Pages

Sebuah Titik

02 May, 2024



        Dalam hidup ini seringkali kita terlalu banyak berandai-andai. Andai begini, andai begitu, andai-pun itu hanyalah kata-kata dalam kepala kita yang bising seolah mengalahkan riuh dan gemuruh jalan-jalan kota yang ramai. Akupun pernah berandai-andai menikah, atau bertemu dengan seseorang yang bisa mengerti diriku yang tidak terlalu kompleks ini. Mudah ditebak begitu jelas seperti kaca bening yang sekali kau melihatnya kau sudah tahu "O, lelaki ini sangat sederhana."

Andai saja kau tahu, pertemuan pertama kita adalah moment dimana aku ingin mempercayai seseorang lagi. Sekelabat sapaan dan tuturmu cukup membuatku tahu bahwa tembok tinggi yang teramat asing di dalam diriku telah runtuh oleh seseorang yang baru saja kutemui. 

Andai saja kau tahu, beberapa pesan singkat yang sering kali kita lontarkan satu sama lain itu juga membuat hari-hariku tidak monoton lagi. Kau pasti tahu rasanya, bangun-kerja-pulang-tidur seperti robot yang hidup di masa depan. Apakah mereka seperti itu? Robot-robot itu tidak punya hati, tidak punya rasa apalagi kepekaan. Begitulah kehidupan menamaiku sebelum mengenalmu.

Andai saja kau tahu, komunikasi seringkali menjadi bumerang yang berbalik arah mengocehku, Aku tak begitu pintar menangkapnya. Butuh latihan berbulan-bulan agar diriku yang seperti robot, kaku dan kikuk itu berubah. Dulu, beberapa kali kita bertengkar hanya karena komunikasi yang buruk, seolah diam menghanyutkan akal, bicara hanya meruntuhkan kepercayaan. Kita banyak belajar saat-saat itu, juga sampai sekarang. Aku suka saat lebih banyak mendengarkan daripada berbicara. Seperti mendengar saluran radio kesayangan sewaktu kecil dulu. 

Andai saja kau tahu, pernikahan kita adalah sebuah keajaiban untukku. Terdengar berlebihan, tapi begitulah adanya. Aku tak pernah merencanakan pernikah diumur seperti itu. Mungkin 40 atau lebih, ketika keadaan telah membaik. Tapi kau, membuatku mengusahakan segalanya. Kau membuatkan berani menantang kehidupan ini lebih keras lagi. Kau membuatku bisa mempercayai bahwa hidup ini masih memihakku, dan itu semua karena keberadaanmu.

Andai saja kau tahu.
Ada seseorang yang ingin menghabiskan segelas kehidupan ini bersamamu.

pedang

01 September, 2014

ilustrasi oleh james jean
Jujur itu membuatmu bisa bernafas lebih lega. Kau tahu kenapa? Karena apa yang ada di depan sana begitu misterius. Segala hal yang menurut kita telah tersusun rapi bisa porak poranda seketika. Begitu saja. Tanpa rencana. Tak terduga. Dan ketika saatnya tiba, kau bisa mengetuk pintu itu dengan perasaan yang lebih tenang.

Kau malu karena telah berterus terang? Tak apa, yang ada dalam gelap, yang hanya bisa diraba-raba oleh asumsi sebenarnya lebih punya banyak malu karena tak berani menampakkan wujudnya.

Sungguh, dengan berkata yang sebenarnya padahal kau bisa saja bilang sebaliknya—itu lebih baik daripada menutupi kebenaran. Kau bisa saja membohongi orang lain dan berkata hal-hal yang ingin didengarkan oleh mereka. Sudahlah, hatimu itu jangan ditambah lagi gelapnya. Kau bukan orang jujur, tapi kau selalu mencoba untuk jujur. Karena kau tahu, munafik itu hanya untuk orang-orang yang kurang piknik.

Kata-kata itu pedang, sekali terhunus siapa saja bisa terluka. Tapi pedang yang baik, sejak dulu kala digunakan Kesatria untuk melindungi sang Putri. Kalau saja beberapa orang bisa paham tentang itu.

