita sebagai seorang anak.
Saya masih ingin menemani Ibu di sini.

Apa kabar dengan Ayah? Semoga kolestrolnya tidak naik lagi gara-gara tidak mau mendengarkanmu saat di meja makan. Oh, ya, saya juga punya beberapa obat-obatan untuk Ayah bersama paket surat ini. Seorang teman memberikannya padaku untuk diberikan kepada Ayah. Obatnya benar-benar manjur, katanya. Ibunya sembuh dari kolestrol gara-gara obat itu. Tentu saja, kalau tidak ditambah perhatian yang manis dari anaknya, obat itu tak ada gunanya. Tapi, saya tak perlu meragukan sedikitpun soal perhatian itu.

Kau memang punya perhatian yang baik terhadap orang-orang dekatmu. Sangat perhatian sampai-sampai selalu lupa memperhatikan diri sendiri. Dulu, kau bahkan pernah jatuh sakit karena terlalu memikirkan kesembuhanku di rumah sakit. Itulah kenapa, terkadang saya juga khawatir pada sifatmu yang itu.
Apakah engkau masih seperhatian itu?

Kau tidak kesepian di sana kan, Retni? Tentu saja tidak. Ada anak kita bersamamu. Kau bisa mendengar suara tawanya setiap hari. Melihat matanya bersinar lebih manis dari matahari pagi. Mengecup keningnya. Membelai rambutnya dan menimangnya saat tertidur pulas. Ah, menuliskannya membuat saya merasa kesepian kali ini. Saya juga ingin melakukannya. Tapi nanti, kalau waktunya sudah tiba saya harap kau yang berada di sampingku saat itu.

Kecelakaan di jalan tol tempo hari masih selalu datang dalam mimpi saya, Retni. Saya merasa bersalah kebanyakan. Saya tidak menjagamu, anak kita, dan Ayah. Saya selalu merasa kesal terhadap diri saya sendiri setiap mengingat kejadian itu. Tapi sungguh. Tak pernah seharipun dalam hidup saya tidak mendoakan kebaikan kalian di sana.

Saya tahu, kau tak ingin melihat saya merasakan perasaan bersalah ini terus menerus. Saya juga tahu, kau pasti akan kecewa jika melihatku sekarang yang begitu berantakan karena tak mendapat perhatianmu. Saya menjadi seorang suami yang kacau karena kehilangan keluarga kecilnya. Saya bahkan tak mengenali diri saya sendiri beberapa tahun terakhir.

Semua hal memang butuh waktu, tapi terkadang waktu itu kita yang membuatnya sendiri, bukan keadaan, atau siapapun. Kau tahu, saya butuh waktu 2 setengah tahun untuk menerima semua kejadian itu. Saya bahkan masuk rumah sakit jiwa. Minum obat-obatan orang gila. Tidur di bekas tempat tidur orang gila. Makan dari piring bekas orang gila. Dan sekamar dengan orang-orang gila. Bisakah kau bayangkan betapa beruntungnya saya yang sebenarnya masih waras ini tidak ikut-ikutan gila?

Saya sengaja mengubur surat ini di bawah pohon Oak kesukaan kita.Yang katamu dulu, kau ingin membuat ayunan untuk anak kita di sana. Oh, ya, sekarang saya sudah mulai mengenakan kemeja lagi. Kemeja biru langit kesukaanmu. Dalam seminggu, mungkin ada tiga kali saya memakainya. Sampai teman-teman di kantor mengira saya tak pernah mencucinya. Saya tak peduli. Mau bagaimana lagi kalau sudah cinta.

Kau akan terus hidup dalam ingatanku, Retni.
Kalian, akan selalu hidup di dalam sana.

semati-matinya mati

11 June, 2013

"Bodoh. Kau bisa mati saat itu."

"Maksudmu,.. jantung berhenti berdetak?"


"Iya. Kamu akan mati kalau kau terus-terusan membiarkan orang lain menyakitimu."

"Kau itu tidak sepintar yang aku kira."

"Maksud kamu apa?"

