Pages

perempuan dan bangku kosong

07 February, 2013

Perempuan itu sering sekali duduk di sana. Di tepi danau memanjakan kakinya pada rumput dan tanah basah. Untuk seukuran anak perempuan sebayanya―cukup tinggi dan masih sangat muda. Gaya khas pakaiannya adalah tren anak muda masa kini. Berjilbab, rapi, fashionable, tentu saja sangat sopan dan membuat lelaki begitu sayang untuk menundukkan kepala. Cahaya yang memantul di tepian danau membuat pemandangan itu seperti lukisan di museum yang kudatangi beberapa tahun lalu. Meneduhkan.

Saya sudah sering melihatnya di sana. Seperti biasa dengan segelas kopi di samping kanannya. Kami sudah saling mengenal pula. Dia perempuan yang mencintai kesedihan. Dia mempunyai hubungan khusus dengan murung, lambaian tangan, apalagi air mata. Bukan tanpa alasan. Mana ada seseorang yang berhubungan dengan kemuraman tanpa alasan, itu gila namanya. Tidak, dia masih waras. Masih mengingat namanya dan juga seluk beluk kehidupannya. Dia sudah bercerita banyak, mungkin cukup banyak untuk ukuran orang asing sepertiku.

Katanya, seorang pria telah membawa hatinya pergi. Seluruh isi pikirannya sudah tumpah ruah menjadi genangan air di sepanjang jalan yang dilewatinya. Genangan itu bukan kenangan. Bukan pula mesin waktu. Itu hanya genangan tentang gambaran sebuah moment yang dirindukan, disesali, lalu kadang diharapkannya.

Dia melihat ke arahku, datar. Kami terdiam beberapa saat sebelum akhirnya suaranya memecah udara di sekitar danau itu. Bangku yang kami duduki bergerak menahan beban tubuh perempuan itu, saya kemudian menyeimbangkan posisi duduk.

“Genangan itu istimewa, waktu dan panasnya matahari tidak membuatnya surut atau lenyap.”

“Ambil saja gayung atau injak-injak saja genangan itu, biar terkuras dan terburai ke udara.” Kataku dengan sedikit ketus karena bosan mendengar ceritanya tentang lelaki itu, entah siapa dia.

Raut wajahnya berubah masam. Kornea matanya berembun seperti kaca jendela kamarku di pagi hari. Kaca jendelaku tidak apa, masih kuat menahan hujan, tapi mata perempuan ini tidak. Sungguh, kecintaannya pada kesedihan telah membuatnya begitu rapuh. Angin bertiup, udara yang lembab, bunga sakura yang beterbangan dan wangi yang menyengat hidung membuat suasana itu begitu ramai.
Tangannya masih mengepal. Dinding kokoh yang membendung air bah kesedihan mulai retak di mana-mana. Sepertinya kata-kataku barusan terlalu kejam. Saya berkilah itu hanya gurauan.

“Bagaimana caranya berhenti di satu titik di mana kita tidak bisa berhenti?” Matanya tampak serius. Tak ada keraguan dalam kata-katanya, pun tak ada kesungguhan. Hanya ada hampa. Seperti pertanyaan basa-basi yang ingin segera dilupakan tapi selalu ingin diselesaikan oleh jawaban.

“Titik, bukan akhir. Kenapa harus bergantung pada titik itu. Masih ada banyak tanda baca, banyak sekali hal yang masih bisa kau lanjutkan.”

“Seperti menyukai seseorang begitu dalam, sampai lupa jalan pulang misalnya?”

“Hahaha, itu klise. Tiap orang selalu punya jalan untuk pulang. Tiap orang tanpa sadar akan menyisahkan remah-remah roti di sepanjang jalan sebagai tanda agar mereka tidak tersesat saat pulang nanti. Di perjalanan pulang, bisa saja dia menemukan orang lain lagi. Mungkin orang-orang seperti itu yang akan menuntun kepada kepulangan yang benar-benar kita mau.”

“Teori macam apa itu. Buat lebih sederhana!” Katanya begitu pasif.

“Berjalanlah lagi, hati tak punya skala, rasio, satuan, berat, atau apapun yang bisa membatasinya. Kau bebas bersama hatimu, pikiranmu hanya terlalu naif.” Saya berhenti. Tidak ingin melanjutkan lagi dan berharap dia mengerti.