Arus Waktu

06 March, 2014


Tuan, begitulah kenyataan hidup yang kita hadapi setiap waktu. Tak ada yang benar-benar pasti. Segalanya memang harus berubah, entah suka atau tidak. Kau harus sadar dan bisa menelan dengan baik semua kata-kataku kali ini. Tapi jangan ditelan mentahmentah semuanya. Sisakan sedikit di lidahmu, agar kelak kau bisa ingat dengan baik bagaimana rasanya berada di titik itu.

Saya pernah mendengarnya sekali, katanya hidup ini hanyalah persoalan pasang dan surut. Kau bisa berada di atas tapi sedetik kemudian bisa tersungkur di bawah. Waktu dan kemungkinan selalu saja tak punya hal lain untuk diperdebatkan panjang lebar selain nasib buruk. Tapi saya selalu percaya, tak ada kehidupan yang berada di atas atau di bawah, seringkali kehidupan ini hanya berjalan dengan cara yang berbeda. Dengan cara yang tak pernah benar-benar kita mengerti.

Istirahatkan sedikit kaki-kakimu yang telah berlari terlalu jauh, Tuan. Kau telah melewatkan banyak hal. Terburu-buru membuatmu tidak cermat lagi melihat sekitar. Kau juga tahu, Ada banyak hal yang harus diselesaikan hari ini, tapi bukan lagi soal rutinitas. Ada yang harus dibangun esoknya, tapi bukan tentang nama baik. Ada begitu banyak hal yang harus dipelajari, tapi bukan lagi tentang dunia.


Jangan terlalu sering berlari, berjalan saja dan nikmati setiap perjalanan yang ada di atas bumi. Apa yang mau kau kejar di depan sana? Takut disikut oleh pesaingmu yang lain? Ataukah kau merasa kematian tak lama lagi? Lihat, kau telah melewati angka dua puluh, itu kabar baik. Berarti Tuhan masih punya rencana lain untukmu. Kau masih punya alasan dipinjami kehidupan yang berharga itu. Kabar buruknya, kau juga selalu punya alasan pembenaran lain untuk setiap kesalahan. Itu tak baik, kau sering lupa.

Akan kutemani kau berjalan, Tuan. Saat terik di hutan belantara atau saat malam gelisah pada sebuah kota yang disoroti lampu-lampu jalanan dan besi-besi yang berdesakan bersaing menantang waktu. Tentu saja mereka selalu kalah dan merasa telah mengalahkan arus waktu itu. Sekali lagi, setiap hari yang terus berulang kita pun hanyut bersamanya.


Dengan penuh hormat,


Bayangan.

Teras Rumah

20 February, 2014



Ini memang pertama kalinya aku mengayuh sepeda dengan nafas tersengal-sengal. Rasanya seperti kembali ke masa waktu sekolah dulu. Aku ini pembalap yang handal sewaktu masih memakai seragam sekolah lusuh tiap pulang sekolah. Tapi usia mungkin terlalu banyak mengenyangkan masa kecilku.

“Bisa lebih cepat, Mas? Kita bisa terlambat,” katamu sambil menepuk pundakku.

Tanganmu yang lain memegangi pinggangku dengan kuat, angin menerpa wajah kita yang semringah. Jalan kota jadi terasa asing, padahal ini tempat kelahiranku. Pamflet pinggir jalan, penjual bakso, gedung perkantoran, museum tua, lapangan sepakbola yang tampak sudah direnovasi beberapa kali. Entah kenapa saat kita berdua, hal-hal biasa yang kulihat ataupun kulakukan menjadi seperti sebuah pengalaman pertama kali. Barangkali, segala hal ini yang kuharapkan tentang kita dari dulu. Berdua menghadapi getirnya kehidupan dengan tawa.

“Iya, tapi pegangannya lebih kuat, ini masih bisa lebih cepat kalau kamu nantanganin.” Kau tiba-tiba mencubitku pelan. Aku tersenyum juga pelan. Dengan sisa tenaga dan debar jantungku yang rasanya lebih riuh dari suara lokomotif harusnya aku masih bisa melewati beberapa puluh kelokan lagi.

Awalnya aku ingin memanggil taksi saja untuk kita, tapi katamu itu terlalu boros. Uangnya masih bisa kita pakai untuk bayar tagihan listrik atau air. Kau memang perempuan yang pandai mengatur keuangan dan tahu memprioritaskan sesuatu. Seringkali malah aku yang tidak bisa menahan diri untuk membelikanmu sesuatu. Entahlah, kupikir membuatmu senang tak ada salahnya. Tapi sekarang, kita lebih memilih untuk mementingkan keluarga kecil ini daripada kebahagiaan kita masing-masing. Aku menurut saja.

