Ini memang pertama kalinya aku mengayuh sepeda dengan nafas tersengal-sengal. Rasanya seperti kembali ke masa waktu sekolah dulu. Aku ini pembalap yang handal sewaktu masih memakai seragam sekolah lusuh tiap pulang sekolah. Tapi usia mungkin terlalu banyak mengenyangkan masa kecilku.
“Bisa lebih cepat, Mas? Kita bisa terlambat,” katamu sambil menepuk pundakku.
Tanganmu yang lain memegangi pinggangku dengan kuat, angin menerpa wajah kita yang semringah. Jalan kota jadi terasa asing, padahal ini tempat kelahiranku. Pamflet pinggir jalan, penjual bakso, gedung perkantoran, museum tua, lapangan sepakbola yang tampak sudah direnovasi beberapa kali. Entah kenapa saat kita berdua, hal-hal biasa yang kulihat ataupun kulakukan menjadi seperti sebuah pengalaman pertama kali. Barangkali, segala hal ini yang kuharapkan tentang kita dari dulu. Berdua menghadapi getirnya kehidupan dengan tawa.
“Iya, tapi pegangannya lebih kuat, ini masih bisa lebih cepat kalau kamu nantanganin.” Kau tiba-tiba mencubitku pelan. Aku tersenyum juga pelan. Dengan sisa tenaga dan debar jantungku yang rasanya lebih riuh dari suara lokomotif harusnya aku masih bisa melewati beberapa puluh kelokan lagi.
Awalnya aku ingin memanggil taksi saja untuk kita, tapi katamu itu terlalu boros. Uangnya masih bisa kita pakai untuk bayar tagihan listrik atau air. Kau memang perempuan yang pandai mengatur keuangan dan tahu memprioritaskan sesuatu. Seringkali malah aku yang tidak bisa menahan diri untuk membelikanmu sesuatu. Entahlah, kupikir membuatmu senang tak ada salahnya. Tapi sekarang, kita lebih memilih untuk mementingkan keluarga kecil ini daripada kebahagiaan kita masing-masing. Aku menurut saja.
Motorku memang harusnya sudah dimuseumkan dari dulu, mogoknya sudah keterlaluan. Apa boleh buat, uangku belum cukup untuk beli motor baru lagi. Andai saja bukan karena banjir bandang tempo hari, uang kita tak perlu habis untuk merenovasi rumah. Tapi aku mengerti dan selalu ingat kata-katamu, semua hal terjadi karena sebuah alasan, boleh jadi alasan itu kita tidak mengerti sekarang ini, boleh jadi waktu yang akan menjelaskannya untuk kita, toh semua kejadian akan kembali pada muasal segala kejadian.
“Tidak apa-apa mas, pakai sepedaku saja. Ini kan juga sepeda dari kamu.” Kau memegangi pundakku sambil tersenyum, matamu yang teduh selalu membuatku lebih tenang. Hari ini putri kita akan memainkan sebuah teater di sekolahnya, kita harus hadir. Kalau tidak, dia bisa kecewa mengira orang tuanya tidak peduli padanya. Biarpun dia anak tiriku, aku sebenar-benarnya menyayanginya sepertimu.
“Nah sudah sampai, tapi sepertinya kamu masuk duluan. Bajuku basah gara-gara keringat, biar kena angin dulu supaya cepat kering.” Kataku sambil membuka satu kancing baju paling atas.
“Ini, aku tahu kamu akan basah karena mengayuh sepeda. Jadi aku bawa kemeja cadangan.” Kau menyodorkan kemeja berwarna langit biru dengan garis vertikal. Itu kesukaanku. Aku kaget bukan kepalang, kamu memang istri yang penuh kejutan.
Setelah mengganti baju di toilet, kita masuk bersama ke Aula. Tanpa pernah canggung, tanganmu menggandeng lenganku. Tak lama kemudian anak kita yang sedari tadi menengok ke pintu masuk tiba-tiba memanggil kita dengan panggilan yang kusuka sekali.
“Ibu,.. ibu,.. ayah,.. sini tempat duduknya sudah disiapin khusus buat orang tua murid.” Dia begitu bahagia saat melihat kita. Sambil menarik tanganku, anak kecil bandel itu tidak berhenti mengoceh. Katanya, aku harus banyak ambil fotonya sewaktu di atas panggung.
Setelah satu jam lebih menonton pertunjukan sederhana dari anak-anak kecil di atas panggung. Kita bertiga kemudian pulang bersama. Si kecil Kiana duduk di depan. Sedang kau masih di belakangku memeluk dengan erat. Jalan kota yang terasa asing, ah lagi-lagi.
***
Sore itu kita duduk berdua di teras rumah menikmati halaman sederhana kita yang tak terlalu besar. Kau suka menanam bunga. Aku sangat menikmati pemandangannya. Kiana tiba-tiba melompat dan mengagetkanku. Anak bandel itu terus saja bercerita tentang hari ini. Dia duduk di pangkuanku sambil memelukku dengan erat. Kau bersandar di pundakku sambil melilitkan tanganmu pada lenganku. Tuhan, barangkali itu moment yang ingin kubekukan kalau bisa. Seumur hidup.
