Posts

Showing posts from July, 2013

Ikan Mas di Kolam Pikiran

Image
Aku ingin memancing ikan-ikan mas nakal di kepalamu, yang tatkala itu sedang menyantap kenanganmu. Ikan yang sengaja engkau beli pada pasar yang riuh di hari berhujan yang gusar. Mereka tumbuh dengan keterlaluan. Memakan segala yang ada di kolam pikirmu dengan rakus. Peluh kenangan yang keluar dari pori-pori ikan itu meluap, melarungkan segala getir yang berhulu dari matamu. Lalu ada jeda dari perbincangan kita yang monoton, tentang surat kabar yang tak ada kabar siapasiapa di sana. Kecuali aksara-aksara yang menyuarakan sunyi dan kota kita yang dipeluk kemarau pada musim rindu. Akulah lelaki malang itu, yang pernah berangan-angan menjadi penyelam yang kehabisan nafas di kolam pikirmu. Yang membusuk dan jadi bangkai digeramus waktu.  Menjelma racun bagi ikan-ikan mas tak tahu diri. ______________________ Saya tidak pernah menulis puisi. Karena hari ini ulang tahun Chairil Anwar dan Hari Puisi, maka saya ingin memeriahkannya dengan m...

Ramadhan Terakhir

Image
Rasanya saya tidak tahu mau mulai dari mana. Makanya saya mulai saja dengan paragraf membingungkan ini. Tentang pertanyaan yang rasanya (masih) asing terlontar dari seorang Dhe. "Andai Ramadhan ini bulan terakhir untuk kamu, impian apa yang ingin sekali diwujudkan?" Setelah saya membacanya. Spontan di benak saya teringat seseorang. Fotonya ada di dalam dompet saya. Agak kumal dan lusuh karena sudah lebih dari 20 tahun foto itu diambil. Itu foto Ayah Kandung saya. Fotonya tidak terlalu jelas. Hanya matanya yang sedikit kentara. Matanya memang mirip dengan mata saya. Kata Ibu, beliau adalah seorang seniman. Pelukis tepatnya. Saya tidak ingat bagaimana raut wajah dan suara beliau. Saya tidak ingat lagu-lagu nina bobonya. Bahkan saya tak pernah melihat lukisan-lukisan beliau. Tak ada yang bisa saya ingat saat umur belum tiga tahun dan orang tua saya memutuskan untuk saling memunggungi dan hidup dengan pilihannya masing-masing. Orang dewasa memang terkadang sulit dimeng...

bus stop

Image
Saya tahu ini bukan pertama kalinya perasaan semacam itu merasuki kita. Tapi saya merasakannya seolah semuanya baru pertama kali. Hari yang malas. Kaki yang enggan kemana-mana. Ruang tamu, cerita absurd dan rahasia-rahasia dibongkar muat dengan senang hati. Tak ada yang lebih nyaman dari menjadi dirimu sendiri. Seolah saja matamu yang sungai itu selalu menghanyutkan segala ragu menjauh. Sejak pertama kali melihatnya, saya mulai sadar. Walau matahari membeku suatu ketika, matamu bisa hadir sebagai hangat yang lain. Hal-hal baik di dunia memang tak pernah berhenti. Tak pernah benar-benar berhenti. Walaupun penderitaan juga tak pernah. Terasa sama saja. Harusnya kita bisa menikmati keduanya dengan jalan yang sama. Tapi terkadang saya hanya terlalu kalut untuk menentukan jalan. Kau tahu, saya merasa kita pernah ada di bus yang sama dengan jurusan yang sama. Tapi sayangnya kita berhenti di halte yang berbeda. Tiap orang sepertinya punya takdirnya untuk berhenti di ...

Surat Pramoedya Ananta Toer dan Goenawan Mohamad

Image
Surat menyurat ini berisi tentang surat terbuka Goenawan Mohamad terhadap Pramoedya, dan tanggapan Pramoedya terhadap surat terbuka Goenawan Mohamad.  Surat terbuka Goenawan Mohamad dilatarbelakangi penolakan Pramoedya terhadap permintaan maaf Presiden RI saat itu, Gus Dur, terhadap tragedi tapol/napol PKI. Surat Terbuka untuk Pramoedya Ananta Toer oleh Goenawan Mohamad Seandainya ada Mandela di sini. Bung Pram, saya sering mengatakan itu, dan mungkin mulai membuat orang jemu. Tapi Mandela, di Afrika Selatan, menyelamatkan manusia dari abad ke-20. Tiap zaman punya gilanya sendiri. Abad ke-20 adalah zaman rencana besar dengan pembinasaan besar. Hitler membunuh jutaan Yahudi karena Jerman harus jadi awal Eropa yang bersih dari ras yang tak dikehendaki. Stalin dan Mao dan Pol Pot membinasakan sekian juta "kontrarevolusioner" karena sosialisme harus berdiri. Kemudian Orde Baru: rezim ini membersihkan sekian juta penduduk karena "demokrasi pancasila" tak...

Pada Sebuah Pantai: Interlude dari Goenawan Mohamad

Semua ini hanya terjadi dalam sebuah sajak yang sentimentil. Yakni ketika pasang berakhir, dan aku menggerutu, “masih tersisa harum lehermu”; dan kau tak menyahutku.      Di pantai, tepi memang tinggal terumbu,      hijau (mungkin kelabu).      Angin amis. Dan      di laut susut itu, aku tahu,      tak ada lagi jejakmu. Berarti pagi telah mengantar kau kembali, pulang dari sebuah dongeng tentang jin yang memperkosa putri yang semalam mungkin kubayangkan untukmu, tanpa tercatat, meskipun pada pasir gelap.      Bukankah matahari telah bersalin dan      melahirkan kenyataan yang agak lain?      Dan sebuah jadwal lain?      Dan sebuah ranjang & ruang rutin, yang      setia, seperti sebuah gambar keluarga      (di mana kita, berdua, tak pernah ada)?      Tidak a...