"Kau tidak mengerti mati yang sebenarnya."
.......


"Jadi menurutmu, kamu lebih mengerti tentang mati?"

"Ditembak dengan pistol tepat di jantung, melompat ke jurang, urat nadi dipotong, atau tubuhmu dibakar sampai diracuni. Apakah kau benar-benar mati dengan itu semua?"

..............

"Ya. Tentu saja itu semua bisa membuatmu mati. Mati seketika!"

"Bukan. Bukan hal semacam itu yang membuat seseorang mati. Kita akan mati ketika tak ada lagi yang membutuhkan keberadaan kita. Tak ada lagi yang merindukan. Tak ada lagi yang mengingat walaupun hanya sekedar nama atau diberi ucapan selamat hari raya. Kita akan mati ketika tak ada lagi dalam ingatan siapapun. Terlupakan."


"Terlupakan lebih menyedihkan daripada terabaikan."


"Jangan curhat. Menjengkelkan!"


"Hahaha. Kamu terlalu sentimentil seperti biasa! Kamu sudah pernah mati?"




"Selama kau ada, bagaimana mungkin aku bisa mati."

.
.
.
____
Sebut saja kita ini dua orang pelawak gila. Mengingat mati seperti menunggu makanan yang tiap hari kita santap di meja makan. Tak pernah benar-benar kenyang dengan jamuan itu. Selalu kelaparan dan bertanya-tanya bagaimana semua ini akan berakhir. Mungkin sampai kita benar-benar mati. Sampai tak ada lagi yang perlu dipertanyakan dan yang tersisa hanyalah jawaban yang paling jujur.

Surat untuk Kian

12 May, 2013

Teruntuk Kian.

Ini adalah surat terakhir saya sebelum pergi lagi dari kota ini. Ya, Kian, seminggu lalu saya datang ke rumahmu. Tapi ternyata di sana sudah kosong. Kau tak lagi tinggal di sana selama dua tahun terakhir. Di situ juga saya baru sadar bahwa kita telah salah persepsi selama ini. Kalau kau bingung, saya ingin menjelaskannya pelan-pelan. Ini tidak akan panjang, karena saya juga takut ketinggalan kapal. Saya menulis surat ini di warung dekat pelabuhan sambil menenggak segelas kopi tanpa gula.

Saya diberitahu tetanggamu. Bahwa kalian sekeluarga telah pindah rumah pada bulan April dua tahun lalu. Kalian pindah ke pinggiran kota, dekat dengan pantai. Kau tahu, di bulan itu juga saya pindah kontrakan, Kian. Saya sudah menuliskan alamatnya di surat untuk balasan suratmu yang terakhir. Tapi sekarang saya tahu surat itu tak pernah sampai di tanganmu. Pantas saja tak pernah ada balasan surat lagi selama dua tahun terakhir darimu. Surat saya dan suratmu telah salah alamat.

Kian, kau masih ingat janji saya lima tahun lalu kan? Saya sudah memenuhi janji itu, Kian. Pulang padamu setelah memantaskan diri. Tapi maafkan saya karena janji itu terlewat selama setahun. Saya punya alasan. Walaupun sebenarnya alasan itu tak punya arti apa-apa. Kau tidak akan pernah percaya apa yang telah saya lalui setahun terakhir. Saya hampir mati. Iya, syukurlah kata ‘hampir’ masih ada di sana.

Tiga hari sebelum  tanggal 14 Desember tahun lalu; di mana janji kita untuk bertemu, saya sudah menaiki kapal ke tanah kelahiran kita ini, Kian. Saya begitu bahagianya. Karena Tuhan begitu berbaik hati soal rejekinya pada saya. Walaupun setahun pertama di  kota itu saya terlunta-lunta, tahun berikutnya saya mulai bisa memperbaiki semuanya. Saya juga belajar ikhlas lebih banyak di kota itu.