Sudah tiga tahun aku menjadi suamimu, bekerja sebagai karyawan di perusahaan swasta dan membeli rumah sederhana dari hasil tabunganku sendiri. Aku masih tidak percaya kalau kau akan menjadi istriku, sungguh. Padahal sembilan tahun lalu aku begitu tergila-gila padamu. Dari kelas satu sampai tiga SMA, aku menaruh hati padamu. Tapi sayang, kau menyukai orang lain waktu itu. Saat di bangku kuliah pun kebetulan kita ada di Fakultas yang sama, kau memang sudah putus dengan pacarmu semasa sekolah dulu. Lagi-lagi sayang, senior kita sudah menjadi kekasihmu.
Aku hanya menyimpan semua perasaan itu seorang diri. Tanpa pernah berani berharap lebih atau terlalu tinggi. Semisalnya saja setiap kau berbicara padaku, aku hanya menjawab dengan apa adanya seakan tak pernah tertarik padamu. Barangkali itu akting terbaikku. Tentu, aku ini pandai berpura-pura tak mencintaimu.
Yah, begitulah seterusnya sampai kita lulus, kau menikah dan punya seorang putri yang sangat lucu. Aku hanya bisa mendoakan kebahagiaanmu tanpa pernah peduli dengan perasaan ini. Berbalas atau tidak pun aku tak ambil pusing. Aku juga tak pernah tertarik dengan perempuan lain. Mereka memang cantik-cantik, tapi itu tak menjamin mereka akan suka dengan lelaki sederhana macam aku. Tahu biaya perawatan mereka saja sempat membuatku tertawa dengan kecut.
Pernikahanmu hanya berjalan dua tahun. Sampai saat kau telah melahirkan Kania, kau baru tahu suamimu menikah lagi tanpa izinmu. Awalnya berjalan lancar, kau bisa menerimanya. Tapi ternyata hidup ini tak mengenal orang baik atau jahat. Cobaan selalu saja menerpa tanpa pandang bulu. Dan singkat cerita kalian bercerai. Kau kembali ke rumah orang tuamu.
Setahun kemudian, entah takdir macam apa ini. Entah cinta gila macam apa ini. Kita bertemu lagi di sebuah Kafe Mall saat kau istirahat setelah berbelanja dengan ibumu. Kau menyapaku duluan, lalu tiba-tiba saja sebuah kembang api tahun baru menggelegar di langit-langit lidahku. Hampir mati rasa dan tak tahu ingin mengatakan apa. Aktingku untuk berpura-pura tidak mencintaimu jadi sangat buruk. Aku salah tingkah.
Setelah pertemuan itu, aku diberitahu seorang teman kalau kau seorang single-parent sekarang. Dan hari-hari selanjutnya adalah sebuah perjuangan melawan rasa takut dan asumsiku sendiri. Kita mulai saling mengenal lebih dekat. Tentu saja, aku lebih sering main ke rumahmu karena merasa tidak enak mengajakmu jalan ke luar. Aku juga mulai dekat dengan Ibumu.
Teras rumahmu, menjadi saksi bisu tentang keluguan dua anak remaja yang terperangkap di tubuh orang dewasa. Rahasia dibongkar muat dari pikiran kita.
“Kenapa bukan dari dulu, Rid?” Tanyamu saat mengetahui semua yang kusembunyikan selama ini.
“Entahlah Tan, kamu perempuan yang terlalu sempurna di mataku. Aku mana berani..”
Kalimat itu terdengar sangat picisan sekali. Ya, Aku tahu. Rasanya hanya itu kata-kata yang cukup menjelaskan beberapa tahun terakhir setelah pernikahanmu dan aku masih mendapati diriku yang mencintaimu seperti saat sekolah dulu.
“Kamu, harusnya lebih berani saat kita SMA dulu..”
“Maaf, aku masih ingin memperbaiki semuanya. Kalaupun kita mulai dari awal lagi, aku masih,..”
“Tapi,.. aku kan.."
Aku memelukmu, itu pelukan pertama setelah bertahun-tahun menunggu. Pelukan yang membebaskan segala beban di dadaku. Waktu terasa membeku di ujung mataku. Segala yang terjadi hari itu akupun tak mau tahu, mungkin saja tetanggamu melihat, atau barangkali ibumu tiba-tiba keluar atau barangkali yang lain bisa saja kau menepis pelukanku. Tapi tak terjadi apa-apa dalam waktu 5 detik yang terlalu cepat dalam hidupku itu, selain kalimat penutup tentang masa lalu.
“Sudah, jangan pikirkan itu lagi. Yang terpenting adalah kita dan si kecil Kiana sekarang.” Kataku.
Sampai akhirnya, kita telah sampai di sini.
Di teras rumah kita sendiri.
Itu melegakan dan aku tak ingin kemana-mana lagi selain bersamamu.
Aku tidak tahu bagaimana takdir disusun oleh-Nya. Jelas, tak ada yang pernah tahu bagaimana. Tapi, aku masih percaya seandainya dulu aku lebih berani mengatakannya. Mungkin, aku tidak perlu membuat Tania bersedih dan menanggung semuanya ini sendirian. Ataukah, memang semua hal punya waktunya masing-masing?
Sore itu, Kiana tertidur di pangkuanku. Tehku tak kunjung habis.