Ini adalah surat terakhir saya sebelum pergi lagi dari kota
ini. Ya, Kian, seminggu lalu saya datang ke rumahmu. Tapi ternyata di sana sudah kosong. Kau tak lagi tinggal di sana selama dua tahun terakhir. Di situ juga
saya baru sadar bahwa kita telah salah persepsi selama ini. Kalau kau bingung,
saya ingin menjelaskannya pelan-pelan. Ini tidak akan panjang, karena saya juga
takut ketinggalan kapal. Saya menulis surat ini di warung dekat pelabuhan sambil menenggak segelas kopi tanpa gula.
Saya diberitahu tetanggamu. Bahwa kalian sekeluarga telah
pindah rumah pada bulan April dua tahun lalu. Kalian pindah ke pinggiran kota,
dekat dengan pantai. Kau tahu, di bulan itu juga saya pindah kontrakan, Kian.
Saya sudah menuliskan alamatnya di surat untuk balasan suratmu yang terakhir.
Tapi sekarang saya tahu surat itu tak pernah sampai di tanganmu. Pantas saja
tak pernah ada balasan surat lagi selama dua tahun terakhir darimu. Surat saya
dan suratmu telah salah alamat.
Kian, kau masih ingat janji saya lima tahun lalu kan? Saya
sudah memenuhi janji itu, Kian. Pulang padamu setelah memantaskan diri. Tapi
maafkan saya karena janji itu terlewat selama setahun. Saya punya alasan.
Walaupun sebenarnya alasan itu tak punya arti apa-apa. Kau tidak akan pernah
percaya apa yang telah saya lalui setahun terakhir. Saya hampir mati. Iya, syukurlah
kata ‘hampir’ masih ada di sana.
Tiga hari sebelum tanggal 14 Desember tahun lalu; di mana janji
kita untuk bertemu, saya sudah menaiki kapal ke tanah kelahiran kita ini, Kian.
Saya begitu bahagianya. Karena Tuhan begitu berbaik hati soal rejekinya pada
saya. Walaupun setahun pertama di kota
itu saya terlunta-lunta, tahun berikutnya saya mulai bisa memperbaiki semuanya.
Saya juga belajar ikhlas lebih banyak di kota itu.
Saya ini takut ketinggian, makanya harus naik kapal kalau ingin ke Negara lain. Kau pasti belum lupa bagaimana dulu saya jatuh dari pohon nangka gara-gara dipanggil olehmu. Kaki saya patah, tapi untung saja waktu itu ada ayahmu yang membuatnya normal kembali. Kau menangis seharian karena merasa itu salahmu. Saya berkilah itu bukan salahmu. Padahal kalau boleh jujur, itu karena senyummu yang teramat manis di lihat dari atas pohon nangka itu. Konsentrasiku jadi buyar. Ah, itu rahasia masa kecil saya.
Kau pasti tak ingin mengingat kenangan konyol kita lagi. Kita memang tidak boleh terlalu lama melihat kebelakang. Mungkin itu alasan kenapa mobil punya spion kecil dan punya kaca depan yang besar. Kalau terlalu lama melihat kebelakang, kita tidak akan memperhatikan apa yang ada di depan. Bisa-bisa nabrak, atau malah masuk ke jurang. Duh, kenapa saya malah menulis hal semacam ini. Biarlah, saya malas mencari penghapus. Saya lanjutkan saja di paragraf berikutnya.
Pada tanggal 12 Desember setelah kapal melewati Samudera Hindia dan
hampir masuk ke Laut Sulawesi, kapal saya karam. Malam itu cuacanya memang
sangat buruk. Langit bergemuruh, menyala-nyala, petir dan hujan lebat membuatnya
sangat dramatis. Saya terbangun gara-gara kapal terus berguncang tak karuang. Di
dalam hati saya tak hentinya berdoa. Hanya itu yang bisa saya lakukan saat itu.
Lalu tiba-tiba saja ada suara keras terdengar diikuti getaran yang begitu
hebat. Sepertinya lambung kapal baru saja menabrak sesuatu. Sirine di setiap
kabin mulai berbunyi. Orang-orang mulai berdesakan keluar berlari ke geladak
utama. Saya ada di depan. Seorang nahkoda menggiring saya naik sekoci lebih
dulu agar bisa membantu yang lainnya untuk naik. Tapi malang tak dapat
disangka, Kian.
Kapal itu berguncang hebat karena angin dan ombak. Sebegitu
kencangnya sampai tali sekoci yang saya naiki terputus. Saya terjatuh, Kian.
Bersama sekoci dan harapan-harapan tentang pertemuan kita yang telah saya
tunggu. Detik itu, saya mengingat semua tentang kota kita. Orang tua, sahabat,
teman dan apa-apa saja yang begitu saya inginkan dalam hidup. Salah satunya
membahagiakanmu. Saya pikir malam itu akan mati di tengah laut. Semuanya kemudian
menjadi gelap ditelan malam.