Saya ini takut ketinggian, makanya harus naik kapal kalau ingin ke Negara lain. Kau pasti belum lupa bagaimana dulu saya jatuh dari pohon nangka gara-gara dipanggil olehmu. Kaki saya patah, tapi untung saja waktu itu ada ayahmu yang membuatnya normal kembali. Kau menangis seharian karena merasa itu salahmu. Saya berkilah itu bukan salahmu. Padahal kalau boleh jujur, itu karena senyummu yang teramat manis di lihat dari atas pohon nangka itu. Konsentrasiku jadi buyar. Ah, itu rahasia masa kecil saya.

Kau pasti tak ingin mengingat kenangan konyol kita lagi. Kita memang tidak boleh terlalu lama melihat kebelakang. Mungkin itu alasan kenapa mobil punya spion kecil dan punya kaca depan yang besar. Kalau terlalu lama melihat kebelakang, kita tidak akan memperhatikan apa yang ada di depan. Bisa-bisa nabrak, atau malah masuk ke jurang. Duh, kenapa saya malah menulis hal semacam ini. Biarlah, saya malas mencari penghapus. Saya lanjutkan saja di paragraf berikutnya.

Pada tanggal 12 Desember setelah kapal melewati Samudera Hindia dan hampir masuk ke Laut Sulawesi, kapal saya karam. Malam itu cuacanya memang sangat buruk. Langit bergemuruh, menyala-nyala, petir dan hujan lebat membuatnya sangat dramatis. Saya terbangun gara-gara kapal terus berguncang tak karuang. Di dalam hati saya tak hentinya berdoa. Hanya itu yang bisa saya lakukan saat itu. Lalu tiba-tiba saja ada suara keras terdengar diikuti getaran yang begitu hebat. Sepertinya lambung kapal baru saja menabrak sesuatu. Sirine di setiap kabin mulai berbunyi. Orang-orang mulai berdesakan keluar berlari ke geladak utama. Saya ada di depan. Seorang nahkoda menggiring saya naik sekoci lebih dulu agar bisa membantu yang lainnya untuk naik. Tapi malang tak dapat disangka, Kian.

Kapal itu berguncang hebat karena angin dan ombak. Sebegitu kencangnya sampai tali sekoci yang saya naiki terputus. Saya terjatuh, Kian. Bersama sekoci dan harapan-harapan tentang pertemuan kita yang telah saya tunggu. Detik itu, saya mengingat semua tentang kota kita. Orang tua, sahabat, teman dan apa-apa saja yang begitu saya inginkan dalam hidup. Salah satunya membahagiakanmu. Saya pikir malam itu akan mati di tengah laut. Semuanya kemudian menjadi gelap ditelan malam.

Siang itu saya terbangun karena disengat matahari. Sekoci saya terombang-ambing di tengah lautan, Kian. Tak ada apa-apa di sana kecuali saya, sekoci, dan hamparan laut sampai di kaki langit. Saya tak henti-hentinya bersyukur campur haru mengingat malam yang begitu kelam itu. Dua minggu lebih saya berada di atas sekoci dengan persediaan makanan seadanya. Untung saja sekoci itu punya persediaan makanan untuk seminggu. Minum air hujan adalah hal yang paling saya suka.

Setelah berminggu-minggu, saya menemukan sebuah pulau. Pulau yang ditumbuhi buah berbentuk aneh yang rasanya sangat manis. Di sana juga ada sebuah danau yang kecil. Airnya tawar. Saya tertawa sampai menangis, Kian. Saya tak bisa menampikkannya lagi. Air mata itu keluar begitu saja karena nikmat Tuhan yang tak henti-hentinya.

Kian, di pulau itu saya menghabiskan waktu berbulan-bulan menunggu pertolongan. Berharap ada kapal yang lewat seperti berharap hujan di gurun sahara. Saya putus asa. Saya bisa hidup di pulau itu, Kian. Di sana begitu banyak makanan. Tapi saya tak ingin tinggal di sana. Saya teringat keluarga dan dirimu. Saya takut membuatmu menunggu terlalu lama. Saya tak ingin kau risau seperti perasaan risau yang saya rasakan saat itu.