Motorku memang harusnya sudah dimuseumkan dari dulu, mogoknya sudah keterlaluan. Apa boleh buat, uangku belum cukup untuk beli motor baru lagi. Andai saja bukan karena banjir bandang tempo hari, uang kita tak perlu habis untuk merenovasi rumah. Tapi aku mengerti dan selalu ingat kata-katamu, semua hal terjadi karena sebuah alasan, boleh jadi alasan itu kita tidak mengerti sekarang ini, boleh jadi waktu yang akan menjelaskannya untuk kita, toh semua kejadian akan kembali pada muasal segala kejadian.

“Tidak apa-apa mas, pakai sepedaku saja. Ini kan juga sepeda dari kamu.” Kau memegangi pundakku sambil tersenyum, matamu yang teduh selalu membuatku lebih tenang. Hari ini putri kita akan memainkan sebuah teater di sekolahnya, kita harus hadir. Kalau tidak, dia bisa kecewa mengira orang tuanya tidak peduli padanya. Biarpun dia anak tiriku, aku sebenar-benarnya menyayanginya sepertimu.

“Nah sudah sampai, tapi sepertinya kamu masuk duluan. Bajuku basah gara-gara keringat, biar kena angin dulu supaya cepat kering.” Kataku sambil membuka satu kancing baju paling atas.

“Ini, aku tahu kamu akan basah karena mengayuh sepeda. Jadi aku bawa kemeja cadangan.” Kau menyodorkan kemeja berwarna langit biru dengan garis vertikal. Itu kesukaanku. Aku kaget bukan kepalang, kamu memang istri yang penuh kejutan.

Setelah mengganti baju di toilet, kita masuk bersama ke Aula. Tanpa pernah canggung, tanganmu menggandeng lenganku. Tak lama kemudian anak kita yang sedari tadi menengok ke pintu masuk tiba-tiba memanggil kita dengan panggilan yang kusuka sekali.
“Ibu,.. ibu,.. ayah,.. sini tempat duduknya sudah disiapin khusus buat orang tua murid.” Dia begitu bahagia saat melihat kita. Sambil menarik tanganku, anak kecil bandel itu tidak berhenti mengoceh. Katanya, aku harus banyak ambil fotonya sewaktu di atas panggung.

Setelah satu jam lebih menonton pertunjukan sederhana dari anak-anak kecil di atas panggung. Kita bertiga kemudian pulang bersama. Si kecil Kiana duduk di depan. Sedang kau masih di belakangku memeluk dengan erat. Jalan kota yang terasa asing, ah lagi-lagi.

***

Sore itu kita duduk berdua di teras rumah menikmati halaman sederhana kita yang tak terlalu besar. Kau suka menanam bunga. Aku sangat menikmati pemandangannya. Kiana tiba-tiba melompat dan mengagetkanku. Anak bandel itu terus saja bercerita tentang hari ini. Dia duduk di pangkuanku sambil memelukku dengan erat. Kau bersandar di pundakku sambil melilitkan tanganmu pada lenganku. Tuhan, barangkali itu moment yang ingin kubekukan kalau bisa. Seumur hidup.

Sudah tiga tahun aku menjadi suamimu, bekerja sebagai karyawan di perusahaan swasta dan membeli rumah sederhana dari hasil tabunganku sendiri. Aku masih tidak percaya kalau kau akan menjadi istriku, sungguh. Padahal sembilan tahun lalu aku begitu tergila-gila padamu. Dari kelas satu sampai tiga SMA, aku menaruh hati padamu. Tapi sayang, kau menyukai orang lain waktu itu. Saat di bangku kuliah pun kebetulan kita ada di Fakultas yang sama, kau memang sudah putus dengan pacarmu semasa sekolah dulu. Lagi-lagi sayang, senior kita sudah menjadi kekasihmu.

Aku hanya menyimpan semua perasaan itu seorang diri. Tanpa pernah berani berharap lebih atau terlalu tinggi. Semisalnya saja setiap kau berbicara padaku, aku hanya menjawab dengan apa adanya seakan tak pernah tertarik padamu. Barangkali itu akting terbaikku. Tentu, aku ini pandai berpura-pura tak mencintaimu.

