Pages

Bulan yang Wajar

14 August, 2013

Apakah sebuah pantai akan selalu seperti ini? Ombak yang menggulung perlahan akan menjadi beringas ketika telah hampir sampai ke tepian, memeluk karang-karang dengan lengannya yang kokoh. Adakah karang yang tabah itu merasa sakit ketika dipeluk ombak? Apakah kepulangan seseorang menjadi tidak berarti apa-apa ketika yang terkenang hanya sakit yang menggilas?

Pertanyaan-pertanyaan semacam itu selalu saja menghantui kepalaku.
Tapi ternyata, pertanyaan terkadang hanya melahirkan pertanyaan lain yang harus aku jawab sendiri.

Mungkin, seperti debur ombak yang merindukan bibir pantai, debar jantungku pun tak ingin kalah. Ia selalu ingin didengarkan olehmu, dengan hati atau hanya sekedar telinga. Lalu pelan-pelan ketika orang-orang mulai mempertanyakan kita, sama seperti biasa, debur ombak akan menyamarkan debar jantungku. Bukan karena kita merasa terasing. Hanya saja, kita lebih memilih kesunyian ini untuk dinikmati berdua.

Aku suka dengan pantai pada malam hari. Selalu bisa kulihat dengan jelas rembulan di atas laut yang seakan menjelma pintu yang sinarnya beranak menjadi anak tangga cahaya. Rasanya aku ingin melompat ke laut dengan membawamu serta. Lalu berjalan menginjak tangga cahaya menuju pintu rembulan itu. Mungkin di sana ada rumah yang bisa kita tinggali berdua. Tanpa peduli lagi dengan orang-orang yang sibuk mengatur tentang cara hidup kita.

Semua hal itu hanya membuatku bingung. Aturan, adat, kewajaran, dan semua silsilah itu seakan telah menjadi semacam dogma yang harus kita terima dengan lapang. Kita tak boleh melawan, hanya bisa menerima karena begitulah adanya. Manusia, terkadang menjadi seperti Tuhan. Boleh jadi mereka menyadarinya, atau pun tidak.

Lalu kau menyapukan tanganmu di depan mataku. Membuyarkan lamunanku yang sepertinya terlalu serius menanggapi malam yang ringkih. Kau menatapku lekat, seakan khawatir tentang apa yang kupikirkan tentang kita.

“Sedang lihat apa?”

“Bulan, memangnya apa lagi.”

“Bukannya bulannya ada di sini?”

Ujung bibirmu kemudian menarik garis yang manis setelah berkata demikian. Dengan mata yang sendu dan malu-malu kau berusaha mencuri perhatianku. Iya, aku hampir saja lupa dengan sepasang rembulan di matamu itu.

Senyum kita kemudian mengembang bersama malam yang terlihat muram. Tak peduli.

4 comments:

  1. hmm... menggugah dn kritis.

    Yakin... ttg cara, Tuhan punya caraNya sendri utk merangkai kisah 2 anak manusia ini.. sprti tepi pantai itu, dan pantaipun trnyata mmiliki tepi. Sebgian manusia memang sgt suka mncampuri urusan Tuhan, pun dg mmbuat cara hidupny sndri. Apakah yg trjdi jk mecoba mengelak dari caraNya? Mngknkah hanya akan meninggalkan jejak sesal yg tak bertepi?... *komen bingung ^_^

    ReplyDelete
    Replies
    1. hha terima kasih sudah membaca.
      tak apa, komen bingungnya sangat baik. hha

      Delete
  2. Bulan yang wajar..

    Retni, Nama yang tidak wajar

    ReplyDelete
    Replies
    1. hahaha apa lah dik.

      nama bisa berganti seribu tapi makna tetap. halah.

      Delete

speak up!