Setelah berbulan-bulan berteman dengan sepi, saya mulai bosan. Tekad mulai menumpuk untuk pergi dari pulau itu. Persediaan makanan untuk sebulan sudah siap. Saya tak tahu akan kemana sekoci itu pergi. Saya menyerahkan sepenuhnya pada takdir. Saya tak mau menjadi tua di pulau itu. Saya ingin pulang. Kemana saja asal tidak sendirian di pulau itu.

Takdir ini seperti komedi, Kian.

Seminggu setelah meninggalkan pulau itu. Saya menemukan kapal. Kapal nelayan dari Indonesia. Mereka menolong saya. Mereka sangat kaget mendengar cerita saya tentang kapal yang hancur dan bagaimana saya telah terdampar di sebuah pulau selama berbulan-bulan. Mereka pikir saya ini manusia ajaib. Nelayan-nelayan yang baik itu kemudian membawa saya ke pelabuhan kota kita. Saya mencium tanahnya dan sedikit membayangkan wajahmu di sana.

Saya dibawa ke rumah sakit. Ibu datang dan memeluk saya begitu erat. Air matanya tumpah tak terkira lagi. Saya bahagia masih bisa bertemu dengannya.  Kian, tiba-tiba saja saya menjadi anak yang manja. Meminta masakan ibu dari pagi sampai malam. Hampir seminggu saya berada di sana. Lewat jendela rumah sakit, saya melihat penjual terompet di pinggir jalan. Penjual terompet kebanyakan hanya ramai di bulan Desember. Saya kemudian kaget melihat kalender. Hari itu tanggal 13 Desember. Saya meminta izin pada dokter untuk pulang.

Begitulah, akhirnya saya sampai di rumahmu tapi malah bertemu dengan orang lain. Mereka penghuni baru. Saya bersyukur di sana masih ada pohon nangka yang sering kita manjat sewaktu masih kecil. Walaupun sekarang sudah tidak berbuah lagi. Saya mendapat alamat rumahmu dari Mak Alin tetangga yang sering kita ganggu dulu. Saya lalu buru-buru menuju rumahmu dengan bus. Lalu berjalan dan bertanya-tanya pada orang-orang sepanjang jalan.

Hari itu saya sampai di rumahmu, Kian. Saya berdiri di depan pagar kayu berwarna cokelat tua itu dengan gugup. Saya takut menumpahkan semua kerinduan ini sekaligus. Saya menarik nafas dan menghembuskannya seperti sedang meditasi. Itu cukup bisa menenangkan. Tapi debar jantung tetap saja masih bergemuruh, ribut di dalam sana masih lebih daripada saat malam yang kelam itu. Baru selangkah kakiku beranjak dari tanah tapi tiba-tiba saja kau keluar dari dalam rumah, Kian.
Bahagia baru saja diciptakan.

Saya tersenyum dengan hujan yang tiba-tiba saja jatuh dari langit mata ini. Kau duduk di teras rumah sambil menenteng secangkir teh. Dengan sedikit susah payah memperbaiki posisi duduk. Terang saja, perutmu yang besar itu membuatmu sedikit kerepotan. Kehamilanmu sepertinya sudah dipenghujung bulan. Kau mengusap perutmu lalu menarik nafas panjang, kemudian senyum itu tiba-tiba merekah. Manis sekali.

Pram?

Gerak bibirmu jelas sekali menyebut namaku. Kau beranjak dari tempatmu hanya untuk memastikan agar tidak salah menangkap sosokku. Ah, rasanya tak sanggup bertemu denganmu di detik itu. Maka dari itu saya pun beranjak secepat kilat dari tempat itu.
Kau tak perlu menjelaskan apapun lagi, Kian. Penglihatan manusia lebih cepat daripada kata-kata menyampaikan sesuatu. Dan aku bisa mengerti semua pemandangan sore itu dengan baik.