Siang itu saya terbangun karena disengat matahari. Sekoci
saya terombang-ambing di tengah lautan, Kian. Tak
ada apa-apa di sana kecuali saya, sekoci, dan hamparan laut sampai di kaki langit. Saya tak
henti-hentinya bersyukur campur haru mengingat malam yang begitu kelam itu. Dua
minggu lebih saya berada di atas sekoci dengan persediaan makanan seadanya.
Untung saja sekoci itu punya persediaan makanan untuk seminggu. Minum air hujan
adalah hal yang paling saya suka.
Setelah berminggu-minggu, saya menemukan sebuah pulau. Pulau yang ditumbuhi buah berbentuk aneh yang rasanya sangat manis. Di sana juga ada sebuah danau yang kecil. Airnya tawar. Saya tertawa sampai menangis, Kian. Saya tak bisa menampikkannya lagi. Air mata itu keluar begitu saja karena nikmat Tuhan yang tak henti-hentinya.
Kian, di pulau itu saya menghabiskan waktu berbulan-bulan
menunggu pertolongan. Berharap ada kapal yang lewat seperti berharap hujan di
gurun sahara. Saya putus asa. Saya bisa hidup di pulau itu, Kian. Di sana
begitu banyak makanan. Tapi saya tak ingin tinggal di sana. Saya teringat
keluarga dan dirimu. Saya takut membuatmu menunggu terlalu lama. Saya tak ingin
kau risau seperti perasaan risau yang saya rasakan saat itu.
Setelah berbulan-bulan berteman dengan sepi, saya mulai
bosan. Tekad mulai menumpuk untuk pergi dari pulau itu. Persediaan makanan
untuk sebulan sudah siap. Saya tak tahu akan kemana sekoci itu pergi. Saya
menyerahkan sepenuhnya pada takdir. Saya tak mau menjadi tua di pulau itu. Saya
ingin pulang. Kemana saja asal tidak sendirian di pulau itu.
Takdir ini seperti komedi, Kian.
Seminggu setelah meninggalkan pulau itu. Saya menemukan
kapal. Kapal nelayan dari Indonesia. Mereka menolong saya. Mereka sangat kaget
mendengar cerita saya tentang kapal yang hancur dan bagaimana saya telah
terdampar di sebuah pulau selama berbulan-bulan. Mereka pikir saya ini manusia
ajaib. Nelayan-nelayan yang baik itu kemudian membawa saya ke pelabuhan kota
kita. Saya mencium tanahnya dan sedikit membayangkan wajahmu di sana.
Saya dibawa ke rumah sakit. Ibu datang dan memeluk saya
begitu erat. Air matanya tumpah tak terkira lagi. Saya bahagia masih bisa
bertemu dengannya. Kian, tiba-tiba saja
saya menjadi anak yang manja. Meminta masakan ibu dari pagi sampai malam. Hampir
seminggu saya berada di sana. Lewat jendela rumah sakit, saya melihat penjual
terompet di pinggir jalan. Penjual terompet kebanyakan hanya ramai di bulan
Desember. Saya kemudian kaget melihat kalender. Hari itu tanggal 13 Desember.
Saya meminta izin pada dokter untuk pulang.
Begitulah, akhirnya saya sampai di rumahmu tapi malah bertemu
dengan orang lain. Mereka penghuni baru. Saya bersyukur di sana masih ada pohon
nangka yang sering kita manjat sewaktu masih kecil. Walaupun sekarang sudah
tidak berbuah lagi. Saya mendapat alamat rumahmu dari Mak Alin tetangga yang
sering kita ganggu dulu. Saya lalu buru-buru menuju rumahmu dengan bus. Lalu
berjalan dan bertanya-tanya pada orang-orang sepanjang jalan.
Hari itu saya sampai di rumahmu, Kian. Saya berdiri di depan pagar kayu berwarna cokelat tua itu dengan gugup. Saya takut menumpahkan semua kerinduan ini sekaligus. Saya menarik nafas dan menghembuskannya seperti sedang meditasi. Itu cukup bisa menenangkan. Tapi debar jantung tetap saja masih bergemuruh, ribut di dalam sana masih lebih daripada saat malam yang kelam itu. Baru selangkah kakiku beranjak dari tanah tapi tiba-tiba saja kau keluar dari dalam rumah, Kian.
Bahagia baru saja diciptakan.
Saya tersenyum dengan hujan yang tiba-tiba saja jatuh dari langit mata ini. Kau duduk di teras rumah sambil menenteng secangkir teh. Dengan sedikit susah payah memperbaiki posisi duduk. Terang saja, perutmu yang besar itu membuatmu sedikit kerepotan. Kehamilanmu sepertinya sudah dipenghujung bulan. Kau mengusap perutmu lalu menarik nafas panjang, kemudian senyum itu tiba-tiba merekah. Manis sekali.
