Pages

hai

30 September, 2012


Hai, kamu.
Yang segaris senyumnya selalu menjelma semangkuk antik,
tentu saja bukan salah satu koleksi kesayangan ibuku.
Karena lengkung bibirmu senilai angka delapan yang terbaring.

Hai, kamu.
Yang suaranya seperti debar hujan di musim kemarau,
tentu saja bunyinya lain dengan tik tik yang jatuh di dalam parit.
Karena gema suaramu mendesau lembut ke palung hati.

Hai, kamu.
Yang kedua bola matanya adalah tempat paling teduh di dunia,
tentu saja setelah rahim dari seorang ibu.
Karena matamu adalah rumah dari segala aku.

Hai, kamu.
Yang masih menjadi rahasia manis dari semesta,
tentu saja perasaanmu bukan sebongkah gula dalam cangkirku.
Karena semesta adalah ibu yang melahirkan setiap rasa.

pict from here



capung dalam toples

05 September, 2012


Beginilah ia musim kemarau. Tak ada hujan ataupun gerimis yang berani menyapa hanya untuk sekedar basa-basi. Capung-capung bermigrasi dari tempat yang tak pernah kita ketahui. Apakah mereka datang memeluk kunang-kunang karena takut gelap di malam hari, atau mungkin juga mereka penumpang gelap di punggung kura-kura tua saat kelelahan.

Aku ingat pernah mengunjungi masa kecilmu. Dalam sebuah mimpi yang kutahu itu bukanlah bunga tidur saat aku bosan dengan dunia nyata. Rambutmu yang sebahu dikepang dua dengan ikat rambut yang terbuat dari rumput yang kau ambil dari taman. Kau memakai baju putih dengan gambar bunga matahari, celana hitammu terlihat kotor karena lumpur. Tak jauh dari taman itu ada sawah dengan padi yang menguning. Para petani memakai masker yang kita suka, senyum bahagia.

Aku menarik tanganmu yang mungil, kau pun menyambutnya dengan baik. Kita kemudian berlari mengejar capung-capung yang bergumul di pematang sawah. Itu sore yang jingga. Kita hampir tertipu dengan gradasi warna yang muncul di sawah itu. Apakah langit yang berwarna kuning kemerahan itu memantulkan warna padi, ataukah sebaliknya? Katamu, langit sore itu terlalu banyak makan buah jeruk. Kita yang begitu polos hanya tertawa saat itu.

Kemudian ada seekor capung yang terlihat berbeda dengan lainnya. Capung yang berwarna pelangi. Kepalanya berwarna merah dengan mata yang cukup besar dengan bintik-bintik biru. Sayapnya tak kalah indah dengan sayap kupu-kupu. Kau menyuruhku menangkapnya karena sangat suka dengan capung itu. Pikirmu, itu adalah capung ajaib yang selalu diceritakan ibumu sebelum tidur.

Aku mengendap-endap persis seekor singa yang sedang mengintai mangsanya. Siap menerkam. Kau terus mengikuti dari belakang.
"Ayo, cepat tangkap nanti keburu kabur." katamu begitu riang.
"Pssstt..jangan terlalu keras, kita harus sabar." kataku sedikit ketus. Kau baru saja menggangu konsentrasiku mengintai pergerakan mangsa kita.

Jarak kita dengan capung itu tinggal dua langkah lagi. Aku menjulurkan tangan dengan khidmat. Angin berhenti bertiup. Suasananya tiba-tiba menjadi sangat hening. Sejengkal lagi capung itu akan kulumat, dan,.. hap! Aku mendapatkannya. Kau meloncat kegirangan sambil menarik-narik bajuku. Aku hanya tersenyum melihat wajahmu seperti itu.

Kau mengambil toples kaca dari dalam tasmu dan memasukkan capung pelangi itu. Aku tak bisa lupa dengan wajahmu itu. Perasaan senang, bahagia, haru dan puas bergumul di sana. Tapi sayangnya beberapa menit lagi matahari akan tertidur di balik bukit. Langit jeruk kita akan habis. Kita berjalan pulang ke rumah sambil menyanyikan lagu anak-anak yang sering kita dengar di radio sepanjang jalan.

Di tengah perjalanan kau tiba-tiba saja berhenti. Menatap lekat capung pelangi di dalam toples kaca itu.
"Capungnya terlihat sedih, warnanya sepertinya luntur." katamu sedih.
"Kalau begitu lepaskan saja, sepertinya ia tidak suka toples kecil itu." kataku.

