Pages

Lelaki yang benci Hujan

15 April, 2013



Lelaki itu mengernyitkan dahinya ketika gerimis mulai jatuh perlahan. Wajahnya yang merona merah karena sore yang keemasan di pinggir pantai itu tiba-tiba saja berubah masam. Ada kekecewaan di batinnya yang perlahan mulai mengiris. Membuatnya mengemis harapan tentang cuaca hari itu agar segera membaik.

"Awan sialan!" Serapahnya begitu ketus.

Gerimis hanyalah pemberi kabar untuk hujan. Begitulah cara kerja langit sebelum memberikan hal baik pada bumi. Ia akan memberikan hal-hal kecil sebelum memberi hal-hal yang lebih besar. Hujan. Jatuh dengan khidmat di pantai itu. Dan lelaki itu makin murka pada awan di atas sana.

Ya, dia lelaki si pembenci hujan. Tak begitu suka dengan melankoli hujan dan caranya meresonansikan kenangan manusia yang dijatuhinya. Tentu lelaki itu juga tak suka dengan petrichor dan suara air di atas genteng. Ia tak peduli bagaimana hujan telah melahirkan penyair hujan di luar sana. Ia hanya tak suka hujan dengan begitu terlalu.

Ada alasan kenapa lelaki itu begitu benci dengan hujan. Saya pernah mendengarnya dari teman masa kecilnya.
Konon, dulu ia mencintai hujan seperti mencintai ibunya sendiri. Ketika ia bermain-main di pinggir pantai dan tiba-tiba hujan menyapuia akan berlari menerjangnya. Bukannya pergi berteduh, tapi ia melibasnya dengan tubuhnya sambil tertawa kegirangan. Bahagia baru saja diciptakan. Seorang anak kecil yang begitu mencintai air yang jatuh itu berlarian sepanjang pantai menerka jatuhnya hujan.

Tapi ia juga sedih setiap hujan turun. Karena di hari itu, ibunya biasanya akan terlihat sedih. Ia menjadi merasa bersalah karena selalu bahagia setiap ibunya merasa sedih. Bahagianya menjadi tidak sempurna lagi. Ia pernah bertanya tentang hal itu pada ibunya.

"Bu, kenapa setiap hujan turun, ibu selalu kelihatan sedih dan kecewa?"
"Tidak apa nak, ibu hanya merasa kehilangan harapan setiap hujan turun."
"Maksud ibu?"
"Tak apa nak, cintailah hujan sebisamu seperti sekarang ini. Bahagiamu itu, rasakanlah sampai kelak kau bisa sedikit mengerti tentang dunia."

Begitulah sedikit cerita yang saya tahu tentang lelaki yang membenci hujan itu. Tentang keluarga yang merasa kehilangan harapan setiap hujan turun. Tentang ibunya yang meninggal setahun kemudian karena tidak punya cukup uang untuk berobat di kota. Tentang bagaimana ia melalui hidupnya dengan berjuang seorang diri dengan menjadi petani garam.

Ya, lelaki itu seorang petani garam. Sama seperti ibunya.

Ketika ia menyadari kehadiran hujan hanya membuat harapan untuk hidup menjadi lebih dramatis, ia memilih untuk menjauhi hujan. Hujan membuat butiran-butiran air laut yang membeku oleh matahari menjadi cair kembali. Hujan membuat asa nya mengalir entah kemana. Sebisa mungkin ia tak ingin mengenal hujan pada kehidupannya. Hujan yang begitu disukainya dari dulu. Hal yang membuat seorang anak kecil bahagia begitu saja. Rasanya tak lagi sama sekarang.

Ada alasan kenapa hal-hal di dunia ini berjalan tidak sesuai dengan keinginan kita. Kadang alasan itu terpampang jelas di depan kita. Kadang disembunyikan oleh waktu. Kadang, memang sulit untuk kita mengerti dan terima. Tapi itulah hidup. Tentang menerima segala kemungkinan dengan dada selapang danau yang menerima hujan dengan keikhlasannya.

Kemudian, suatu hari di dekat danau itu akan tumbuh berbagai tanaman baru. Pohon palem, perdu akasia, tanaman rambat, bunga-bunga liar, dan akhirnya akan bersemayam kehidupan lain dari dunia yang berbeda. Serangga, binatang melata, burung pipit yang bernyanyi di pagi hari, binatang-binatang malam yang mengawasi kesepian, dan kehidupan lain yang tak pernah benar-benar berhenti. Lihat, hidup selalu punya rahasianya sendiri. Begitupun kita.

"Ibu, aku mencintaimu. Seperti hujan yang rela jatuh memeluk bumi." Kata lelaki itu pada suatu mimpi.

pict from here

16 comments:

  1. Nikmatilah. Pada bahagia, ataupun duka. Mungkin begitulah caraNYA ingin berkomunikasi. CaraNYA ingin diingat. CaraNYA ingin dicintai. Nikmatilah. Terimalah. Lalu, kepada hidup yang sedang dinikmati saat ini, bukankah ia diawali dari sebuah penerimaan..?

    ReplyDelete
    Replies
    1. ya, penerimaan tentang hal baik dan buruk.
      jiwa yang besar!

      Delete
  2. Udah lama ngga mbaca ttg "uchank"...eaaaaa
    akhirnya aku bisa mampir sini lagii...
    sukaa sih sama tulisanmu chank, seperti biasa....tapi aku sebel ah sama si lelakinya itu....berati kita ga sejalan...#halah...hahahaaha
    goo..goo...pecinta hujan....*edisi norak lebay

    ReplyDelete
    Replies
    1. hha tentang saya ya kak nick :)
      hmm, kapan"lah kalau gitu.

      iya, puk puk sama lelaki ini :|

      Delete
  3. Sebenarnya lelaki itu tidak benar benar membenci hujan, ia mencintai hujan dengan cara yang berbeda.

    ReplyDelete
  4. Dihindari dan dinanti sekaligus. Kotempelasinya bagus :)


    aprilecuma.blogspot.com

    ReplyDelete
  5. Yah tiap orang memang beda-beda ya chank, kadang hujan dianggap berkah, tetapi ada juga yang menganggap musibah :(

    ReplyDelete
  6. Kalau aku suka hujan :D
    Padahal hujan itu siklus yang berlangsung untuk pemenuhan kebutuhan hidup manusia loh, agak heran aja kalo ada orang yang benci hujan. Tapi unik juga sih :D pasti lelaki ini sedih banget kalo hujan, soalnya ingat sama ibunya :'(

    ReplyDelete
    Replies
    1. kalau begitu jangan pake payung pas hujan. hha

      terima kasih sudah mampir :)

      Delete
  7. Ahh jika lelaki itu cerdas dia tidak akan membenci hujan ^^ Dia akan berinovasi, menciptakan mesin pengering mungkin, sehingga meskipun hujan dia tetap bisa memanen garam :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. ah, dwee. kalau lelaki ini berinovasi nanti ceritanya gak seru lagi. hha tapi terima kasih masukannya :)

      Delete
  8. lama gak berkunjung ke sini, blognya makin mantep nichhh,,hehehe

    ReplyDelete
  9. Hujan itu memberi pelajaran tentang meng-ikhlas-kan. Jd yaudah ikhlas aja kalo gagal panen garam hihihi xD

    ReplyDelete

speak up!