Pram?
Gerak bibirmu jelas sekali menyebut namaku. Kau beranjak
dari tempatmu hanya untuk memastikan agar tidak salah menangkap sosokku. Ah,
rasanya tak sanggup bertemu denganmu di detik itu. Maka dari itu saya pun beranjak secepat kilat dari tempat itu.
Kau tak perlu menjelaskan apapun lagi, Kian. Penglihatan manusia lebih cepat daripada kata-kata menyampaikan sesuatu. Dan aku bisa mengerti semua pemandangan sore itu dengan baik.
Kau tak perlu menjelaskan apapun lagi, Kian. Penglihatan manusia lebih cepat daripada kata-kata menyampaikan sesuatu. Dan aku bisa mengerti semua pemandangan sore itu dengan baik.
Tidak apa, Kian. Siapalah saya ini yang bisa menentang sesuatu yang telah ditentukan oleh Sang Pencipta. Saya memang bodoh. Berpikir bahwa kau akan menunggu saya selama beberapa tahun setelah tak berkabar. Kalau hari itu kau memanggil namaku untuk meminta maaf, saya sudah memaafkanmu sebelum kau menyebut namaku. Saya juga ingin meminta maaf karena telah membuatmu menunggu terlalu lama.
Saya tak marah. Sungguh. Saya bahkan tidak pantas marah padamu.
Kiana yang manis, dan selalu akan lebih manis ketika
tersenyum. Jangan sesalkan apapun yang sudah terjadi dalam hidup ini. Biarlah,
biarkan saja semuanya mengalir mengikuti arus waktu yang tak pernah kita
mengerti. Seperti yang pernah saya katakan padamu, Kian. Saya mencintaimu dengan
segala konsekuensi hidup yang melibatkanmu di dalamnya.
Kian, setelah kau menerima surat ini dari Mak Alin, itu artinya saya sudah berada di atas kapal. Kau harus tahu bahwa kota ini terlalu sempit untuk menampung kerinduan ini. Saya takut menumpahkannya secara tidak sengaja dan membuat hidupmu menjadi berantakan. Tidak, saya tidak ingin mengusik kehidupanmu lagi lebih daripada surat ini. Saya hanya berharap di pulau seberang ada seseorang yang bisa menguras perasaan ini sampai habis tak bersisa. Berat juga harus membawanya kemana-mana seorang diri.
Semoga langit selalu cerah di atas kepalamu, Kiana
Larasvati.
Salam penuh rindu,
Pram Alswesta
prad yg malang
ReplyDeletebahkan waktu bisa mengubah keadaan hati
waktu memang terkadang... ah, sudahlah.
Deleteuhhh sedih kakak
ReplyDelete*sodorin tissue*
DeleteIni cerita fiksi atau nyata,,,, mengharukan sekali
ReplyDeleteNiche blog :)
tebak hayoo tebak.. hha fiksi kok :)
Deleteterima kasih.
sedih:')
ReplyDelete*sodorin tissue*
Deleteendingnya sedih T_T
ReplyDelete*sodorin tissue lagi*
DeleteIni adalah sepotong kisah dari sang waktu tentang mereka yang sekiranya menunggu. Sayangnya, cinta itu tidak bertemu di sudut penantiannya. Benarkah harus seperti itu?
ReplyDeletetak selalu seperti itu kak.
Deletetak selalu.
menunggu memang punya jawaban yang misterius.
tanggung jawab kak, air mataku tidak bisa berhenti mengalir membaca ini.. #ngusaphidung
ReplyDeleteah, apa waktu memang tidak pernah berpihak kepada cinta ? :'(
bukan waktu yang tidak memihak, dik.
Deletetapi kita yang terlalu terburu-buru. kita manusia, suka sekali terburu-buru. tak sabaran.
*sok tau*
Hmmm... Jadi teringat film itu, yang kapalnya juga karam terus dia terdampar di pulau yang kosong, berbicara dengan kelapa, eh atau bola ya? Ahhh saya sudah lupa... Ketika ia kembali istrinya ternyata sudah menikah lagi >.<
ReplyDeleteAhhh takdir...
oh. ingat-ingat. hha benar juga. *baru sadar*
Deletetakdir. yak. siapalah kita. :)
pengorbanan yang mengiris.
ReplyDeletesetajam silet, zay? .___.
DeleteDell 1209s Projector:
ReplyDeleteMy page ... concerto
Seperti di film Titanic. Kapal besar lalu lenyap tertelan sang neptunus. Ceritanya mantap kk! :)
ReplyDelete(komentar pertama, salam kenal!)