Tidak apa, Kian. Siapalah saya ini yang bisa menentang sesuatu yang telah ditentukan oleh Sang Pencipta. Saya memang bodoh. Berpikir bahwa kau akan menunggu saya selama  beberapa tahun setelah tak berkabar. Kalau hari itu kau memanggil namaku untuk meminta maaf, saya sudah memaafkanmu sebelum kau menyebut namaku. Saya juga ingin meminta maaf karena telah membuatmu menunggu terlalu lama.
Saya tak marah. Sungguh. Saya bahkan tidak pantas marah padamu.

Kiana yang manis, dan selalu akan lebih manis ketika tersenyum. Jangan sesalkan apapun yang sudah terjadi dalam hidup ini. Biarlah, biarkan saja semuanya mengalir mengikuti arus waktu yang tak pernah kita mengerti. Seperti yang pernah saya katakan padamu, Kian. Saya mencintaimu dengan segala konsekuensi hidup yang melibatkanmu di dalamnya.

Kian, setelah kau menerima surat ini dari Mak Alin, itu artinya saya sudah berada di atas kapal. Kau harus tahu bahwa kota ini terlalu sempit untuk menampung kerinduan ini. Saya takut menumpahkannya secara tidak sengaja dan membuat hidupmu menjadi berantakan. Tidak, saya tidak ingin mengusik kehidupanmu lagi lebih daripada surat ini. Saya hanya berharap di pulau seberang ada seseorang yang bisa menguras perasaan ini sampai habis tak bersisa. Berat juga harus membawanya kemana-mana seorang diri.

Semoga langit selalu cerah di atas kepalamu, Kiana Larasvati.

Salam penuh rindu,
Pram Alswesta

Hei, smile.

06 May, 2013



Kita tentu saja sudah sering melihat orang-orang tersenyum. Kebanyakan dari mereka selalu berhasil membuat kita membalas senyumnya. Seperti terkena sihir. Kita pun tiba-tiba saja tersenyum. Tanpa alasan yang jelas. Tanpa tahu kenapa melakukan itu. Bahkan tak jarang juga kita melakukannya pada orang yang tak dikenal. Lalu saya kemudian berpikir, bahwa kalau ada hal sederhana yang bisa mendekatkan semua orang di dunia ini, mungkin itu senyuman.

Saya tak peduli apakah itu senyum yang dibuat-buat atau tidak. Saya juga tak ingin ambil pusing tentang adanya senyum yang berlabel made in china. Saya masih terlalu muda untuk berpikir hal rumit semacam itu. Anggap saja saya ini orang yang naif. Menganggap bahwa senyuman itu tak pernah punya tendensi  melukai, tetapi menyembuhkan. Kita bahkan tak pernah tahu dampak dari sebuah senyuman untuk orang lain.

Senyum juga refleksi dari jiwa yang tabah. Maksud saya, tiap orang pasti punya masalah. Mau besar atau kecil, tetap saja namanya masalah. Dengan mereka tersenyum dan berhenti mengeluh; saya rasa itu sudah menjadi modal yang besar untuk memberi semangat kepada diri sendiri.

Dan ternyata seseorang yang punya pribadi yang hangat pasti juga punya senyum yang hangat. Senyum yang selalu membuatmu merasa ingin berteduh di sana kala dunia menjadi terlalu dingin untuk dihadapi. Senyum yang pada akhirnya kebanyakan dirindukan daripada diingat-ingat. O, ya, saya benar-benar membedakan antara mengingat dan merindukan. Itu dua hal yang sangat berbeda. Karena mengingat saja belum tentu rindu, tapi merindukan sudah pasti mengingat, kan?


Hha. tulisan ini benar-benar mulai menjadi tidak jelas. Mungkin ini efek karena terlalu menikmati dunia nyata. Serius. Setelah mengurangi waktu untuk online. Waktu saya yang dulunya dimakan dunia maya, akhirnya bisa dimuntahkan kembali. Online memang perlu, tapi sewajarnya saja. Saya juga butuh internet untuk bertemu teman Dumay, tapi dalam takaran yang sepantasnya.

Hei, selamat bermei-tamorfosis kawan. titik dua balas kurung.

Nb : Ini catatan selingan karena sedang tidak tahu ingin menulis cerita random tentang apa. hha