Perempuan itu terdiam. Seperti ingin mencerna kata-kataku barusan dengan matang. Lahap, dia begitu lahap menelan setiap kata-kata yang kulontarkan. Itu jelas tergambar di matanya. Tapi sayang, tidak berlangsung lama. Matanya kembali menjadi danau, sedangkan danau di depanku telah lelah menampung sisa-sisa hujan di mata perempuan itu.

Sampai hari telah bosan dengan pakaian jingganya, perempuan ini tak kunjung mengeluarkan suara. Ia hanya duduk di sana. Menatap nanar segala pantulan di danau itu. Bunga sakura yang mekar tepat di musimnya tampak indah berguguran sore itu. Tapi perempuan ini tak bisa juga menikmatinya. Pikirannya terlalu keruh di permukaan air dan begitu berkabut di daratan. Lambaian tangan telah menjatuhkan hatinya pada kesedihan. Semua menjadi tampak samar.

Matahari tertidur pulas. Binatang malam memulai kehidupannya sekali lagi. Perempuan itu juga telah pergi beberapa menit yang lalu. Meninggalkan segelas kopi yang masih dingin dengan pahit yang tidak biasa―bodohnya saya karena mencobanya. Dia pergi tanpa pamit, tanpa kata-kata perpisahan yang mungkin sudah terlalu basi di antara orang asing. Saya bertengkar dengan bangku kosong di pinggir danau itu, tentang siapa di antara kami yang akan mengabadikan senyum perempuan itu nanti malam.
Pertengkaran omong kosong tanpa hasil.

28 comments:

  1. Waaahh.. si Wanita bukan jalan pulang si Pria nya ya? si Pria akhirnya teralihkan karena sejenak singgah di rumah yang lain.. Gitu?

    ReplyDelete
  2. whuaaa... Uchaaankkk... :'((

    ReplyDelete
  3. Kasihan si wanita ini, bimbing dia uchank :D

    ReplyDelete
  4. Dan perempuan itu berlalu, meninggalkan bangku kosongnya bersama bekas kopi...
    ah... aku tak suka.. kenapa tidak dia buang dulu sampah itu sebelum pergi?? #Gubraaak.. ha ha

    ReplyDelete
  5. selalu suka dengan tulisanmu uchank :)

    ReplyDelete
  6. Ahh... kita terkadang tidak bisa memahami perilaku seseorang sampai kita juga mengalami/merasakan hal yang sama...

    ReplyDelete
  7. “Seperti menyukai seseorang begitu dalam, sampai lupa jalan pulang misalnya?”

    Ah, uchank ngena banget iniii >_<

    ReplyDelete
  8. perempuan yg mencintai kesedihan... dicintai kesedihan ^_^

    ReplyDelete
  9. Hai uchank, senengnya baca cerita kamu. bakal betah deh ke blog ini. :D :D

    ReplyDelete
  10. setiap manusia pasti punya penanda untuk dia bisa pulang. pulang melalui jalan dimana dia harus dan bisa pulang... ^.^
    kunjungan pertama :D

    ReplyDelete
  11. Terkadang yang di katakan 'bergurau' itu justru merupakan kalimat paling serius diantara ribuan kalimat lainnya yang terucap :)

    ReplyDelete
  12. Gak tau harus komentar apa kaka. pokoknya selalu suka baca postingan kak uchank ^^b

    ReplyDelete
  13. cerpen yang indah... terima kasih sudah boleh membaca...
    Terus semangat berkarya! :D

    ReplyDelete
  14. uchaaaaankkkkkkkkk :')
    uchank, saya mau request uchank bawa puisi donk ntar di walimahanku :) yahyah...

    ReplyDelete
  15. Potensi Luar Biasa, bagus sekali cerpen anda... Keep Posting


    Salam Kenal yach

    ReplyDelete
  16. kenap gelas kopnya gak dikasihkan saja, kan mubadzir tuh belum habis...

    #ngacoooo

    ReplyDelete
  17. 'saya' atau 'aku'?
    pilih salah satunya sj :)

    overall, bagus! seperti biasa ^^d

    ReplyDelete
  18. Ah, super sekali.
    Eh headernya tampak dewasa :D

    ReplyDelete
  19. keren ..
    luar biasa , cerpennya bagus !!
    sini mampir dulu :)

    ReplyDelete
  20. pilihan bahasanya cukup menghentak buat saiia pribadi kang :) mantap!

    ReplyDelete
  21. terlena. bagus banget tulisannya. salut. :)

    ReplyDelete
  22. Kasihan yah hatinya sudah dibawa pergi dan susah untuk mengambilnya kembali -_-

    ReplyDelete

speak up!