***
Tiba-tiba semua menjadi gelap kemudian disusul hujan cahaya dari jauh, aku kembali ke tubuhku yang dewasa. Duduk di sebuah kursi malas di ruang tamu sambil menatap hangat lampu yang menggantung. Aku tak tahu apa yang kau lakukan dengan capung warna-warni yang pernah kita tangkap. Apakah kau memilih memuaskan matamu atau mendamaikan hatimu itu.

Katamu, kau rindu masa kecilmu yang seperti itu. Di mana kau bisa bermain sepuasnya tanpa peduli dengan topeng-topeng dunia. Tak peduli dengan rasa kecewa, benci, duka, sedih, kesepian atau hal-hal memuakkan lainnya. Kita tak tahu dan tak mau tahu semua itu. Kita hanyalah dua orang sedang terperangkap di dalam toples kaca yang sama. Menunggu terbebas dari semua ini.

Nb: Kemarin saya lewat di taman yang pernah kita kunjungi dalam mimpi, di sana ada kuburan nenek moyang capung. Banyak capung warna-warni yang mengelilinginya.

*pict.from here

Hujan yang tak mengenal musim

01 September, 2012


Hei, kemarin aku bertemu Sunyi. Katanya ia rindu padaku, aku hanya tersenyum. Sudah lama ia tak menyapa dan menemaniku di dalam kamar, bahkan kami pernah tertawa bersama di pesta yang ramai. Sunyi, ia memang teman yang baik tapi sayangnya sahabat yang buruk. Aku pernah bertengkar dengan Sunyi tentang siapa diantara kami yang lebih mengenal Hampa.

Terang saja aku mengenal Hampa. Seingatku, kami bertemu bulan April yang lalu. Bulan di mana semua kesedihan bertiup dari barat, tapi tanpa kusadari ternyata bahagia juga jatuh dari langit. Aku baru menyadarinya belakangan.Ternyata aku terlalu intim melihat hal-hal yang ada di luar, tapi tak pernah mau melihat kedalaman sebuah kejadian. Hampa, ia ngotot menemaniku saat itu. Hari itu juga ia mengenalkanku pada Sunyi.

Tapi aku tidak ingin membahas tentang Sunyi dan Hampa. Mereka sahabat yang buruk untuk orang sepertiku. Aku sedang ingin membicarakanmu, Hujan. Tapi sebelumnya, terima kasih telah mengusir mereka.

Hujan, tahukah kau saat pertama kali kita bertemu? Hari itu sangat cerah, tak ada sedikitpun pertanda kau akan datang. Tak ada sepoi angin, awan gelap, atau hanya sekedar laporan cuaca di televisi. Semuanya serba tak terduga. Ah, tentu saja harusnya memang begitu. Karena kau Hujan yang tak mengenal musim. Hujan yang bahkan awan pun tak tahu kapan kau akan menyapaku.

Seperti itulah pertemuan kita, Hujan. Bunyi tik tik-mu menderu pelan mengikuti langkahmu. Sebuah pertemuan di mana mataku telah mengabadikanmu sebagai potret yang tak pernah bisa kucetak. Kau hanya membatin dalam sebuah gambaran dalam ingatanku. Setelahnya, kau hanya menjadi kolam kenangan yang ingin terus kuselami bersama ikan-ikan mas yang sengaja kita pelihara.

Hujan, aku mencintaimu lebih daripada tanah yang menimangmu saat jatuh. Perasaanku ini lebih besar dari pada awan yang menjatuhkanmu. Tapi mengertikah kau, Hujan? Semua detail tentangmu, aku mencintainya. Aku bahkan tak peduli dengan bunyi tik tik-mu yang keras ataupun lembut. Asal kau datang, Hujan. Menemaniku mengusir hampa dan sunyi yang hampir menenggelamkanku dalam kekosongan.

Aku ingin dunia tahu tentangmu, Hujan. Bahwa aku memiliki perasaan seperti itu padamu. Bahwa kau juga menyimpan sebuah kolam kenangan tentangku dalam setiap tik tik-mu yang jatuh. Aku hanya tak ingin orang lain menengadahkan tangan dan meminum kenanganku bersamamu. Seperti itu aku cemburu, Hujan.

*pict: danbo