Yah, begitulah seterusnya sampai kita lulus, kau menikah dan punya seorang putri yang sangat lucu. Aku hanya bisa mendoakan kebahagiaanmu tanpa pernah peduli dengan perasaan ini. Berbalas atau tidak pun aku tak ambil pusing. Aku juga tak pernah tertarik dengan perempuan lain. Mereka memang cantik-cantik, tapi itu tak menjamin mereka akan suka dengan lelaki sederhana macam aku. Tahu biaya perawatan mereka saja sempat membuatku tertawa dengan kecut.

Pernikahanmu hanya berjalan dua tahun. Sampai saat kau telah melahirkan Kania, kau baru tahu suamimu menikah lagi tanpa izinmu. Awalnya berjalan lancar, kau bisa menerimanya. Tapi ternyata hidup ini tak mengenal orang baik atau jahat. Cobaan selalu saja menerpa tanpa pandang bulu. Dan singkat cerita kalian bercerai. Kau kembali ke rumah orang tuamu.

Setahun kemudian, entah takdir macam apa ini. Entah cinta gila macam apa ini. Kita bertemu lagi di sebuah Kafe Mall saat kau istirahat setelah berbelanja dengan ibumu. Kau menyapaku duluan, lalu tiba-tiba saja sebuah kembang api tahun baru menggelegar di langit-langit lidahku. Hampir mati rasa dan tak tahu ingin mengatakan apa. Aktingku untuk berpura-pura tidak mencintaimu jadi sangat buruk. Aku salah tingkah.

Setelah pertemuan itu, aku diberitahu seorang teman kalau kau seorang single-parent sekarang. Dan hari-hari selanjutnya adalah sebuah perjuangan melawan rasa takut dan asumsiku sendiri. Kita mulai saling mengenal lebih dekat. Tentu saja, aku lebih sering main ke rumahmu karena merasa tidak enak mengajakmu jalan ke luar. Aku juga mulai dekat dengan Ibumu.

Teras rumahmu, menjadi saksi bisu tentang keluguan dua anak remaja yang terperangkap di tubuh orang dewasa. Rahasia dibongkar muat dari pikiran kita.

“Kenapa bukan dari dulu, Rid?” Tanyamu saat mengetahui semua yang kusembunyikan selama ini.

“Entahlah Tan, kamu perempuan yang terlalu sempurna di mataku. Aku mana berani..”
Kalimat itu terdengar sangat picisan sekali. Ya, Aku tahu. Rasanya hanya itu kata-kata yang cukup menjelaskan beberapa tahun terakhir setelah pernikahanmu dan aku masih mendapati diriku yang mencintaimu seperti saat sekolah dulu.

“Kamu, harusnya lebih berani saat kita SMA dulu..”

“Maaf, aku masih ingin memperbaiki semuanya. Kalaupun kita mulai dari awal lagi, aku masih,..”

“Tapi,.. aku kan.."
Aku memelukmu, itu pelukan pertama setelah bertahun-tahun menunggu. Pelukan yang membebaskan segala beban di dadaku. Waktu terasa membeku di ujung mataku. Segala yang terjadi hari itu akupun tak mau tahu, mungkin saja tetanggamu melihat, atau barangkali ibumu tiba-tiba keluar atau barangkali yang lain bisa saja kau menepis pelukanku. Tapi tak terjadi apa-apa dalam waktu 5 detik yang terlalu cepat dalam hidupku itu, selain kalimat penutup tentang masa lalu.

“Sudah, jangan pikirkan itu lagi. Yang terpenting adalah kita dan si kecil Kiana sekarang.” Kataku.

Sampai akhirnya, kita telah sampai di sini.
Di teras rumah kita sendiri.
Itu melegakan dan aku tak ingin kemana-mana lagi selain bersamamu.

Aku tidak tahu bagaimana takdir disusun oleh-Nya. Jelas, tak ada yang pernah tahu bagaimana. Tapi, aku masih percaya seandainya dulu aku lebih berani mengatakannya. Mungkin, aku tidak perlu membuat Tania bersedih dan menanggung semuanya ini sendirian. Ataukah, memang  semua hal punya waktunya masing-masing?

Sore itu, Kiana tertidur di pangkuanku. Tehku tak kunjung habis.